Serikat Petani Kritisi Program Reformasi Agraria ala Jokowi
abadikini.com, JAKARTA – Ketua Umum Serikat Petani (SPI) Henry Saragih mengatakan pembagian lahan kepada petani dalam program reforma agraria seharusnya fokus pada lahan yang telah dikelola petani tersebut. Program tersebut, kata dia, semestinya tidak memberikan aset lahan di wilayah yang bukan merupakan asal petani.
Reforma agraria atau redistribusi aset lahan oleh pemerintah dicanangkan Presiden Joko Widodo dengan harapan memperkecil kesenjangan ekonomi yang ada. Sekitar 9 juta hektare lahan akan diberikan kepada para petani. Mayoritas para petani yang tidak memiliki lahan berada di Jawa, Lombok, Bali, Lampung, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara.
“Masalahnya reforma agraria ini tidak ada di lokasi tersebut,” ujar dia kepada wartawan saat ditemui di Sekretariat SPI Jakarta seperti dikutip republika, Ahad (16/4/2017).
Padahal, menurutnya, ada potensi sebesar 2 juta hektare lahan yang bisa diberikan petani. Ia menjelaskan, dari 2,6 juta hektare tanah yang dikuasai Perhutani di Jawa, menurutnya ada ada 1 juta hektare yang bisa dibagikan ke petani dan 1 juta hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat dimanfaatkan para petani. “Banyak perkebunan yang tidak berdampak besar bagi perekonomian Indonesia dan masyarakat sekitar kurang lebih mendekati 1 juta hektare,” kata dia.
Lahan di pulau Jawa tersebut sepatutnya diberikan kepada petani untuk dikelola menjadi tanaman pangan atau bahkan tanaman kayu, bukan lagi sawit ataupun karet yang dinilai Henry tidak sesuai. Saat ini berdasarkan data yang ia miliki, dari 26 juta kepala keluarga petani Indonesia, 16 juta kepala keluarga hanya menguasai 0,3 hektare. Padahal menurut dia, idealnya tiap kepala keluarga tani memiliki 2 hektare.
Ia mengatakan, pelaksanaan reforma agraria melalui redistribusi 9 juta hektare tertuang dalan Nawa Cita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 masih jauh dari yang dimandatkan oleh konstitusi dan desakan petani Indonesia karena belum ditetapkanya Peraturan Presiden terkait hal ini.
Menurut dia, ketimpangan penguasaan dan kesenjangan ekonomi berdampak pada kemiskinan dan kesejahteraan petani. Terlebih dengan dinamika pasar yang merugikan petani termasuk konsekuensi berbagai perjanjian pasar bebas, kesejahteraan petani dinilai semakin menurun. “Hal ini dilihat dari kecenderungan menurunnya nilai tukar petanu dari tahun 2016 hingga Maret 2017,” ujarnya.
sumber: republika.co.id