Kemerdekaan Belum ke Dalam Kehidupan Rakyat dan Negara
Oleh :
Muchtar Effendi Harahap
(NSEAS: Network for South East Asian Studies)
Sudah 72 tahun rakyat Indonesia selalu gegap gempita merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tentu saja sekarang ini kondisi ekonomi politik rakyat Indonesia harus jauh lebih baik dan maju ketimbang saat hari kemerdekaan tsb. Cita-cita kemerdekaan harus teraktualisasi ke dalam kehidupan ekonomi politik rakyat dan negara Indonesia. Pertanyaan kini: sudahkah teraktualisasi cita-cita kemerdekaan kini? Jawabannya, masih belum!
Makna kemerdekaan untuk rakyat Indonesia bukan semata pernyataan kemerdekaan dan pergantian penyelenggara negara dari ras Eropa menjadi ras Pribumi.
Tujuan kemerdekaan secara tertulis antara lain: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Terkandung makna keinginan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Melindungi dari apa? Tentu dari penguasaan dan struktur ekonomi politik eksploitatif negara lain.
Kemerdekaan menjadi bermakna secara substansial jika tingkat ketergantungan struktural rakyat pribumi serendah mungkin. Struktur ekonomi politik di Indonesia harus terbebas dari ketergantungan pada kapitalisme internasional yang selalu mengeksploitasi atau memeras rakyat dan sumberdaya Indonesia. Rakyat Indonesia tidak akan menikmati kemerdekaan jika kondisi masih dalam ketergantungan struktural dan selalu dalam kondisi keterbelakangan dibandingan rakyat negara-negara pusat atau center kapitalisme internasional. Hampir seluruh sumber daya alam dikuasai oleh modal atau korporasi asing.
Salah satu fakta yakni kini 95 persen sumber minyak bumi Indonesia sudah dikuasai asing. Masalahnya adalah bukan saja pihak asing getol menguasai sumber daya alam kita, tetapi rezim-rezim Kekuasaan kita memang berkehendak dan membantu pihak asing melalui kelompok oligarki dalam negeri. Acapkali disebut belakangan ini, ada kerjasama dan hubungan kepentingan harmonis kelompok Asing, Aseng dan Asong.
Di Indonesia sejak Orde Baru kelompok oligarki dikuasai ras Cina, bukan pribumi, disebut sebagai Aseng. Asong bermakna kelompok rezim kekuasaan atau penguasa negara dari ras pribumi yang kerjasama dengan kepentingan Asing dan Aseng ini. Terbentuknya kelompok oligarki aseng yang sangat kaya raya karena kebijakan khususnya Rezim Militer Soeharto awal era Orde Baru dan dilanjutkan oleh rezim-rezim era Reformasi dan semakin diperkuat oleh Rezim Jokowi kini.
Kecenderungan pihak asing menguasai sumber daya alam kita semakin meningkat di era Rezim Jokowi. Bahkan, ketergantungan pada utang luar negeri dan impor bahan material infrastruktur dan pangan semakin besar. Padahal Rezim Jokowi dalam kampanye Pilpres 2014 mencitrakan diri pro rakyat dan nasionalisme sejati, takkan berhutang, takkan impor pangan, dll. Bahkan, dengan slogan Nawacita mau ciptakan Indonesia bermartabat dan berdikari. Faktanya?
Rezim Jokowi justru lebih terbuka dan intens membuka diri untuk dimasuki modal dan investasi asing, bukan saja dari negara-negara Barat tetapi juga negara Cina Komunis yang menimbulkan resistensi rakyat Indonesia, terutama umat Islam politik. Di bawah Rezim Jokowi, justru impor pangan semakin meningkat, antara lain: beras, gula, garam, bawang putih, singkong, cabai, dan sapi. Bahkan cangkul pun impor. Ini salah satu bukti ingkar janji kampanye Pilpres 2014. Ketergantungan rakyat dan negara kian besar pada pihak asing sungguh bertentangan dengan cita2 kemerdekaan. Sangat tragis, ketergantungan bukan saja pada investasi dan modal, tetapi impor pangan.
Dua setengah tahun RezimJokowi Pemerintah menambah utang Rp. 1.040 triliun. Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia Mei 2017 tercatat USD 333,6 miliar atau Rp 4.436 trIliun. Pertumbuhan tahunan utang luar negeri sektor pemerintah meningkat, sektor swasta menurun. Lebih banyak utang pemerintah. Satu sumber menunjukkan, hanya 2,5 tahun Rezim Jokowi sudah berhutang lebih dari Rp.1.000 Triliun atau sekitar USD 24 Miliar pertahun, menyamai rekor hutang Rezim SBY 10 Tahun. Kalangan ekonom memprediksi, Indonesia dalam kondisi “default”, tidak baik, dan tidak mampu membayar hutang tanpa utang baru.
Rezim membuat beragam kebijakan mempercepat ketergantungan pada investasi dan modal asing. Di bawah Rezim Jokowi, tiga kali mencuat issue masuknya pekerja Cina. Mereka menggunakan aturank bebas visa bagi turis asal China. Jumlah pekerja Cina tidak berketerampilan atau unskill workers masuk mencapai ratusan ribu orang. Mereka bekerja sektor manufaktur, pembangkit listrik, perdagangan, jasa, dll. tersebar di Bali, Kalimantan, Sulawesi Tenggara, Banten, Papua, Jakarta, dll. Mereka ini menghilangkan kesempatan kerja bagi pekerja pribumi.
Kebijakan lain Rezim Jokowi mempercepat ketergantungan pada asing adalah bebas-visa bagi warga negara dari sejumlah negara asing; asing boleh miliki properti; asing boleh kuasai 85% saham modal ventura. Bahkan, ada 35 bidang usaha dalam negeri asing boleh menguasai.
Usaha boleh 100 % asing antara lain: jalan tol, pengelolaan sampah, cold stroage, pialang berjangka, restoran, bar, dan kafe, gelanggang olahraga, produksi dan pengedaran film, warung telekomunikasi, jual beli online, bahan baku obat, praktek dokter, dan dana pensiun.
Dari sisi masuknya uang asing ke dalam negeri,sekitar Rp.2.145 triliun atau 51 % ke sektor keuangan. BeritaSatu.com (Februari 2016) menyajikan
data Asosiasi Emiten Indonesia (AEI). Saham BUMN dimiliki perusahaan asing antara lain:
- Bank BRI 38,59 %.
- Semen Indonesia 38,22 %.
- Telkom 38,35 %.
- PGN 35,26 %.
- Bank Mandiri 31,88 %.
- Bank BNI 29,15 %.
- Bank BTN 25,49 %.
- Jasa Marga 14,51 %.
- Bukit Asam 13,76 %.
- Wijaya Karya 11,14 %.
- Adhi Karya 10,40 %.
Data asing menguasai saham BUMN ini tentu akan terus berubah semakin banyak. Bahkan satu sumber menegaskan, penguasaan asing atas saham BUMN kepemilikan publik telah mencapai 85 %. Akibatnya, keuntungan BUMN lebih banyak dinikmati investor asing ketimbang rakyat Indonesia.
Lebih mengecewakan lagi, ada 0,2% warga non pribumi menguasai 75% luas tanah di Indonesia, atau 5% non pribumi kini menguasai 85% kue ekonomi Indonesia. Struktur ekonomi politik tidak memproteksi dan memerdekan pribumi dari penguasaan non pribumi.
Realitas obyektif lain dapat ditemukan dari mengalirnya kekayaan ke luar negeri. Total uang luar negeri swasta dan pemerintah tahun 2016 sudah lebih dari US $ 323 miliar atau Rp. 4.000 triliun. Jika dibagi jumlah penduduk, Rp.16 juta per orang.
Kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri. Hal ini tidak beda dgn kondisi puluhan tahun terakhir era penjajahan Belanda. Banyak hasil keuntungan kita tidak tinggal di dalam negeri. Kekayaan kita mengalir ke luar negeri dalam jumlah keterlaluan. Pada 2016, Kemenkeu beberkan, lebih Rp.11.000 triliun uang milik pengusaha Indonesia disimpan di luar negeri. Jumlah ini lima kali lebih besar dari APBN 2016.
Kondisi ini sungguh tidak adil. Akibatnya, terlalu banyak rakyat masih hidup dalam kemiskinan. Bahkan, diperkirakan, hanya 1 % rakyat menikmati kemerdekaan. Lihatlah kini ratio versi BPS, tahun 2014 sudah 0,41. Hasil riset lembaga keuangan Crédit Suisse menunjukkan, pada 2016 angka gini ratio sudah mencapai 0,49. Maknanya, 1 % orang terkaya menguasai 49 % kekayaan Indonesia. Ini sungguh ketimpangan luar biasa. Lalu, apa makna membedakan bagi rakyat kebanyakan setelah 72 tahun proklamasi 17-8-45 ?
Tentu secara umum ada perbedaan kondisi ekonomi politik rakyat Indonesia antara sekarang dan saat tahun 1945. Sekarang kaum terpelajar dan kelas nenengah lebih banyak. Kebebasan bersuara, berserikat, memilih telah lebih baik. Secara format dan kasat mata jelas ada kondisi lebih baik. Itu harus kita akui.
Tetapi, kondisi struktural ekonomi politik sungguh tidak ada perubahan berarti. Pada era penjajahan negara asing melindungi ketergantungan struktural eksploitatif dan memeras rakyat dan sumberdaya Indonesia. Pada era kini negara asing digantikan negara pribumi, tetapi peran melindungi tetap berlangsung. Cita-cita kemerdekaan untuk terbebas dari ketergantungan struktural atau impérialisme ekonomi politik belum teraktualisasi secara berarti ke dalam realitas obyektif rakyat dan negara Indonesia. Bisa jadi, cita-cita kemerdekaan 17 Agustus 1945 masih “utopia”.