Manuver politik “Penuh Resiko” ala PDIP di Pilgub Jawa Timur 2018
abadikini.com, JAKARTA- Sikap politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP) terkait Pilgub Jawa Timur 2018, penuh resiko. Salah menentukan pilihan, akan fatal bagai partai besutan Megawati Soekarnoputri. Terlebih menghadapi Pemilu 2019.
Maka wajar, jika PDIP meminta saran dan masukan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini sebelum menentukan keputusan mengusung bakal calon gubernur (Cagub) dan Cawagubnya.
Bahkan, setelah Sekjen Hasto Kristiyanto menemui Risma di Surabaya beberapa hari lalu, siang ini (14/10) giliran Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri menggelar teleconference dengan Risma yang berada di Tokyo, Jepang.
Ada kemungkinan, PDIP akan mengusung Risma di Pilgub Jawa Timur tahun depan. Keputusan itu akan diumumkan Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri pada 15 Oktober besok di kantor DPP PDIP di Jakarta.
Tapi bisa jadi, PDIP akan mengusung Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Abdullah Azwar Anas, atau bisa juga Djarot Saiful Hidayat yang baru saja purna jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Basuki T Purnama.
Menurut peneliti Surabaya Survey Center (SSC), Surochim Abdussalam, jika pada Minggu (15/10) besok, PDIP tidak jadi mengusung Saifullah Yusuf (Gus Ipul), berarti partai Kepala Banteng Moncong Putih itu memilih berada dalam situasi sulit.
“Ya peluang itu serba terbuka. Tapi resiko PDIP jika ‘menyiwak’ Gus Ipul akan sangat fatal,” kata Surochim mengingatkan.
Karena, lanjutnya, surat kiai dan pesan para kiai sudah sangat vulgar kepada Megawati. “Jika itu tidak menjadi bahan pertimbangan, relasi PDIP dan kiai struktural NU, akan sangat merugikan PDIP dalam efek elektoral. Dan itu akan pulih lama.”
Pun begitu jika PDIP memutuskan akan mengusung duet Gus Ipul-Abdullah Azwar Anas. “Sebenarnya, Gus Ipul-Anas itu secara elektoral tidak memberi efek baik kepada PDIP. Khususnya menyangkut soliditas kader PDIP. Karena A3 (Anas) lebih identik dengan NU daripada sebagai kader PDIP. Pilihan strategis bagi PDIP menurut saya, masih Gus Ipul-Risma atau GI-Djarit.”
“Jika kemudian yang diusung Gus Ipul-Anas, maka pertama kali resiko yang akan diterima PDIP adalah potensi tidak solidnya kader di daerah akan menyita energi. Menghadapi Khofifah juga sama, harus dilihat paketannya, wakil Khofifah jadi siapa?,” sambungnya.
Maka, dosen pengajar Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini menyarankan, “Pilihan ideal dan realistis bagi PDIP menurut saya Gus Ipul-Risma atau Gus Ipul-Djarot,” tegasnya.
Pun begitu jika PDIP lebih memilih mengusung kader sendiri, Risma-Anas. “Jika yang diusung Risma-Anas, kendati secara popularitas tinggi, tapi efek perseteruan kiai dan PDIP akan terbuka lebar. Dan itu akan berbahaya bagi PDIP di Jatim yang mayoritas warga Nahdliyin,” kembali Surochim mengingatkan.
“Surat kiai jelas untuk Gus Ipul, bukan Anas atau Risma. Makanya, resikonya besar jika PDIP ‘menceraikan’ Gus Ipul dan tidak mengindahkan surat para kiai. PDIP harus hati-hati soal itu. Megawati mengutus (Ahmad) Basarah untuk sowan kiai juga sudah jelas pesannya. Jika PDIP nekat, itu sama halnya membuka front baru konflik laten dengan para kiai dan warga NU,” tandasnya.
Manuver PDIP penuh kebimbangan .
Surochim juga menilai, agenda PDIP pada Minggu besok akan menjadi kejutan bagi lawan politiknya. “Manuver PDIP tanggal 15 (Oktober) besok, sungguh misterius dan sulit dibaca lawan. Itu berkasnya politik PDIP. Di saat semua partai lain menunggu kejelasan, PDIP masih bisa menciptakan ketidakjelasan-ketidakjelasan hingga besok,” analisanya.
Di sisi lain, katanya lagi, PDIP juga menunjukkan kebimbangan soal mengusung Cagubnya. “Dari serpihan-serpihan informasi, tanda-tanda hasil rekaman media, dan pemilihan waktu yang berbarengan dengan masa purna tugas Pak Djarot di Jakarta, peluang kader untuk masuk di jajaran Cawagub, sepertinya menguat.”
Sementara di posisi Cagub, nilai Surochim, “Saya pikir pesan PKB kemarin (penyerahan rekomendasi ke Gus Ipul) kepada PDIP juga jelas. PDIP masih akan bimbang mengusung kader sendiri pada posisi Cagub. Jadi menurut saya, kalau diminta prediksi, bisa jadi Gus Ipul-Djarot, Gus Ipul-Risma,” katanya mengakhiri percakapan. (ak.mdk)