Hukum Pidana Dijadikan Alat untuk Hancurkan Demokrasi
Abadikini.com, JAKARTA – Praktisi Hukum Maqdir Ismail menilai penegakan hukum di era pemerintahan Jokowi-JK nampak sekali dipakai sebagai alat untuk mengebiri demokrasi.
“Cara yang paling mudah menghancurkan sistem demokrasi adalah dengan menggunakan instrumen hukum pidana, karena banyak orang akan pasang badan mendukung untuk mempidanakan penjahat, terutama ‘koruptor'” kata pengacara Maqdir Ismail dalam twit-nya di akun @maqdir_ismail, Selasa (4/9/2018).
Cara yang paling mudah menghancurkan sistem demokrasi adalah dengan menggunakan instrumen hukum pidana, karena banyak orang akan pasang badan mendukung mempidanakan penjahat, terutama “koruptor”
— Maqdir Ismail (@maqdir_ismail) September 4, 2018
“Rusak dan hancurkanlah seluruh sistem demokrasi agar bisa kuasa dan kekuasaan yang digenggam jadi permanen,” sambungnya.
Maqdir mengatakan, banyak menggunakan instrumen hukum untuk hal tertentu, khususnya hukum pidana dihadirkan untuk gegap gempita serta acungan jempol.
“Teorinya instrumen hukum pidana adalah instrumen terakhir dalam mengatasi masalah negara, tapi dalam praktik hukum kita, instrumen hukum pidana lebih diutamakan, karena hukum pidana menghadirkan gegap gempita dan acungan jempol,” jelas dia.
Maqdir menyarankan, agar para pelaku politik untuk bertarung secara terbuka, bukan bersembunyi, sehingga bisa memperbaiki demokrasi.
“Untuk memperbaiki demokrasi dan penegakan hukum di negeri ini, ikutlah ‘bertarung’ untuk jadi apapun, termasuk jadi pejabat publik atau penegak hukum bukan bersembunyi, bahkan tidak berani menggunakan nama asli ketika nulis tweet,” tambah Maqdir.
Menurut Maqdir, seharusnya ketika koruptor sudah dihukum oleh pengadilan, maka tidak ada lagi yang berhak menghukum mereka dengan memberikan hukuman tambahan. Sebab Kata Maqdir, Hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah atas nama penegakan hukum yang berlaku di negara.
“Pejabat publik dì DPR, DPRD dan DPD yang pilih adalah rakyat, ketika ulama atau mantan koruptor dipilih oleh rakyat, maka itulah pilihan rakyat. Tidak ada yg berhak termasuk KPU utk melarang rakyat memilih pejabat publik karena dia ulama atau mantan koruptor,” pungkasnya. (ak)