Tak Bijak, Salahkan Putusan MK Soal Pemilu Serentak
Abadikini.com, JAKARTA – Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menilai, tidak bijak jika mempersalahkan MK atas pelaksanaan Pemilu 2019. Menurut Fajar, MK melalui putusan tersebut telah memberikan tafsir konstitusional.
“Mempersoalkan kembali, apalagi menyalahkan Putusan MK perihal Pemilu serentak, bukanlah cara pandang yang bijak. MK melalui putusan tersebut telah memberikan tafsir konstitusional. Putusan MK itu, dengan segenap pertimbangan hukum di dalamnya menegaskan desain pemilu yang dikehendaki UUD 1945,” ujar Fajar saat dihubungi, Sabtu (27/4/2019).
Dalam putusan tersebut, kata Fajar, MK menyatakan, Pileg dan Pilpres yang digelar dalam waktu berbeda tidak sesuai atau bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, desain pemilu dalam UU Pemilu tak sejalan dengan UUD 1945.
“Maka melalui putusan itu pula, UU Pemilu diselaraskan dengan UUD 1945. Jadi, sampai hari ini, putusan MK tersebut merupakan hukum konstitusi yang berlaku yang mestinya dihormati,” kata Fajar Laksono.
Mengutip dari Beritasatu, Lebih lanjut, Fajar mengatakan, evaluasi pemilu serentak secara menyeluruh perlu dilakukan, tanpa perlu latah dan terhanyut menyalah-nyalahkan putusan MK. Dengan adanya persoapan yang muncul, menurut dia, perlu ada ada evaluasi pemilu serentak.
“Evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu serentak tentu perlu dilakukan. Banyaknya persoalan merupakan tantangan besar kita dalam menegakkan demokrasi konstitusional yang sudah kita sepakati,” ungkap dia.
Soal wacana pemisahan pemilu serentak nasional dan daerah, kata Fajar, sah-sah saja dan tidak menjadi masalah. Soal konstitusionalitas dari wacana tersebut, menurut dia, MK baru bisa memberikan penilaian sesuai dengan kewenangannya, yakni ketika ada perkara yang diajukan ke MK.
“Keserantakan sudah sangat jelas kan, pemilu 5 kotak. Kalau keserentakan yang dipersoalkan, agak sumir, kan cuma nambah 1 kotak, yaitu pilpres,” pungkas dia.
Sebelumnya, Politisi PDIP, Effendi Simbolon menegaskan bahwa pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 merupakan dampak dari putusan MK. Menurut Effendi, UU pemilu sebenarnya tidak menghendaki pelaksanaan pemilu yang serentak.
“Kita sudah melalui masa yang sangat bersejarah pada 17 April. Di mana masa yang sangat berisiko sudah kita lewati. Yang bukan kehendak sama-sama, tapi saya juga tidak tahu kehendak siapa itu. Sebab kalau undang-undagnya, sebenernya kita bukan pemilu yang serentak. Jadi pemilu ini, ulahnya teman-teman di MK sebenarnya,” ujar Effendi dalam diskusi bertajuk ‘Silent Killer Pemilu’ di Gondangdia, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4/2019).
Menurut Effendi, pemilu serentak ini merupakan hasil putusan MK atas judicial review atau uji materi UU Pemilu sebelumnya. Namun, pemilu serentak ini justru berdampak negatif seperti sekarang ini.
“Ini adalah hasil judicial review yang dilakukan oleh teman-teman di LSM dan akhirnya melucuti keberadaan dari pemilu itu sendiri dan naifnya memang kita mengikuti itu. Kita ikuti sehingga kita menyesuaikan dengan suatu skema yang kita sendiri tidak yakin sebenarnya skema itu baik atauenggak bagi proses demokrasi kita,” jelas Effendi.
Lebih lanjut, Effendi mengakui bahwa sebenarnya buka hanyak MK yang bertanggung jawab, tetapi juga pemohon uji materi serta DPR dan pemerintah sebagai pembuat Undang-Undang. Pasalnya, kata dia, UU Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017) merupakan aturan yang banci.
“Sebab, UU Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017) merupakan aturan yang banci. Kita mau pemilu serentak dan serempak. Tapi undang-undangnya tidak jelas,” tegas Effendi.
Dia mencontohkan, dalam pemilu saat ini menggunakan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen. Namun, yang digunakan sebagai rujukan untuk mengusung capres-cawapres adalah hasil Pemilu 2014.
Selain itu, Effendi mengungkapkan dampak negatif dari pemilu serentak. Salah satu yang paling konkret adalah fokus dari berbagai pihak hanya tertuju kepada pemilu eksekutif, dan pemilu legislatif cenderung diabaikan.
“Seolah-olah pilpres adalah menu utama dan pileg hanya menu tambahan saja,” ungkapnya.
Padahal, kata Effendi, baik eksekutif dan legislatif sama-sama penting. Menurut dia, tidak mungkin suatu pemilu sudah memilih presiden dan wakil presiden tetapi tidak ada DPR-nya.
“Sejak awal kita tak pernah jujur. Kita meletakkan undang-undang yang sulit dilaksanakan KPU. Saya tidak mengatakan keabsahan pemilu ini tidak sah, tapi kita harus beri tahukan ke publik bahwa pemilu yang dirancang undang-undang selama ini sebenarnya sudah normatif, kita melakukan proses yang normal, sudah baik. Kemudian ada judicial review,” pungkas dia.