Ulasan Film: ’27 Steps of May’
Abadikini.com – Jangan harap ada riuh dialog bersahutan saat menonton 27 Steps of May. Sutradara Ravi Bharwani menyuguhkan trauma korban kekerasan seksual dalam sunyi. Ia membawa penonton menyelami rasa sakit sekaligus menyesakkan seorang May, yang menjadi korban pemerkosaan sekelompok orang tak dikenal saat berusia 14 tahun.
Mata penonton dibuka untuk melihat beratnya langkah hingga perjuangan seorang korban pemerkosaan untuk bertahan hidup. Akibat trauma mendalam, May menarik diri sepenuhnya dari kehidupan. Hidupnya tanpa koneksi, emosi, bahkan sekadar komunikasi.
Peristiwa yang dialami May tak hanya berdampak pada hidupnya sendiri, melainkan juga Bapak, yang amat terpukul dan terus menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga May.
Sejak itu, Bapak siap mengorbankan segalanya demi kenyamanan dan perlindungan bagi sang putri semata mayang. Namun di baliknya, Bapak sendiri bergulat dengan batinnya.
Ia pun memilih menyalurkan segala emosinya di ring tinju.
Selama delapan tahun, ayah dan anak ini berusaha bertahan serta keluar dari lingkup ruang trauma. Butuh waktu panjang untuk kemudian bisa bangkit dan setidaknya May berani melihat dunia luar kembali. Namun Ravi tak butuh waktu selama itu untuk membuat penonton terperenyak dan terenyuh, ikut merasakan sulitnya menjadi May maupun Bapak.
Tak heran jika 27 Steps of May membetot perhatian saat tayang perdana di Busan International Film Festival. Tak perlu dipertanyakan pula ketika film itu melangkah dari satu festival film internasional ke yang lain, merengkuh penghargaan demi penghargaan.
Karya Ravi didukung akting Raihaanun yang mampu menampilkan trauma psikologi hanya lewat gestur tubuh serta tatapan mata, sebagai May. Apresiasi yang sama pun diberikan kepada Lukman Sardi, pemeran Bapak, yang bisa menyuguhkan kegigihan untuk terus berada di sisi putrinya yang tengah terpuruk sembari menyembuhkan lukanya sendiri.
Di antara dua tokoh utama ini, Ravi turut menyuguhkan karakter pesulap (diperankan Ario Bayu) yang tinggal di sebelah rumah May dan seolah menjadi pintu bagi May untuk dapat sedikit keluar dari jeratan mimpi buruk. Interaksi antarkarakter yang dibangun lewat lubang di kamar May menjadi jalan untuk dia menumbuhkan keberanian membuka diri kembali.
Karakter pesulap itu pun seolah menjadi gambaran pentingnya pendampingan serta dukungan bagi para korban, peran yang tak hanya dibutuhkan dari seorang Bapak.
Tak sekadar menampilkan tangis yang berlarut, Ravi juga menyuguhkan gambaran sulitnya proses untuk bangkit. Beberapa aspek kecil saja membuat May kembali teringat akan trauma buruk dan membuatnya tak terkendali. Lantas bagaimana ia harus melewati itu semua?
Dalam gelapnya kisah cerita ini, karakter Verdi Solaiman sebagai kawan Bapak berhasil muncul menjadi penetralisir cerita. Ia memberi warna tanpa mengganggu benang merah cerita.
Secara keseluruhan, 27 Steps of May merupakan film yang penting sekaligus patut untuk disaksikan. Film ini menjadi potret bagaimana trauma serta pergulatan batin yang dialami korban pemerkosaan atau kekerasan seksual sebuah perjuangan berat.
Film 27 Steps of May akhirnya tayang di bioskop Indonesia setelah melangkah ke sejumlah festival film internasional sejak Oktober tahun lalu. Selamat menyaksikan.