Menguak Sejarah PKI dan Tragedi G30S 1965 dari Kacamata Barat
Mengendus kembali jejak dan sejarah G 30 S adalah sebuah usaha untuk melawan lupa. Lupa/ sengaja melupakan pada hemat penulis dilatari oleh dua hal yakni pertama lupa adalah upaya untuk menghindari luka psikis akibat sebuah peristiwa kelam masa lalu.
Atau dengan kata lain lupa/ sengaja melupakan adalah upaya menghindari penderitaan atau trauma masa lain. Kedua, lupa atau melupakan terkait dengan kehilangan sense of history seseorang, sekelompok orang atau sebuah bangsa. Jika sense of history itu hilang hampir pasti setiap individu tidak mau belajar dari sejarah dan adanya sebuah tindakan antisipatif alpa sehingga ada kemungkinan peristiwa masa lalu itu terulang.
Dengan demikian lupa persis bersentuhan dengan upaya untuk belajar dan merawat ingatan. Namun bagaimanapun lupa pada akhirnya menjadi sebuah persoalan yang krusial manakala peristiwa yang dilupakan (sengaja dilupakan) menjadi salah satu tonggak penting kehidupan berbangsa.
Setiap peristiwa dalam kehidupan berbangsa (termasuk di dalamnya adalah tragedi G 30 S) adalah moment untuk belajar demi membawa bangsa yang kita cintai ini pada arah yang lebih baik. Untuk konteks negara demokrasi sekelas Indonesia melupakan sejarah adalah sebuah tragedi yang perlu diratapi.
Tulisan sederhana ini merupakan upaya untuk merawat ingatan dan meniti kembali jejak G 30 S yang bertolak dari laporan Cornell Paper. Cornell Paper adalah laporan hasil penelitian dari Benedict G. Anderson dan Ruth T. McVey tentang situasi perpolitikan Indonesia seputar Gerakan 30 September 1965.
Sejatinya laporan ini berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia namun sering pula disebut dengan Cornell Paper. Pada saat menulis Cornell Paper, Benedict G. Anderson dan Ruth T. McVey adalah mahasiswa sekaligus peneliti yang memerhatikan gerak sejarah peradaban bangsa secara khusus tahun 1965 saat tragedi G 30 S berlangsung. Mereka sempat diusir oleh pemerintah Indonesia kala itu karena hasil penelitian mereka bertentangan dengan suara pemerintah yang menitikberatkan tragedi berdarah G 30 S pada PKI.
Tesis dasar Anderson dan McVey dalam penelitiannya ialah bahwa G 30 S pecah karena konflik intern dalam tubuh Angkatan Darat. Gejolak ini lahir dari ketidakpuasan perwira muda dalam tubuh Angkatan Darat khususnya dari divisi Diponegoro, Semarang.
Para perwira muda seperti Untung, Supardjo dan Latief merasa tidak puas dengan kepemimpinan dalam tubuh Angkatan Darat yang lemah dalam membangun sebuah kekuatan yang anti komunis selain itu para pemimpin di tingkat pusat (SUAD) dinilai telah terlena dengan kehidupan ibukota. Selanjutnya mereka menilai para petinggi Angkatan Darat melupakan bawahannya (A. Yani dan beberapa perwira berasal dari kodam Diponegoro).
Dalil lain yang diajukan Anderson dan McVey adalah bahwa sebuah ketidakmungkinan gerakan ini dilecut oleh PKI karena tidak adanya koordinasi yang mantap dan terpadu terhadap gerakan ini sebab PKI adalah organisasi massa yang pengikutnya sangat banyak dan terstruktur. PKI, lanjut Anderson dan McVey, adalah organisasi massa yang cukup mendapat keuntungan dari rezim Soekarno yang anti Barat dan Amerika.
Perang ideologi Pascaperang D.unia II menempatkan Soekarno pada posisi membela komunis dan pada saat yang sama menjadikan PKI di Indonesia bertumbuh sangat subur. Hal inilah yang membuat PKI selama masa Soekarno mendapat kemudahan. Dengan demikian pertanyaan lebih lanjut yang diajukan Anderson dan Mcvey adalah untuk apa PKI melakukan kudeta ini jika memang semua kemudahan itu didapat?G30 S versi Cornell Paper adalah sebuah gerakan yang tidak didalangi oleh PKI.
Cornell Paper merupakan sebuah studi yang krusial dan emblematis. Dikatakan demikian karena karya ini merupakan api pelecut bagi penelusuran rekam jejak G 30 S. Cornell Paper juga menjadi sebuah introduksi yang elegan bagi pencarian akan sebuah fakta sejarah G 30 S.Elegan, oleh karena ia menjadi suara yang melawan arus ketika rezim membungkam dan menutupi sebuah fakta.
Tulisan ini adalah sebuah upaya untuk mengendus jejak-jejak sejarah narasi G 30 S yang secara khusus berangkat dari analisa Benedict G. Anderson dan Ruth T. McVey (Cornell Paper). Mengapa Cornell Paper? Pertama-tama karena analisis Anderson dan McVey ini adalah sebuah tonggak awal bagi rangkaian upaya mengendus jejak narasi G 30 S.
Tanpa mengesampingkan hasil studi serupa lainnya, Cornell Paper adalah sebuah arah awal bagi penemuan PKI sebagai kambing hitam dari kisah tragis pembantaian yang bertajuk pembersihan negara dari antek-antek komunis. Kita tahu dengan baik bahwa setelah dilakukan studi dan riset yang mendalam tentang jumlah korban kekejian yang bernaung dibawah ideologi “pembersihan negara dari PKI dan antek-anteknya”, banyak orang tak bersalah dimusnahkan secara massal. Pada zamannya, ‘PKI’ adalah stigma dan luka yang dengannya nyawa menjadi taruhannya.
Tulisan ini berangkat dari Cornell Paper. Dengan menjadikan Cornell Paper sebagai landasan pijak, penulis sebenarnya ingin menunjukan kepada pembaca bahwa hingga kini telah banyak studi mendalam tentang peristiwa G 30 S (khususnya untuk menemukan siapa dalang di balik peristiwa ini). Jadi Cornell Paper adalah sebuah studi dan penelitian pertama yang memberi inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Tulisan ini tidak hendak menemukan siapa dalang dari peristiwa ini tetapi lebih dari itu menghadirkan kepada pembaca sebuah tawaran untuk melakukan tindakan konkret setelah memahami alur kisah kekejaman G 30 S. Menemukan siapa dalang hanya akan membawa kita pada aneka macam tindakan destruktif baik berupa tindakan nyata (perusakan, pembasmian, membenci, dan lain sebagainya) atau juga tindakan destruktif yang bersifat verbal (mengumpat, mencaci dan lain sebagainya).
Cornell Paper, Harold Crouch dan John Roosa
Studi sejarah G 30 S a la Cornell Paper memberi warna pada investigasi dan riset sejarah setelahnya. Sebagai sebuah analisis, Cornell Paper tetap terbuka untuk dijadikan fundasi bagi riset sejarah lebih lanjut. Dengan kata lain data dari Cornell Paper bukan sebuah fakta tunggal yang bisa dijadikan benang merah untuk menarik kesimpulan tentang Gerakan 30 September.
Kelemahan dalam analisis Anderson dan McVey dalam Cornell Paper ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama: analisis yang mengatakan bahwa kudeta gagal ini berawal dari ‘pemberontakan’ perwira Diponegoro. G 30 S menyertakan nama Brigjend Supardjo yang berasal dari Kodam Siliwangi serta menyelipkan nama mayor udara Sujono. Dapat dikatakan bahwa kedua nama yang disebut terakhir ini bukanlah berasal dari Kodam Diponegoro maupun dari Angkatan Darat.
Kedua: Cornell Paper menyebut G 30 S sebagai riak yang timbul dalam tubuh angkatan darat sendiri (persoalan intern AD). Dalil ini tidak cukup kuat sebab G30 S menyelipkan nama para pemimpin PKI yakni Sjam Kamaruzaman dan Pono juga terlibat. Dengan kata lain para pemimpin PKI juga terlibat dalam gerakan ini. Jadi tidak murni sebagai persoalan intern Angkatan Darat.
Nampaknya Cornell Paper berusaha untuk membebaskan PKI dari tuduhan mendalangi kedeta gagal yang telah berhasil membunuh perwira Angkatan Darat tersebut. Asumsi Cornell Paper tidak sepenuhnya salah tetapi masih ada ruang kosong yang mesti dilengkapi oleh studi sejarah lain tentang peristiwa ini.
Analisis Harold Crouch berawal dari Cornell Paper. Hasil penelitian Crouch boleh dikatakan sebagi sebuah ‘jalan tengah’ penelitian Cornell Paper sebab Crouch bersikukuh bahwa G 30 S tidak sepenuhnya membebaskan PKI dari tuduhan sebagai dalang ataupun gerakan ini murni berasal dari dalam tubuh Angkatan Darat sendiri. G 30 S, lanjut Crouch, adalah gerakan yang diawali oleh angkatan darat sendiri selanjutnya dalam pelaksanaannya melibatkan PKI.
Boleh dikatakan bahwa inisiatif gerakan ini berasal dari dalam tubuh Angkatan Darat dan PKI adalah figur protagonis yang menyokong gerakan ini. Dengan kata lain para perwira yang terlibat dalam gerakan ini adalah sekutu-sekutu PKI. Kerjasama saling menguntungkan ini adalah motif dasar mengapa para perwira angkatan darat juga terlibat. Crouch dengan teorinya ini masih menyisakan lubang yang tak bisa ditambal khususnya ketika menjelaskan akhir dari alur gerakan kedeta ini. Crouch tidak berhasil menjelaskan mengapa kudeta ini berakhir gagal.
John Roosa menerbitkan hasil risetnya terhadap Gerakan 30 September melalui sebuah buku berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (dialihbahasakan dengan judul: Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto). Dalam analisis Roosa G 30 S berakhir kegagalan total oleh karena kudeta ini tidak mempunyai garis komando yang jelas.
Dengan kata lain kegagalan G 30 S lebih karena dualisme kepemimpinan dari kalangan militer (Untung, Latief, dan Sujono) serta dari kalangan biro khusus PKI yakniSjam, Pono, dan Aidit yang menjadi pemain di belakang layar. Roosa memberikan penekanan pada peran Sjam yang menjadi penghubung antara militer dan PKI. Syam disebut sebagai agen ganda: pemimpin PKI yang bisa menyusup ke dalam tubuh Angkatan Darat.
Masih ada begitu banyak versi yang berusaha mengurai kekaburan narasi disekitar peristiwa G 30 S ini, akan tetapi hingga saat ini masih belum menemukan sebuah pola yang baku sebagai sebuah narsi yang baku untuk menjelaskan peristiwa ini. Mengurai benang kusut tragedi G 30 S mencuatkan sebuah tendensi yakni mencari dalang dibalik peristiwa ini.
Namun satu hal yang pasti yakni peristiwa G 30 S adalah sebuah awal dari penendangan martabat manusia. Banyak orang dibasmi dan dibantai demi sebuah kebijakan membebaskan Indonesia dari PKI. Singkatnya PKI telah menjadi sebuah organisasi massa tempat diletakkannya amarah semua orang karena pembunuhan para petinggi militer di negeri ini. PKI menjadi sebuah dalil bagi pembantaian ratusan bahkan jutaan anak-anak bangsa yang tak bersalah. Justifikasi kekerasan dan pembunuhan adalah sejarah kelam peradaban bangsa Indonesia.
G 30 S dan Amnesia Kolektif
Kita tentu mengingat pesan Bung Karno: “Jas Merah: jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Nada pesan ini amat provokatif serta membangunkan semua orang untuk menghargai dan menjunjung tinggi sejarah. Sejarah menjadi salah satu fondasi untuk mengukur maju mundurnya kehidupan berbangsa. Sejarah bukanlah soal pengetahuan tentang rentetan pristiwa masa silam yang mesti dirunut secara kronologis tetapi lebih dari itu sejarah merupakan khasanah nilai-nilai kehidupan berbangsa. Salah satu sejarah yang mesti dan harus diingat adalah tragedi yang kerap disebut dengan Gerakan 30 September.
Bentangan narasi sejarah peristiwa ini adalah awan kelam yang mengiringgi sejarah peradaban bangsa Indonesia, namun sampai kini belum banyak masyarakat Indonesia yang membuat telaah dan studi mendalam untuk menguak tabir peristiwa ini. Maka tidak mengherankan jika dalam salah satu wawancara seorang ‘pakar Indonesia’ untuk peristiwa tersebut, John Roosa berkata, “Saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil.”
Sejauh penelusuran kami studi revolutif tentang Gerakan 30 September banyak dilakukan oleh para pakar luar negeri yang menyebut dirinya ‘Indonesianist’. Sebut saja John Roosa, G. Robinson, Robert Cribbs, Daniel S. Lev, Peter. D. Scott, A. Dake dan lain sebagainya. Adapun studi yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri masih begitu minim misalnya karya Aswi Warman Adam (Soeharto File, 1965:Orang-Orang Dibalik Tragedi) atau Baskara T. Wardana (Membongkar Supersemar, Suara Dibalik Prahara).
Amnesia kolektif, itulah salah satu ciri bangsa kita. Sejarah yang begitu besar ini mudah sekali dihapus dari ingatan kita. Celakanya, sebagian orang menghapus dari ingatan dan pada saat yang sama sebagian lagi mengakui secara terpaksa (taken for granted) cerita besar (grand narrative) tentang kronologi kisah iniyang dikemas dan dikembangkan oleh rezim Orde Baru yang telah disusupi oleh kepentingan ideologis. Ada pula kategori ketiga yang bisa kita sebut: mereka yang tak mau ambil pusing dengan sejarah bangsa.
Selubung ‘kebenaran’ narasi G 30 S belum terurai secara tuntas. Terlebih jika kita menilik secara runut rentetan peristiwa setelahnya yakni pembantaian jutaan orang tak bersalah yang diindentifikasi berbau PKI. Bahkan pertanggungjawaban peristiwa ini secara sistematis dikeluarkan oleh pemerintah. Pertanggungjawaban yang ‘tersistematisasi’ ini menjadi sebuah sarana rezim Orde Baru untuk membungkam kebenaran sejarah.
Banyak nyawa direngut oleh sebuah rezim yang totaliter: Orde Baru. Maka mengenang para korban untuk selanjutnya belajar dari sejarah adalah sebuah keharusan yang mesti dimiliki oleh setiap pribadi yang mengakui dirinya sebagai bangsa Indonesia. Dengan kata lain memoria passionis adalah aktifitas yang melampaui melupakan. Mengenang Orde Baru bukan sekedar kita mengingatnya sebagai sebuah rezim yang memberi pengaruh yang besar bagi bangsa ini tetapi lebih dari itu ialah belajar untuk melihat bahwa pembantaian PKI oleh rezim Orde Baru adalah sebuah pemandulan rasionalitas.
Bahwa kekuasaan yang diboncengi oleh ideologis sekelompok golongan atau pribadi membawa sebuah bangsa pada jurang kehancuran untuk menghargai hak asasi manusia. Selain itu menutupi fakta narasi G 30 S adalah sebuah penumpulan proses berpikir kritis bagi para warga negara untuk menemukan kebenaran sekaligus menyuburkan ketidakadilan. Merunut sejarah G 30 S adalah salah satu upaya untuk mengembalikan kemampuan berpikir kritis sebagian masyarakat Indonesia tentang peristiwa ini.
Tubuh sebagai Mesin Rezim
Benedict Anderson dalam laporannya tahun 1995 menyebut sekitar 500.000 hingga 1 juta simpatisan PKI menjadi tumbal bagi pembersihan negara dari rezim komunis. Fact Finding Commision, mengutip pengakuan komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo menyebut 78.000 hingga 3 juta nyawa dihilangkan karena jargon “tumpas PKI hingga ke akar-akarnya” ini. Tak terhitung yang ditahan dan dilecehkan. Banyak dari antara para pelaku sejarah yang masih hidup hingga kini menyimpan luka yang tak terobati. Trauma masa lalu menjadi cerita pedih yang selalu dikenang sepanjang hidupnya.
Pembelokan sejarah yang dilakukan oleh Orde Baru sukses mendiskreditkan PKI sehingga menjadi sasaran kebencian sebagian besar masyarakat Indonesia. Cornell Paper mencatat bahwa setelah berlangsungnya kedeta gagal G 30 S koran-koran ibukota ramai memberitakan kekejian aksi PKI yang melampaui ambang batas kemanusiaan. Orde Baru menjadikan PKI sebagai organisasi yang haram untuk hidup di Indonesia.
Narasi kekejaman Gerwani terhadap para jendral di Lubang Buaya setelah kematiaannya dibiaskan seolah mereka adalah pribadi-pribadi yang tak berperikemanusiaan.Padahal hasil visum et repertum yang dilakukan oleh para dokter di RSPAD Gatot Subroto tidak menunjukan kematian para jendaral akibat perlakuan keji para Gerwani semisal menyayat atau menyileti tubuh, memutilasi para jendral, mencungkil mata dan lain sebagainya. Oleh rezim Soeharto hasil visum ini tidak dipublikasikan.
Selanjutnya mudah ditebak perihal tanggapan masyarakat luas tentang PKI. Kebencian terhadap PKI menyebar hampir di seantero Nusantara. Para simpatisan dikejar, dianiaya dan dibunuh. Singkatnya dalam bahasa A. H Nasution “ditumpas sampai ke akar-akarnya”
Namun siapakah pelaku pelecehan dan pembunuhan terhadap simpatisan komunis (PKI) tersebut?Pelaku pembantaian pertama-tama adalah para tentara atau tepatnya RPKAD. Cornell Paper mencatat bahwa pembantaian para simpatisan PKI baik di Jawa, Bali dan beberapa daerah di Indonesia dilakukan setelah RPKAD tiba di daerah tersebut.
Dengan kata lain penumpasan simpatisan PKI di Indonesia berlangsung di bawah komando ABRI. ABRI melibatkan rakyat sipil yang mempunyai sentimen dan kebencian terhadap PKI. Rakyat sipil membunuh karena mereka berada di bawah tekanan militer: membunuh atau dibunuh (militer).
Narasi lisan para pelaku sejarah yang masih hidup memberikan gambaran yang jelas kepada kita bahwa keterlibatan sipil dalam penumpasan PKI karena perintah militer. Mereka didoktrin sedemikian rupa sehingga tugas membunuh tersebut ialah perintah negara.
Kepatuhan para algojo 1965 untuk menjagal para simpatisan PKI dengan alasan “tugas negara” mengingatkan kita pada reportase Hanah Arendt tentang pengadilan Adolf Eichman. Tubuh para algojo seakan menjadi mesin otomatis yang patuh terhadap perintah negara untuk membunuh.
Simaklah bagaimana pengakuan Anwar Congo, I Ketut Mantram, Mochamad Samsi atau Bapak Tengkorak yang berhasil membantai dengan sadis para simpatisan PKI. Uniknya ialah bahwa mereka tidak menyesal karena telah membunuh puluhan bahkan ratusan orang.Fenomena inilah yang membuat G 30 S begitu dramatis.
Dramatis oleh karena pembunuhan atau tepatnya pembasmian simpasisan PKI dengan jumlah korban jiwa yang sangat banyak ini dilakukan oleh putra bangsa sendiri bahkan oleh keluarga sendiri. Para pembunuh tak segan-segan membunuh para anggota keluarganya yang dilabeli PKI.
Tubuh (keseluruhan diri) para penjagal bagaikan mesin otomotis yang berada di bawah kendali rezim Orde Baru. Analogi mesin mengingatkan kita akan kerja mesin yang otomatis. Mesin digerakan dari luar serta tidak mengalami perkembangan (dalam hal proses pertumbuhan). Mesin akan tetap menjadi mesin dengan fungsi yang telah diatur. Para algojo tak beda dari mesin yang bekerja otomatis.
Pengendali mesin tubuh tersebut adalah rezim Orde Baru. Para algojo didoktrin sedemikian rupa agarmereka sungguh tunduk dan patuh pada perintah yang diberikan oleh atasan.Pengontrolan tubuh di bawah kekuasaan rezim merupakan persoalan krusial ketika pada saat yang sama nurani menjadi tumpul.Nurani adalah instansi moral yang dapat menolak setiap perintah, peratuhan atau hukum yang tidak adil. Perangkat inilah yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya.
Kemanusiaan yang tumpul menjadikan seseorang mempunyai jarak dengan yang lain. Lebih dari itu ialah ketiadaan empati untuk merasa bahwa saya adalah bagian dari ‘mereka’. Dengan kata lain kemanusiaan atau nurani memungkinkan setiap pribadi untuk mengambil bagian dari penderitaan yang sedang dialami orang lain. Para pelaku yang berani membunuh sesamanya yang dicap sebagai kader PKI tentunya berada pada disposisi bahwa ada jarak bahkan jurang antara dirinya dengan para korban. Jurang itu tercipta karena kealpaan nurani untuk bersuara.
Melampaui Memaafkan
Tragedi G 30 S menyimpan sebuah luka bagi sebuah sejarah penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Tentu banyak yang menyimpan kebencian, dendam dan trauma. Dalam proses ziarah dan usahanya menuju sebuah negara yang lebih merdeka dan menjunjung tinggi kemanusiaan sesuai dengan sila ke lima pancasila: perlukah sebuah kata maaf untuk banalitas kejadian seperti ini? Mendiang Gus Dur telah memulai sebuah upaya rekonsiliasi dengan keluarga korban G30 S khususnya mengenai keterlibatan Nahdlatul Ulama.
Tentu ini sebuah usaha yang baik sebab tersembul kesadaran untuk memperbaiki sejarah kelam masa silam dengan harapan semoga kebencian jangan berlarut dan tragedi ini tidak terulang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin melalukan langkah serupa. Filsuf sekaligus rohaniwan Franz Magnis Suseno menanggap positif seruan presiden ini. Nada dasar dukungan yang disampaikan oleh Magniz Suseno ialah bahwa permintaan maaf tersebut pada saat yang sama berarti mengakui segala kesalahan masa lalu bangsa ini atas semua pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi manusia.
Dukungan rakyat terhadap upaya presiden tersebut adalah suara atau seruan anak-anak bangsa yang terbuka hati dan pikirannya untuk melihat peristiwa tersebut sebagai sebuah kenangan masa lalu yang pahit sebab memaafkan itu berarti membebaskan.
Dari Cornell Paper, Harold Crouch, John Roosa maupun para peneliti lainnya kita mengetahui siapa saja yang terlibat atau dalang kengerian G 30 S. Para pelaku pembantaian hingga kini pun masih hidup. Di lain sisi para korban adalah pribadi-pribadi anonim yang tak pernah tercatat sejarah. Mereka hanya dikenal ‘sebagai massa yang menjadi korban’. Dengan demikian memaafkan di sini selalu mengandung makna ganda.
Pertama: memaafkan berarti rekonsiliasi. Rekonsiliasi mengandaikan adanya keterbukaan dari pihak pelaku (yang masih hidup) untuk merunut kisah kelam tersebut meski sepenggal demi sepenggal. Sejarah yang terbentang dalam masa Orde baru adalah sejarah yang dibuat rezim karena itu narasinya selalu melayani kepentingan rezim (Orde Baru).
Rakyat dipengaruhi sedemikian rupa agar mempercayai fakta fiktif yang disebarkan rezim. Melalui tindakan seperti ini narasi kecil dari pelaku sejarah sendiri tidak diperhatikan atau bahkan diabaikan. Mendengar kisah para pelaku berarti mendengar narasi kecil yang kerap diabaikan sekaligus menaruh curiga (atau ketidakpercayaan) terhadap kisah atau narasi yang dikembangkan rezim penguasa Orde Baru. Para pelaku diajak untuk berkisah dan berbicara tentang peristiwa yang menyeret mereka sebagai aktornya. Kisah para pelaku bukan hanya untuk konsumsi mereka sendiri tetapi untuk semua orang.Dengan kata lain ada sebuah perubahan kesadaran dan cara pikir dari para pelaku.
Jika sebelumnya mereka menjadi takut terhadap amarah kolektif maka mereka perlu diyakinkan untuk tidak perlu takut dalam membuka tabir gelap kekejian G 30 S. Sejarah G 30 S yang bertolak dari narasi para pelaku itu menegur. Ia menegur sekaligus membangunkan semua orang dari ketaksadaran terstruktur yang telah lama tertanam dalam dirinya. Bagi para pelaku, mereka diiingatkan bahwa mereka pada zamannya adalah organ negara atau mesin rezim, yang karenanya logika dan nurani mereka menjadi tumpul. Dengan mengingat lagi kisah itu mereka diajak untuk membuka lembar kesadaran baru bahwa rasionalitas yang alpa dan nurani yang tumpul kala itu adalah sebuah keadaan paling mengerikan dan banal.
Imajinasi adalah instrumen penting untuk merunut kisah kelam G 30 S. Imajinasi para pelaku memberi ruang bagi terciptanya dialog sebab dari merekalah rentetan kisah tentang G 30 S dapat digali. Penggalan narasi hidup mereka dapat meluruskan sejarah yang bengkok. Mereka ibarat ensiklopedi hidup yang memberi napas bagi telaah sejarah. Francis Fukuyama memberikan definisi yang representatif tentang imajinasi.
Baginya imajinasi adalah struktur mental ketika seseorang membuat potret tentang dunianya yakni konsepsi, representasi, dan makna dunia dengan sudut pandang, perasaan, logika, dan keyakinan tertentu. Imajinasi para pelaku akan terbuka jika mereka disatukan oleh sebuah konsep dan sudut pandang yang sama yakni demi terciptanya kehidupan berbangsa yang mampu belajar dari sejarah.
Jadi meskipun imajinasi akan tragedi ini menampilkan kisah yang berbeda dari setiap pelaku namun disatukan oleh sebuah ‘modus operandi’ yang sama sekaligus memberi keterangan tentang alur kekejian peristiwa tersebut. Rekonsialiasi mengandaikan imajinasi dari para pelaku sejarah!
Kedua: kekejian G 30 S menyisakan trauma bagi para korban. Para Gerwani yang diperkosa, misalnya, adalah sisi lain kekejian G 30 S. Bagaimana narasi pemerkosaan ini diterima dan dikisahkan? Hanya diam yang bisa berbicara dalam kondisi seperti ini. Diam selalu mengandung dua makna yakni aku melindungi diam di dalam aku dan menghormati diam orang lain.
Ini berarti bahwa aku diam mendengarkan orang lain berbicara dan orang lain diam ketika mendengarkan aku. Inilah saat ketika kisah korban menjadi kesaksian yang mempuyai daya transformatif yakni bukan lagi sebagai rasa malu tetapi penegakan kembali martabat kemanusiaan para korban. Dengan demikian memaafkan berarti membuka ruang untuk menerima dan mendengar kisah para korban dengan sepenuh hati.
Akhirnya dalam keseluruhan narasi G 30 S, tidak penting kiranya merunut siapa dalangnya (mengingat banyaknya versi yang beredar). Setiap anak bangsa hendaknya memiliki apa yang diistilahkan Hans Jonas sebagai heuristika ketakutan.
Dengan istilah ini Jonas memaksudkan etika tanggung jawab. Tanggung jawab itu diartikan sebagai sebuah ketakutan akan situasi-situasi buruk pada masa yang akan datang. Oleh karena itu tindakan konkret untuk mencegahnya harus dilakukan sekarang. Tanggung jawab dalam hal ini bermakna antisipatif. Peristiwa G 30 S adalah pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia dalam seluruh ziarahnya. Di dalamnya tersimpan duka, kecemasan, keprihatinan, trauma dan lain sebagainya.
Terhadap peristiwa ini pertanyaan kita yang hidup beberapa dekade setelah peristiwa ini ialah: mengapa tragedi kejahatan ini pada zamannya alpa dilihat sebagai suatu kejahatan? Situasi buruk pada masa yang akan datang benar-benar akan terjadi jika kita tidak mampu belajar dari sejarah.
Antisipasi kita hendaknya berkaitan dengan peran aktif budi untuk mengidentifikasi setiap kejahatan dan banalitas sebagai kejahatan dan banalitas.Dengan kata lain terang budilah yang menuntun setiap pribadi untuk melihat peristiwa ini sebagai pelanggaran terhadap martabat dan hak asasi manusia. Harapannya ialah tragedi menjadi bahan pembelajaran agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
Ichan Chandra