Santet Kolong Wewe di Karawang Mani Gajah Serem Rupanya
Abadikini.com, JAKARTA – Aku masih terduduk lemas. Rudi dengan sigap memberikan segelas air putih untukku, dan meneguknya dengan pelan. “Aku gak bisa lihat mahluknya dengan jelas, Gi. Tapi tadi aku benar-benar merasakan ada sesuatu disana,” Ahmad menghampiriku, sambil menyalakan lampu tengah.
Kali ini suasananya jadi lebih terang, namun tidak lebih baik, karena kita semua saat ini masih terduduk tepat di depan ruangan misterius yang pintunya masih belum terbuka. “Aku juga tidak melihat apapun sama sekali saat melemparkan garam hitam itu ke depan pintu, namun aku memang melihat bayangan tipis sekelebatan disana. Aku langsung refleks aja ke depan pas Giya nunjuk arah pintu. Emang apa Gi, yang kamu lihat?”
Kali ini Yogi menatap ke arahku dengan seksama. Aku tidak langsung menjawab. Ada hening beberapa saat sampai pada akhirnya Rudi membuka suara.
“Mungkin Giya belum sanggup ngomong, Rud. Bukan aku gak sopan memutus obrolan kalian, tapi ini sepertinya penting. Aku menemukan ini di dekat galon air minum.” Rudi menunjukan botol kaca kecil yang berisi sesuatu yang mengkristal bening putih, seperti cairan yang mengeras.
“Mani gajah. Benda pengasihan. Ngapain ada barang begitu di sini? sini biar aku yang simpen.” Yogi mengambil botol kecil itu dari tangan Rudi, dan mengantungi nya ke dalam kantung celananya. “Apa kolong wewe itu gak akan hadir lagi ke sini?” aku membuka suara.
“Atas izin Allah, enggak akan dia balik lagi ke sini,” Ahmad menjawab.
“Dia menyeramkan banget, apa mungkin mahluk seperti itu bisa membunuh manusia kecil yang gak berdosa?” Aku tidak bisa menahan air mata, aku terlalu lemah untuk membayangkan hal-hal jahat yang terjadi di keluarga Pak Buana, hanya karena kehadiran mahluk astral.
“Gak akan bisa, kalau gak ada yang ‘nyuruh’. Jin gak akan bisa membunuh manusia jika mereka tidak punya perjanjian dengan manusia. Makanya ada hal yang namanya sihir. Teluh atau santet. Semua itu bisa terjadi karena adanya perjanjian antara manusia dan iblis. Tapi rumah ini insya Allah sudah di netralisir dan dipagari.” Ahmad, Yogi dan Rudi berusaha menenangkanku.
“Gini aja, ini udah jam setengah 3 malam. Untuk masalah kamar terkunci ini, kita minta Pak Buana saja sendiri yang membukanya. Yang penting, kita sudah menyelesaikan tugas kita malam ini. Aku, Ahmad dan Rudi sepertinya akan lanjut mengaji sampai adzan subuh. Untuk memastikan rumah ini benar-benar sudah bersih dari energi jahat.
Giya, kamu tidur dulu aja ya di ruang tengah, ambil bantal dan selimut di kamar Pak Buana,” Aku mengangguk pelan menuruti perkataan Yogi dan berusaha berdiri mengangkat kaki. Aura di rumah ini sudah lumayan berbeda dari yang sebelumnya, meskipun masih terasa ada yang mengganjal.
“Ini ruangan tempat saya menaruh koleksi barang-barang antik, beberapa cindera mata yang saya dapatkan dari berbagai daerah, dan beberapa nya lagi kenang-kenangan dari guru saya dulu,” Pak Buana membuka pintu kamar yang sedari malam kami paksa untuk buka, dengan mudah.
Ruangan itu sempit, mungkin hanya cukup 2 orang dewasa yang masuk ke sana. Di dindingnya di tempeli berbagai lukisan menyeramkan; lukisan perempuan tua menggunakan konde dengan tatapan yang menggangguku, beberapa hiasan aneh dengan tulisan arab gundul, dan keris-keris menggantung di setiap sudutnya.
Ruangan itu rapih sekali dengan semua barang yang tertata sedemikian rupa dan wangi bunga nya yang semerbak – seperti tidak ada yang terjadi dan terjatuh disana tadi malam. “Sebaiknya barang-barang ini kami buang, Pak.”