Lima Puisi dari Widji Thukul Yang Menggetarkan Jiwa Untuk Semangat Perlawanan
Abadikini.com, JAKARTA- Di kalangan mahasiswa dan aktivis, nama Wiji Widodo atau dikenal sebagai Wiji Thukul sudah pasti gak asing lagi.
Dia adalah sastrawan sekaligus aktivis HAM yang hilang pada saat tragedi 1998. Meski sampai sekarang tak jelas keberadaannya, tapi karya-karya Wiji tetaplah hidup, bahkan ibarat bensin yang terus menyulut semangat mereka yang berjuang melawan ketidakadilan.
Berikut ini adalah lima puisi Wiji dalam buku tersebut, yang bisa menggambarkan pandangannya tentang kaum yang tertindas.
Peringatan
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Solo, 86
Bunga dan Tembok
seumpama bunga
kami adalah bunga
yang tak kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka
membangun rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga
yang tak kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga
yang dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami bunga
engkau adalah tembok itu
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun tirani harus tumbang!
Solo, 87-88
Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu
apa guna punya ilmu tinggi
kalau hanya untuk mengibuli
apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
dengan kaum cukong
di desa-desa
rakyat dipaksa
menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi
dengan harga murah
apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
Sajak Suara
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila kau memaksa diam
aku siapkan untukmu pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin menjarah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan!
Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
dan ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur, tenaga, luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
18 Juni 97