Antara Banjir dan Retorika
Abadikini.com, JAKARTA – BANJIR lagi, itulah kalimat yang selalu kita dengar. Seolah-olah sudah menjadi brand Kota Jakarta. Kita tahu banjir di Jakarta sudah terjadi bahkan sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang ini.
Hujan deras menjelang awal tahun 2020, memiliki intesitas hujan yang cukup tinggi. Bahkan terjadi banjir di Bekasi, Depok, dan Banten.
Namun dalam penangganan banjir, masing-masing kepala daerah punya strategi atau kebijakan untuk mengurangi dampak masalah banjir.
Untuk Jakarta, masalah banjir ini selalu menjadi konsumsi politik dalam membangun opini masyarakat, terutama kepedulian terhadap banjir. Sebelum “dia” menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, biasanya rajin sekali mengemukakan konsep penanggulangan banjir dari hilir ke hulu atau bahkan turun mengarungi air sungai memberi bantuan untuk korban banjir.
Siapapun “dia”, begitu “dia” menjadi gubernur DKI Jakarta hanya bisa beretorika atau berfilsafat kata-kata dengan menunjukan bahwa “dia” adalah gubernur DKI Jakarta yang punya konsep yang baik untuk mengatasi banjir.
Dan sekarang kita melihat kenyataannya belum ada satupun Gubernur DKI Jakarta yang punya konsep brilian untuk membangun sistem terintegrasi yang menyeluruh.
Konsep tinggal konsep, perencanaan tinggal perencanaan, semua itu hanya ada dalam permainan kata-kata atau seorang dosen sedang mengajari mahasiswanya berfilsafat dalam membangun kata-kata yang layak diucapkan mana untuk konsumsi media, politik, dan masyarakat.
Kinilah saatnya kita mulai membangun kekuatan bersama masyarakat Jakarta bahwa Jakarta butuh pemimpin yang mampuni dalam menghadapi segala keadaan. Masyarakat Jakarta sudah tidak butuh lagi pemimpin yang suka pencitraan, pemimpin yang suka retorika atau pandai berfilsafat.
Masalah banjir adalah masalah kita bersama bukan suka atau tidak suka terhadap pemimpin yang suka blusukan atau berfilsafat.
Setya Darma Pelawi
Senator Prodem (Jaringan Aktivis Pro Demokrasi)