Mewaspadai Dampak Perang Siber Antara Iran dan Amerika Serikat
Abadikini.com, JAKARTA — Saling balas serangan antara Amerika Serikat dan Iran tak hanya terjadi secara fisik. tetapi melibatkan pula serangan siber. Warganet diimbau berhati-hati dalam menggunakan jaringan internet dan media sosial.
Pengamat siber sekaligus Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengatakan saat ini terjadi cyberwarfare antara kedua negara, yang kemungkinan besar diikuti oleh negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu.
Dia mencontohkan negara bagian Texas, AS, yang dilaporkan menerima serangan siber lebih dari 10.000 kali sejak 6 Januari 2020.
Website Program Penyimpan Federal (The Federal Depository Library Program) diserang dengan mengubah tampilan situs menjadi ada bendera Iran, foto pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei dan gambar wajah Presiden AS Donald Trump dengan mulut berdarah karena ditinju oleh Pengawal Revolusi Iran.
“Dalam sejarah pertikaian Iran, AS, dan Israel memang selalu melibatkan saling retas, saling serang sistem. Yang paling terkenal adalah serangan stuxnet dari Israel yang menargetkan sistem nuklir Iran,” jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis pada Sabtu (11/1/2020)
Secara umum, tambahnya, serangan dilakukan dengan cara melakukan deface ke website yang dimiliki pemerintah, agar masyarakat dunia melihat. Artinya, ancaman serangan siber tidak hanya harus diwaspadai oleh instansi negara, tapi juga perusahaan besar, bahkan akun media sosial para tokoh.
Di sisi lain, perang siber juga terjadi di media sosial. Pratama menilai untuk wilayah ini AS jelas diuntungkan karena platform Facebook, instagram, Twitter dan Youtube semuanya dibawah regulasi perundang-undangan yang berlaku di AS.
“Foreign Surveillance Act mewajibkan raksasa teknologi di AS untuk memberikan backdoor dan privillage untuk lembaga pemerintah seperti FBI, NSA, CIA, DEA, kepolisian dan militer. Artinya, konten yang membantu propaganda Iran akan sangat mudah di hapus dan akun-akun mudah disuspend,” ungkapnya.
Pratama juga menyebutkan bahwa salah satu hal yang perlu dilakukan masyarakat adalah menghindari pemakaian VPN (virtual private network) menggunakan negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya.
VPN digunakan untuk mengelabui blokir internet maupun untuk mengamankan jalur komunikasi, masyarakat sempat ramai memakai VPN saat medsos dibatasi oleh Kominfo pada pertengahan 2019.
“Disarankan tidak menggunakan IP negara berkonflik untuk menghindari adanya serangan malware ke IP negara yang sedang berkonflik. Serangan malware masif bisa saja terjadi seperti saat wannacry dan nopetya hadir pada pertengahan 2017,” jelasnya.
Dia menyebut dampak yang mungkin akan terasa di Indonesia antara lain perang opini di media sosial. Namun, mengingat Syiah bukan mayoritas Muslim di Indonesia, isu oleh buzzer sejauh ini belum masif. Isu di media sosial banyak bersumber dari media massa mainstream.
Dia mengemukakan peristiwa ini juga menjadi pelajaran bahwa dalam situasi seaman apa pun, para pejabat tinggi dan pengawalnya harus melaksanakan protap keamanan, misalnya tidak menyalakan GPS di smartphone dan juga wajib berkomunikasi lewat jalur yang aman.
“Serangan kepada Jendral Qassam Soleimani bisa terjadi salah satunya karena pengintaian lewat jalur komunikasi, internet, dan juga info lapangan yang akurat,” kata Pratama.