Pesona Wisata Banda Neira dari Pala hingga Keindahan Biota Bawah Lautnya
Abadikini.com — Pamor Kepulauan Banda Neira sebagai penghasil pala satu-satunya di dunia memang sudah surut seiring dengan dibawanya bibit pala ke luar Banda. 400 – 500 tahun lalu, segenggam komoditas ini setara nilainya dengan segenggam emas, tak pelak Banda menjadi wilayah perebutan hingga salah satu pulaunya menjadi objek vital dalam Treaty of Breda antara Inggris dengan Belanda.
Bagi penyuka sejarah, Banda Neira erat kaitannya dengan pertukaran Pulau Run dengan Nieuw Amsterdam (Manhattan, sebuah pulau yang kini adalah bagian dari New York) yang tertuang dalam Treaty of Breda.
Pulau Run yang terletak di ujung Kepulauan Banda Neira pada awalnya dikuasai oleh Inggris hingga Inggris kalah perang melawan Belanda pada perang Anglo Dutch II. Pada mulanya, Inggris menawarkan Suriname yang saat itu terkenal dengan perkebunan gula untuk ditukar dengan Nieuw Amsterdam, namun Belanda bersikukuh mendapatkan Pulau Run demi memonopoli pala.
Manhattan kini boleh menjadi bagian dari New York, pusatnya finansial dunia, sementara Kepulauan Banda Neira menjadi pusatnya keanekaragaman hayati. Dulu boleh jadi keanekaragaman ini tidak tergali, kalah oleh gelap matanya manusia oleh pamor pala. Namun Kepulauan Banda Neira kini disambangi demi keanekaragaman hayati yang ada dibawah permukaan lautnya.
Kepulauan Banda Neira merupakan kumpulan 10 pulau vulkanik kecil yang paling terisolasi di Maluku Tengah. Namun terisolirnya kepulauan ini merupakan berkah tersendiri bagi keanekaragaman hayati bawah lautnya.
Dari Ambon menuju Kepulauan Banda Neira terdapat 3 opsi perjalanan, yang pertama adalah menggunakan pesawat perintis Dimonim Air, dengan biaya Rp350.000 sekali jalan dan menghabiskan waktu 45 menit. Tidak seperti tiket pesawat pada umumnya, tiket pesawat perintis ini hanya dapat diperoleh di Bandara Pattimura. Sayangnya jalur udara ini kalah pamor dibandingkan dengan jalur laut sehingga jadwal keberangkatannya pun sedikit.
Jika memilih jalur laut, penyeberangan ke Banda Neira memakan waktu 5 hingga 6 jam dengan kapal cepat dan mengeluarkan biaya Rp410.000 hingga Rp650.000, sementara jika menggunakan kapal Pelni biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp105.000 saja dengan waktu tempuh paling cepat 10 jam.
Jika ingin mencicipi rasanya menyeberang ala kolonial dulu, Pelni adalah yang paling mendekati, pengalamannya berlayarnya satu paket dengan rasa mualnya terombang-ambing di lautan.
Hari itu, setelah berbincang panjang lebar dengan salah satu pemilik perkebunan Pala, saya menyempatkan diri berenang di sekitar Pulau Lonthor bagian tenggara, saya berpapasan dengan belut moray yang sedang bersembunyi disela-sela karang dengan mulut menganga diantara ikan beragam warna yang berkeliaran.
Di Kepulauan Banda Neira ini memang tidak harus menyelam untuk mendapatkan pemandangan bawah laut yang indah, namun tentu saja bagi mereka yang memiliki lisensi menyelam, Kepulauan Banda Neira memiliki 25 titik selam, yang amat sayang jika hanya dinikmati hanya sekedar liburan akhir pekan.
Tingkat visibilitas bawah air laut Kepulauan Banda Neira rata- sekitar 15 hingga 30 meter dalam kondisi air tenang membuat mata tamu dari daratan ini terpuaskan, terumbu karang beragam jenis yang padat berhimpitan mulai yang berbentuk dengan percabangan koloni aboresen (percabangan seperti pohon), semak korimbosa, hingga berbentuk pipih seperti meja. Kondisi terumbu karang yang sehat ini diperkuat dengan banyaknya indikator terumbu karang sehat, yakni butterfly fish, atau yang biasa disebut ikan kepe-kepe.
Pada hari kedua, saya berangkat menuju Pulau Hatta, dalam perjalanan pagi itu saya berpapasan dengan segerombolan besar lumba-lumba dan beberapa diantaranya mendekat dan loncat di dekat kapal, berkejaran dengan kecepatan kapal.
Setibanya di Pulau Hatta, kembali saya hanya snorkling. Namun karena lautnya yang langsung bersisian dengan laut dalam, lebih aman berenang dengan menggunakan pelampung. Pemandangan bawah laut di pulau ini akan sangat sayang jika dilewatkan, karena bentukan pantai yang langsung bersinggungan dengan laut dalam menciptakan sensasi yang berbeda.
Pemandangan bawah laut dengan terumbu karang, anemon dan ikan beraneka warna yang bersisian dengan laut dalam yang berwarna biru pekat yang sepanjang mata memandang seperti gelap tidak ada apapun, misteriusnya laut terasa seketika. Bila menyelam lebih dalam, mungkin akan melihat coral wall.
Sebelum saya kembali ke penginapan di Banda Neira, saya sempatkan berenang di sisi Pulau Gunung Api yang disebut lava flow. Lain di Pulau Hatta, lain di Pulau Gunung Api. Jika laut Pulau Hatta langsung menjorok ke laut dalam, laut di Pulau Gunung Api terasa berbeda karena warna pasirnya yang hitam dan terumbu karang yang diselingi batu-batu sisa reruntuhan lava Gunung Api.
Biota yang ada di sisi laut ini sebagian besar adalah ikan-ikan yang berwarna hitam pekat, persis dengan warna sekitarnya, karang disini terlihat karang-karang dengan bentuk koloni aboresen agak jauh dari pantai. Ikan kepe-kepe pun terlihat sedikit disini. Memang terumbu karang disini kurang rimbun dibandingkan disisi laut yang lain. Hal ini kemungkinan besar akibat reruntuhan batu dari Gunung Api. Memang, Gunung Api masih merupakan gunung vulkanik yang aktif, dan sesekali ada uap-uap panas yang merembes keluar dari sela-sela pasir hitam, sehingga tidak heran jika sesekali air laut terasa hangat.
Menikmati Kepulauan Banda Neira, termasuk menyelam dan wisata sejarahnya, perlu meluangkan waktu paling tidak 10 hari, itupun tidak termasuk waktu yang dihabiskan diperjalanan dari dan ke Pelabuhan Tulehu.