Kisah Nyata! Cerita Desa Gondo Mayit: Setiap Hari Selalu Ada Orang Mati
Kali ini kita akan membagikan Cerita Desa Gondo Mayit. Sebuah kisah misteri yang pernah diceritakan oleh seseorang yang sudah saya kenal cukup lama, meskipun kami gak pernah satu sekolah, kampus, dan pekerjaan, tapi sudah saya anggap abang angkat.
Sudah cukup lama sejak terakhir kali main ke kota pahlawan ini. Salah satu kota yang jadi saksi perjuangan hidupku dulu yang dimulai dengan kerja serabutan, dan hari ini saya balik lagi ke kota ini untuk bertemu seseorang. Gak tahu kenapa selalu bikin saya kangen dengan sosoknya, kangen wejengannya. Beliau adalah mas Damar.
Ngomong soal mas Damar, saya jadi inget sebuah cerita dimana beliau menceritakan salah satu pengalaman beliau, yang menurut saya sangat menarik, terlepas dengan ngerinya cerita itu. Tetap saja, cerita ini adalah salah satu cerita yang selalu saya inget yaitu cerita tentang “Deso Gondo Mayit”
“Deso edan!!” (Desa Gila) kata mas Damar, matanya masih menatap kesana-kemari seolah peristiwa itu membekas di ingatanya.
“Edan yo opo?” (Gila bagaimana?) saya bertanya. penasaran.
“yo opo gak Edan, bendino onok ae sing mati. nek gak mati, jarene tondo balak” (bagaimana gak gila, setiap hari selalu saja ada orang yang mati, kalau tidak ada yang mati, katanya justru mengundang musibah).
Percakapan kami sahut menyahut. membuat saya semakin penasaran, sampai, pendangan saya teralihkan ketika motor Honda RC hitam, baru saja berhenti.
Mas Erik. sosok yang juga saya kenal akrab, datang, duduk dan memesan kopi, di sini saya melihat mas Damar menyapa mas Erik yang ternyata sudah saling kenal baik.
“Rik, iki loh, ceritakno cerito sing awakmu ambek aku jaman kuliah biyen, sing nyasar gok Desa gondo mayit” (Rik, ini loh, ceritakan cerita kamu dan aku yang jaman masih kuliah, waktu kita nyasar di sebuah Desa bernama Gondo Mayit)
Wajah tenang mas Erik tiba-tiba berubah, mengisyaratkan ketidak enakan, dan saya bisa menangkap raut muka yang menunjukkan kecemasan itu dari alisnya.
“jek di iling-iling ae, wes lalik’ke ae” (masih di ingat saja, sudah lupakan)
Mendengar itu, saya pun langsung memohon, sejujurnya saya paling suka mendengar cerita-cerita seperti ini, toh saya udah gak asing lagi dengan hal-hal seperti ini.
Awalnya, mas Erik tampak ogah menceritakan, berbekal bujukan bahwa saya yang akan bayar kopi di tambah rokok, untuk cerita
ini, saya pun, menyanggupi.
di sinilah, saya melihat mas Erik, menunjuk sesuatu. Arah Utara dari kota pahlawan ini, saya mengernyitkan dahi.
“eroh daerah T****S gok kidule gunung P*******N??” (kamu tau daerah ****** di utara gunung *********??)
saya mengangguk.
“yo, gok kunu Desone”
(disanalah Desa ini berada)
dan disinilah. cerita ini di mulai.
Mas Damar baru saja di tunjuk untuk menjadi ketua Mapala periode tahun 2011-2012, di universitas t**** b**** a******, salah satu Universitas yang cukup di kenal di kota ini.
menjabat menjadi ketua pada semester 6 bukanlah hal bijak, terlebih ketika ada agenda, bahwa bulan juli akan ada projek untuk mendaki puncak Mahameru, dimana 4 universitas bersama Mapala mereka akan bergabung.
Disinilah, mas Damar membuat satu acara dadakan untuk mempersiapkan kesanggupan team mereka pada bulan Juli, tetapi, tak satupun anggota sanggup, karena bertepatan dengan UTS. Karena minimnya persiapan, mas Damar pun berinisiatif untuk melanjutkan agendanya, meski bila harus seorang diri. Mas Erik, ketua Mapala sebelumnya pun akhirnya ikut bergabung. karena toh ini untuk nama Universtas mereka, dan disinilah mereka dapat satu tempat yang di rasa cocok.
“Alas T*****” salah satu tempat untuk melatih stamina karena medannya yang menanjak dan juga tempat terbaik untuk mendapat momen dimana suhu tempat ini nyaris menyerupai suhu di puncak Mahameru.
Sebelum mas Damar dan mas Erik tahu apa yang sudah menunggu mereka di sana, persiapan sudah dilakukan satu minggu sebelumnya, mulai dari ijin untuk mendaki sekaligus menyisir tempat yang akan dijadikan tujuan pendakian ini, meski jalur yang akan di tuju mas Damar dan Erik, bukan jalur pendakian pada umumnya, namun, mas Damar meyakinkan mas Erik, perjalanan 6 jam, terasa singkat, terlebih di hari yang semakin petang, mas Damar masih memeriksa semuanya, kompas yang selalu di bangga-banggakan pun tak luput dari genggaman.
mobil mereka berhenti di salah satu pos yang sudah tidak asing lagi bagi mereka. anehnya. malam itu. tidak ada satupun yang berjaga, seharusnya, ada satu atau dua penjaga, karena meskipun ini bukan jalur pendakian resmi, ini adalah jalur yang seringkali ramai pengunjung, karena tempat ini adalah satu tempat objek wisata yang terkenal.menunggu, setidaknya itu yang di lakukan mas Damar, karena bagaimanapun laporan itu penting terutama untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak di inginkan.
namun, satu-jam dua jam berlalu, dan masih belum ada satu batang hidung pun yang muncul, hal itu, membuat mas Erik gusar
“wes ngene ae loh Mar, tinggalen KTP gok kene, tulisen pesan, bahwa kita sudah melaporkan. toh gak onok sing eroh sampe kapan petugas;e gak onk kan?” (sudah, begini saja Mar, tinggalkan KTP disini, tulis pesan, bahwa kita sudah melapirkan, lagian kita gak tau kapan petusanya ada)
Bimbang itulah yang mas Damar pikirkan. bukan sekali dua kali hal ini terjadi, namun satu yang mas Damar ingat.
hal-hal seperti ini biasanya di iringi dengan petaka yang buruk di langkah selanjutnya, namun, Erik benar. tidak ada yang tau kapan petuas itu akan kembali. nekat. mas Damar dan mas Erik pun akhirnya melangkah masuk ke dalam hutan, bersiap untuk menyambut Penghuni yang sudah menunggu mereka. jam menunjukkan pukul 8 malam, seharusnya jalanan belum segelap itu, apalagi jalurnya sendiri masih tidak seberapa jauh dari pos pertama, tapi, malam itu lain, jalur itu lebih gelap dari seharusnya, yang lebih aneh, tidak terdengar satupun binatang malam di sekitar sana. medanya memang menanjak, seperti bukit setapak yang bila di telusuri lebih tinggi, namun masih bisa di tempuh dengan santai. disini, Erik yang memulainya.
“jare mbahku, Dam, nek gak onok suoro, biasane onok memedi” (kalau kata mbahku, kalau gak ada suara, biasanya ada hantu)
“Huss. di jogo lambene, gak apik ngomong ngunu” (huss, di jaga mulutnya, tidak baik ngomong begitu) kata Damar.
ada yang membuat Damar sedari tadi tidak tenang, berjalan di belakang Erik, seharusnya tidak ada lagi sesiapapun di belakangnya, namun, bulukuduknya berdiri sedari tdi bukan kali pertama Damar merasakan ini, selama dia mendaki gunung dan masuk ke hutan-hutan seperti ini, bulukuduk atau leher meremang sudah menjadi makanan sehari-hari, namun, perasaan ini berbeda, seolah-olah, yang ini jauh lebih mengintimidasi.
namun, Erik tak merasakan apapun melihat Erik membuka jalan dengan parang di tanganya setidaknya memberi ketenangan pada Damar, sampai, ia akhirnya mendengar suara lain.
Damar berhenti, di susul Erik.
“Rik, Rik” panggilnya. Erik mendekat, menatap Damar yang leluasa mencari-cari pandang.
“opo?” (apa)
“Pitik”
“Pitik” (ayam) kata Erik mengulangi.
“krungu ora, onok suoro pitik” (denger tidak ada suara ayam)
Erik diam, mencoba mencuri dengar apa yang Damar dengar. namun, Erik menegaskan bahwa tidak ada suara apapun kecuali angin yang berhembus di sela dedaunan.
“ora onok” (gak ada)
mereka berpandangan untuk sepersekian detik, kemudian, melangkah cepat-cepat.
ada hal-hal yang tidak sepatutnya di ucapkan atau di dengarkan, salah satunya adalah suara ayam.
mendengar suara ayam seperti pertanda sial bagi siapapun yang mendengarnya, terlebih di tempat ini.
Damar dan Erik memikirkan hal yang sama. “Kuntilanak” meski kalimat itu tidak di ucapkan, namun mereka sama-sama mengerti satu sama lain.
yang menjadi pertanyaanya adalah, suara ayam yang di dengar Damar dan tidak di dengar Erik, menegaskan sesuatu.
salah satu dari mereka,
sudah di sawang (incar) sedari tadi.
degup jantung dan suara nafas terengah-engah menegaskan bahwa mereka sudah berjalan lebih jauh, berfikir bahwa mereka sudah aman, Erik lah yang kemudian mengatakanya, “janc*k!! ambu sembujo” (sialan, bau bunga Sembujo)
mereka bertukar tatap tidak ada yang tidak mengerti Erik seperti Damar, umpatan atau kalimat tidak pantasnya biasanya menegaskan perasaan ketakutan, dan itu cara Erik untuk menekanya. namun, terkadang Damar merasa hal itu bisa mendatangkan hal sebaliknya. kadang, dunia mereka, menangkap pesan berbeda
benar saja.
suara ayam, bebauan bunga, kemudian berujung pada sosok di balik semak belukar. Erik lah yang pertama tau, namun, keinginan untuk memanggil Damar yang ijin untuk membuang air kecil, mendatangkan rasa penasaran yang besar.
Erik mengintip sosok asing itu. sosoknya tinggi, setinggi Erik. ia berdiri di bawah pohon rindang, berdiri begitu saja. mengenakan baju yang terlihat seperti kain. warnanya mencolok dengan kegelapan hutan. putih.
Erik terus melihat, tatapanya terkunci pada kepalanya, yang sedari tadi tergedek ke kiri dan kanan
setelah beberapa saat, barulah Erik mengerti, kepalanya tergedek bukan karena tanpa sebab, melainkan, tepat di lehernya, rupanya menahan berat kepalanya, apalagi bila lehernya patah
saat itu, Erik sadar, sedari tadi, ia melihat sosok kuntilanak yang sering ia dengar ada di hutan
umumnya, memang sering terdengar kabar, bahwa penghuni atau kasarnya, penunggu-penunggu di dalam hutan adalah korban-korban kecelakaan atau bencana-bencana yang tidak umum, kini setelah melihatnya dengan mata kepala sendiri, Erik akhirnya tau, bahwa mereka memang nyata Damar sudah kembali, mereka pun melanjutkan perjalanan, rencananya sendiri, mereka harus sudah menempuh setengah dari jalur pendakian, yang menurut Damar bila di lihat dari lama jam mereka berjalan, tidak jauh lagi.
Erik lebih sering diam. hal ini membuat Damar penasaran. asap rokok mencoba mencairkan suasana, namun Erik lebih memilih diam, sesekali dia mencuri pandang ke belakang yang jelas-jelas tidak ada siapapun kecuali Damar.
“onok opo Rik?” (ada apa Rik?)
“gak onok” (gak ada)
Damar tahu, Erik sedang berbohong. barulah, ketika sampai di tanah lapang, yang artinya pos kedua atau tempat yang biasa di gunakan sebagai penakaran satwa sudah dekat, Erik baru membuka suara.
“onok Kuntilanak Dam”
kaget, namun Damar tidak mencoba menanggapi, ia hanya melihat Erik lebih pucat. seteguk air dalam botol setidaknya mampu menenangkan Erik, setelah di rasa cukup dan Erik menjadi lebih tenang, seusai cerita bagaimana ia melihat makhluk itu
Damar yang sekarang memimpin, disinilah, keanehan itu terjadi. Pos yang seharusnya tidak jauh dari tanah lapang, tdk ada hampir 2 jam, Damar dan Erik hanya berada di area itu-dan itu terus, hal ini, membuat mereka akhirnya berpikir buat menginap disana, terlepas dari apa yang mereka alami malam ini, mereka memutuskan pasrah
sampai, terdengar suara langkah kaki menghentak, dan sontak mereka terjaga di ikutilah suara ramai itu. disanalah, Erik dan Damar melihatnya.
orang-orang berjalan berjejeran, seolah ada sesuatu yang sedang mereka kerjakan, sampai mata Erik dan Damar tertuju pada barisan paling depan, disanalah mereka baru sadar, ada Perkuburan mayit. untuk apa, orang-orang menguburkan jenazah pada malam buta seperti ini. setidaknya itu yang Damar dan Erik pertama pikirkan. sampai baru mereka sadar,
“bagaimana mungkin ada penguburan jenazah di tengah hutan?”
keganjilan itu sebenarnya sudah di rasakan sedari awal masuk ke dalam hutan, mas Damar dan Erik hanya diam sembari memandangi rombongan itu semakin jauh, hingga akhirnya, kehadiran mereka benar-benar lenyap di telan kegelapan hutan. di tengah perasaan campur aduk itu, tiba-tiba mas Damar mengeluh kesakitan, sebenarnya sedari tadi mereka berjalan menempuh medan berat itu, di bagian selangkangan mas Damar terasa nyeri namun ia mencoba menahanya, puncaknya, ketika mas Erik mengajak untuk lanjut, tiba-tiba-
mas Damar mengeluh tidak bisa melanjutkanya, di ceritakanlah kondisinya, dan ketika di periksa apa yang terjadi, mas Damar gak tau lagi harus ngomong bagaimana kondisinya ke mas Erik.
“yo opo Mar, isok lanjut ora?” (gimana Mar, bisa lanjut apa tidak?)
Mas Damar memanggil Erik, memintanya mendekat sembari menceritakan keluhanya, dan ketika dia menunjukkan kondisinya saat itu, mas Erik hanya bisa melotot gak percaya atas apa yang dia lihat.
“Janc*k, kenek opo-
koen?” (sialan, kenapa dengan kamu ini?) tanya mas Erik, matanya fokus melihat sesuatu yang ganjil itu.
mas Damar hanya diam, wajahnya sudah pucat, jangankan menjawab pertanyaan Erik, kapan dan bagaimana ini terjadi saja, mas Damar tidak tahu.
“gak eroh Rik” (gak tau Rik) melihat kondisi mas Damar seperti itu, mas Erik akhirnya menyuruh mas Damar bersandar di pohon, pikiranya fokus ke rombongan yang tadi lewat, jin atau bukan, mas Erik harus memanggil mereka, agar mas Damar segera tertolong.
tidak hanya itu, hal seperti ini baru pertama kali- mas Erik hadapi, bagaimana bisa terjadi hal-hal seperti ini, padahal mereka tidak lupa berdoa agar di lancarkan semuanya, tapi, kok bisa tes*isnya si Damar membesar seperti itu, besarnya sendiri nyaris sama seperti kepalan tangan yang menggenggam.
mas Erik cuma berpikir satu-
hal, pasti Jin gunung yang melakukanya.
Mas Erik pun meninggalkan mas Damar seorang diri, ia berlari menembus semak belukar, menuju ke rombongan yang sudah hilang lenyap di tengah kegelapan. ada hal yang aneh dan entah mas Damar dengar atau tidak tapi mas Erik yakin, tadi ketika mereka mengintip rombongan itu, ia mendengar suara gamelan yang di dengungkan. hal itulah yang membuat mas Erik tidak berani bicara, karena fokus mendengar alunan dari gamelan yang di pukul tidak hanya itu, ekspresi wajah dari iring-iringan itu, tidak satupun menunjukkan wajah sedih atau bersimpati, sebaliknya, wajah-wajah itu, sumringah seperti sedang mengadakan pesta.
lalu, keranda mayit yang di pinggul pun asing, biasanya di tutup dengan kain hijau tua, namun-
yang mas Erik dan Damar lihat, keranda mayit itu di tutup dengan kain hitam lengkap dengan bunga melati terajut sebagai pengiringnya.
hal-hal itu yang di jadikan mas Erik patokan, semoga ia masih bisa mendengar iring-iringan musik gamelan, dan semoga mereka memang manusia berlari kurang lebih 10 menit dan semakin jauh lokasinya dari mas Damar yang masih menahan nyeri, mas Erik sadar, rombongan itu sudah lenyap, menyisahkan tanda tanya, bagaimana bisa mereka berjalan santai dengan gendong mayit di medan yang naik turun seperti ini.
putus asa, mas Erik akhirnya menelusuri jalanya lagi, kembali, ke tempat dimana mas Damar tak berdaya. ia berharap segera selesai dan keluar dari area belantara ini. rupanya ketika kembali, mas Erik kaget saat di hadapanya, mas Damar tidak sendirian, di depanya, ada nenek-nenek tua, di punggungnya, ia memanggul kayu bakar.
terlihat dari jauh, mas Damar tampak mengobrol dengan sosok asing itu, membuat mas Erik bertanya2, ragu, lalu mendekat saat itulah baru di ketahui nenek itu adalah warga lokal, ia tinggal di desa tidak jauh dari tempat mereka berada, nenek itu menawarkan tempat persinggahan, sekaligus memberitahu bila apa yang terjadi pada mas Damar adalah akibat dari “Weltuk”
“nopo niku?” (apa itu?) tanya Erik
disitulah si nenek yang mengaku bisa menyembuhkan mas Damar bercerita, Weltuk itu adalah Demit (lelembut) penunggu sungai yang marah sama mas Damar karena tanpa sengaja, mas Damar sudah mengencinginya.
akibatnya, mas Damar di selentek (di keplak) area kemalu*nya, ragu dan khawatir awalnya, ketika si nenek yang di panggil mbah dok itu menawarkan mas Erik dan mas Damar untuk mengikutinya ke desa tempatnya tinggal.
tapi karena keadaan saat itu benar-benar darurat, memaksa mas Erik akhirnya setuju, di boponglah mas Damar, dengan kondisi itu selama perjalanan, si nenek bercerita banyak hal, salah satunya mengatakan permisi kalau mau buang hajat atau apapun, mereka tidak terlihat bukan tentu tidak ada, meskipun hanya sekedar ijin dengan suara berbisik pun, mereka bisa mendengar, termasuk Wanggul yang sekarang- mengikuti mas Erik.
kaget. mas Erik kemudian bertanya dengan muka ngeri. “wanggul apa mbah?”
si nenek berhenti, melihat jauh ke belakang, disana ia menunjuk.
“Hantu wanita yang mati karena kecelakaan, lehernya patah, dan dari tadi dia ngikutin kamu. wangi apa yang kamu cium?” mas Erik pun mengatakanya. “sembujo”
si Nenek mengangguk. “ra popo nek sembujo, gorong ambu batang yo kan, nek iku baru bahaya” (tidak apa-apa kalau sembujo, kalau bau bangkai, nah itu baru berbahaya) (sebenarnya, kata mas Erik, bahasanya si nenek ini jawa halus, tapi karena saya gak bisa, pake bahasa jawa halus, pake bahasa suroboyoan aja ya. mohon maaf)
“trus yok nopo mbah, sampe kapan kulo bakal di tut’i” (lalu bagaimana mbah, sampai kapan saya akan di ikuti)
“bar engkok ngaleh dewe” (biarkan saja, nanti juga pergi sendiri) kata si mbah.
benar rupanya. di depan, terlihat sebuah desa, namun, desanya ini, tidak terlalu besar rumah-rumahnya terbuat dari anyaman bambu, pokoknya, sangat jauh berbeda dengan kondisi rumah jaman sekarang yang di bangun dengan bata dan semen.
tepat di sudut rumah paling ujung, gentingnya terbuat dari ranting dengan di tutup daun kelapa kering, si mbah mempersilahkan masuk.
“turokno kunu sek kancamu” (tidurkan dulu temanmu disitu)
si mbah masuk ke ruangan dalam, sedangkan mas Erik dan Damar di tinggal di teras rumah, ada bangku besar untuk merebahkan badan mas Damar, mas Erik masih gak habis pikir, hanya karena kencing bisa seperti ini.
selidik demi selidik, mas Erik melihat kesana-kemari, tatapanya menyapu dari rumah ujung ke ujung, hanya ada 13 atau kurang rumah disini, dan sebelumnya ia tidak pernah dengar di daerah ini ada desa.
namun, tengah malam seperti ini, desa ini sunyi dan sepi, cukup membuat ngeri si mbah keluar, di tanganya, ada kendi, “ngumbi iki, trus pas ngumbi ngadep kidul ben penyakite minggat nang kidul yo le” (minum ini lalu pas minum nanti menghadap ke selatan, biar penyakitnya pergi ke selatan ya nak)
berusaha keras berdiri, mas Damar menenggak air itu
“sak iki melbu ae nang omah, ojok metu sek, ben balasado’ ne ngalih disek,” (sekarang masuk rumah, jangan keluar dulu, biar bencananya bisa perdi)
mas Erik tidak paham maksud si mbah saat mengatakan balasado, namun mas Erik mengiyakan tawaran itu, kali ini mereka yakin, mbah- yang menolong mereka mungkin memang manusia.
di dalam rumah, persis seperti yang di bayangkan mas Erik, rumah desa yang benar-benar seperti pedalaman, tidak mungkin ada listrik, bahkan peralatanya semua benar-benar lawas mas Damar sudah tertidur lelap setelah di persilahkan untuk istirahat, saat itulah, kaget bukan main, mas Erik mendengar suara gamelan itu.
sekarang mas Erik baru paham, mungkin rombongan itu adalah rombongan orang-orang desa ini, namun, kenapa musik gamelanya seperti dekat skli si mbah menuju ke pintu dan membukanya, di depanya ada anak kecil, wajahnya pucat, dan ekspresinya tidak menyenangkan, semakin di pandang, membuat hati mas Erik jadi gelisah sendiri.
si mbah tampak mengobrol lama, mencoba mencuri dengar, mas Erik hanya mendengar kalimat patah2
kalimat yang di dengar mas Erik hanya. “wayahe. sedo, Bolo, Randak” (giliran. Mati, Saudara, Ilmu)
habis itu, pintu di tutup, si mbah kembali masuk dan mengambil kain, lalu menutup kepalanya dengan kain itu, disana, mas Erik pun bertanya.
“bade pundi mbah?” (mau kemana mbah?) saat itulah si mbah menawarkan mas Erik apakah mau ikut atau tidak. tawaran itu awalnya membuat ragu mas Erik, karena ia harus menjaga mas Damar, tapi ada keinginan besar yang membuat penasaran, terutama bila melihat wajah anak pucat itu.
seperti ada sesuatu yang ganjil mas Erik pun ikut, setelah lama menimbang-nimbang keputusan. rupanya, mas Erik di bawa di sebuah rumah, di depanya banyak orang sudah menunggu.
benar dugaanya. ada gamelan yang di tabuh di antara kerumunan itu, tidak beberapa lama, pandangan mas Erik menuju ke pintu rumah. keluar 4 lelaki setengah baya, mereka mengangkat keranda mayit, yang membuat mas Erik tidak nyaman. dalam pikiranya ia bertanya-tanya. tadi bukanya sudah melakukan prosesi pemakaman, kok di adakan pemakaman lagi.
disanalah, si mbah yang memimpin, ia berjalan di barisan depan. karena sudah setengah jalan, mas Erik pun terpaksa mau tidak mau harus ikut. di sepanjang perjalanan yang naik turun, tampak wajah-wajah itu menunjukkan ekspresi sumringah.
hal-hal ganjil seperti itu yang membuat mas Erik gak habis pikir. namun ia mencoba menahan diri.
sampailah mereka di sebuah tempat, ada 2 tanah lapang yang kesemuanya sama, pemakman kembar, setidaknya itu yang terlihat. si mayit sudah di turunkan dan ketika keranda di buka, mas Erik hanya diam bengong melihat sesiapa yang akan di makamkan hari ini. rupanya, yang akan di makamkan malam ini adalah, bocah yang tadi berdiri di depan pintu si mbah.
“Jan*uk lah” batin mas Erik, seolah gak percaya apa yang dia lihat, semakin di lihat, wajahnya semakin sama persis dengan apa yang mas Erik saksikan.
tidak mungkin ia salah lihat. saya yang dnger mas Erik cerita menatap bingung. “mksude yo opo mas, cah sing di kbur iku podo mbek cah sing nggedor lawang mbah iku?” (maksudnya gimana mas, anak yang di kubur itu sama persis sama anak yang gedor pintu itu kah?)
mas Erik menghisap rokoknya, lama, lalu, mengangguk
“ra mungkin” (gak mungkin ah) kata saya mencoba berkilah, namun sanggahan saya hanya di jawab dengan wajah murung mas Erik, gak cuma itu, mas Damar yang terkenal realistis pun hanya diam, matanya tertuju pada segelas kopi yang mulai dingin.
Malam melanjutkan ceritanya. mau tidak mau, mas Erik menyaksikan prosesi pemakaman itu. di tengah pemakaman, mas Erik melihat gelagat yang aneh, dimana, semua orang tampak sedang menari-nari, beberapa bernyanyi dengan nada gamelan mengalun-alun, yang lebih membuat mas Erik tidak bisa mengerti, adalah-
si bocah, di kubur dengan mata masih terbuka lebar. saya gak bisa bedain antara mau ketawa atau menahan ngeri mendengar cerita mas Erik.
“piye maksude mas, cah iku wes mati opo durung asline” (gimana sih maksudnya, itu anak sudah mati apa belum sebenarnya?)
Mas Erik masih diam lama, kemudian mas Damar memotong cerita mas Erik.
***
Hening. sepi. sunyi. setidaknya itulah yang di rasakan mas Damar, ia terbangun meski mata masih terkantuk-kantuk. di lihatlah kesana-kemari, ia baru ingat, ia baru saja terlelap di atas ranjang rumah seseorang.
seorang wanita tua yang menawarkan rumahnya. di carinya mas Erik namun tidak di temukan kawan seperjalananya ini.
maka, dengan tatapan kebingungan sekaligus penasaran, kemana semua orang pergi. mas Damar, mencoba memanggil-manggil mas Erik, namun tak kunjung ada jawaban, begitu juga dengan wanita tua itu. dengan keadaan masih linglung, ia melihat kondisinya, ukuran Tes*isnya belum normal, namun jauh lebih baik di bandingkan beberapa saat yang lalu.
mas Damar berdiam diri sebentar, di lihatnya langit-langit dari teras rumah, masih gelap. ucapnya dalam hati. artinya, 1 malam- belum terlewati.
mas Damar pun kembali masuk ke rumah yang lebih terlihat seperti gubuk itu. sampai, ia merasa penasaran dengan ruangan dalam milik si wanita tua itu.
dengan perlahan, mas Damar mendekat. di dalam rumah, mas Damar mencium bebauan yang familiar, rupanya itu adalah bau dari daun sirih yang di gunakan wanita tua itu. bagaimana mas Damar tau bebauan itu, karena rupanya, mas Damar sudah sering menciumnya di rumah mbh buyutnya yang juga menggnakan itu tuk pembersih gigi tangan mas Damar cekatan memeriksa rumah itu. meski tidak sopan, rasa penasaran mas Damar begitu besar, matanya sibuk mengawasi ini itu, sampai, pandanganya menangkap sebuah kotak dengan ukiran majapala, sebuah ukiran khas jawa, mas Damar pun, mendekat.
pelan, pelan, pelan. rupanya, kotak itu tidak di kunci, dengan leluasa mas Damar pun mengangkatnya, namun, perasaan mas Damar mendadak tidak enak, bebauan yang awalnya di dominasi bebauan daun sirih tiba-tiba lenyap begitu saja, berganti menjadi bebauan seperti kentang atau umbi kayu yang di bakar
semua orang tau, bebauan itu bebauan apa. biasanya, ketika mencium bebauan lenguh seperti itu maka artinya, tidak jauh dari tempatmu berdiri, ada makhluk familiar yang sudah terkenal sedang mengawasimu. pocong.
namun, mas Damar belum tahu akan hal ini, ia nekat membuka kotak itu begitu kotak di buka, mas Damar menatap heran, karena yang ia lihat hanya tumpukan pakaian bernuansa warna putih, tertumpuk berantakan begitu saja, maka mas Damar bersiap menutupnya lagi, namun, tiba-tiba dia curiga dengan pakaian itu.
di ambilah satu helai pakaian. dan ketika pakaian itu terangkat di tanganya, ia memeriksa dengan seksama, sampai ia yakin dan menatap ngeri pakaian itu. rupanya itu adalah kain kafan yang sudah di ikat sedemikian rupa, membentuk sampul untuk mebungkus mayit.
mas Damar sontak melempar pakaian itu begitu saja. tiba-tiba, ketika mas Damar bersiap untuk pergi dari tempat itu, matanya tercekat, menatap sosok yang tengah berdiri tepat di depanya. matanya hitam dan wujudnya sangat mengerikan.
kini ada sosok pocong tengah berdiri tepat di depanya. ingin segera pergi, namun kaki mas Damar malah kaku tak mau di gerakkan, sementara si pocong masih berdiri memandanginya.
bila ada satu permintaan yang bisa mas Damar minta, mungkin ia akan meminta untuk jatuh pingsan. sungguh, peristiwa itu benar-benar peristiwa tak terlupakan di situlah, akhirnya mas Damar mendengar suaranya.
lirih, namun membuat bulukuduk berdiri, si pocong mengatakanya. “tali pocong” “tali pocong”
mas Damar masih mematung, ketakutan benar-benar mengeraskan syarafnya, hingga, suara pintu terbanting membuat mas Damar tercekat panik di lihatnya si mbah sudah kembali dengan wajah marah dan memaki, entah apa yang terjadi, ia melihat si mbah mencengkram ujung kain kafan si pocong, menyeretnya dengan tangan kosong lalu melemparkanya tepat di kebun belakang rumah gubuk itu.
kejadian yang baru saja terjadi,- membuat mas Damar tidak habis pikir.
wanita itu menatap mas Damar dengan tatapan dingin sembari berujar “nek ra eroh opo opo, ojok grusak grusuk yo le, nyowo onok regane” (jika kamu tidak tahu apa apa, jangan sembarangan ya nak, nyawamu ada harganya)
kalimat itu masih terbayang di pikiran mas Damar bahkan hingga saat ini. mas Erik baru sadar, sedari tadi, si mbah tidak kelihatan, padahal ia ikut karena si mbah yang menyuruhnya, di tambah rasa penasaran kenapa memakamkan seseorang saja sampai ambil waktu selarut ini, disinilah mas Erik di buat kaget.
“loh, tali pocong’e rung di buka iku loh”
(loh, kenapa tali pocongnya belum di buka?)
namun, tak seorangpun mendengarkan peringatan dari mas Erik, mereka tetap menutup lubang kubur dengan tanah, disinilah mas Erik merasakan firasat teramat buruk.
“Desa Edan” (desa gila)
maka, ia segera meninggalkan tempat itu. sampai di rumah si mbah, mas Erik melihat mas Damar, mata mereka saling menangkap satu sama lain.
disini, mereka curiga.
Desa ini, mungkin bukan Desa manusia, namun ada hal yang lebih besar dari semua itu. ada misteri apa yang di sembunyikan di desa ini. di tengah kebingungan, langkah kaki si mbah mengejutkan mereka, wajahnya yang sempat mengeras ketika melihat mas Damar kini sudah berubah seperti sedia kala, seperti saat pertama kali mereka bertemu dengan si mbah.
“le, kamar’e wes si mbah siapke” (nak kamarnya sudah disiapkan)
mau tidak mau, mereka pun masuk ke sebuah kamar yang asing, tidak ada hal yang menarik selain ranjang dengan lasa(tikar anyaman) sebagai alasnya, namun, mereka sepakat, keganjilan semua peristiwa ini seperti mengerucut pada sesuatu. namun, belum ada yang berani menarik kesimpulan
sampai, di tengah keheningan ketika mereka sudah saling merebahkan tubuh untuk sekedar membuang lelah. terdengar suara yang tidak asing lagi di telinga mereka.
suaranya riuh, namun sangat tipis, seperti dari tempat yang jauh.
itu adalah suara pitik (ayam) yang pernah terdengar. mas Erik lah yang pertama bangun, ia melihat kesana kemari untuk memastikan sesuatu sampai, mas Erik akhirnya menggoyangkan badan mas Damar, ia baru sadar, wajah mas Damar terlihat pucat pasi, seperti menyembunyikan sesuatu.
“Mar, krungu ora?” (Mar, dengar apa tidak?)
mas Damar masih diam, mencerna setiap kalimat mas Erik, sampai akhirnya ia mengatakan “Rik, awakmu percoyo, pocong ora?” (Rik, kamu percaya gak sama Pocong?)
kalimat itu mengingatkan mas Erik dengan peristiwa yang baru saja ia alami, matanya menatap tajam mas Damar, ia tidak tau harus menceritakanya darimana.
“aku tau krungu, jare’ne, suara pitik, iku nunjuk’ke nek onok pocong gok sekitar kene” (aku pernah dengar, katanya, kalau-
dengar suara ayam, artinya ada pocong di dekat sini)
“Mar” akhirnya mas Erik menceritakan kejadian yang menimpanya. “Deso iki gak beres, ayok minggat ae, nd*k mu wes gak popo toh” (Mar, desa ini gak beres, ayo pergi saja, tes*ismu sudah gak papa kan)
mendengar itu, mas Damar kemudian juga mengatakanya.
“Rik. koyok’e si mbah iki”
(Rik sepertinya si mbah) belum selesai melanjutkan kalimat itu, tetiba mata mas Damar menatap ke jendela kamar yang hanya tertutup gorden, disana, ia melihat wajah mengintip.
“Rik. minggat ae tekan kene” (Rik ayo kita pergi saja dari sini)
“opo to, onok opo?” (ada apa?)
“gok cendelo, gok cendelo!!” (di jendela!! di jendela!!) mas Damar menunjuk ke arah jendela, “gok cendelo onok si mbah!!” (di jendela ada wajah si mbah)
kaget, saat itu juga mas Erik langsung mengemasi barang bawaanya, di ikuti mas Damar, mereka bergegas keluar dari rumah itu, namun, baru saja membuka pintu kamar, di depanya, si mbah berdiri, wajahnya menatap mas Damar dan mas Erik bergantian.
“Kate nang ndi to le”
(mau kemana nak?)
mas Damar lah yang pertama maju. “Mbah, ngapunten. kulo bade mantok mbah” (mbah, mohon maaf, kami mau pulang)
“muleh nang ndi” (pulang kemana?)
“ten griya kulo mbah” (ke rumah saya sendiri mbah)
si mbah awalnya hanya berdiri, namun perlahan-lahan, tubuhnya- tertekuk, lalu membungkuk menatap mereka dengan senyuman paling mengerikan yang pernah mas Erik dan mas Damar lihat seumur hidup.
“Penyakitmu wes waras le?” (penyakitmu sudah sembuh kah nak?)
mas Damar terdiam lama, disini, mas Erik yang kemudian maju.
“mbah, panjenengan sinten asline?” (sebenarnya anda itu siapa?)
saat itulah, senyuman buruk rupa itu menjelma menjadi suara tawa yang membuat mas Erik dan mas Damar menggigil karena ngeri, bulukuduk mereka berdiri, dan dada mereka berdetak tanpa henti.
“Deso Gondo Mayit” (Desa perenggut nyawa) kata si mbah, dengan langkah tertatih mendekati mas Erik dan mas Damar yang beringsut mundur, “sopo wes melbu Deso iki, ra bakal isok muleh le, wes, nurut’o omong si mbah”
(sesiapa yang sudah masuk ke desa ini, tidak akan bisa keluar nurut saja sama ucapan saya)
di tengah keheningan itu. suara ayam yang lirih itu terdengar semakin sering, “krungu suoro iku le?” (kalian mendengar suara itu nak?)
“Eroh artine?” (tahu artinya)
Mas Erik dan mas Damar masih menjaga jarak dari langkah si mbah,
“Mayit” (Pocong)
setelah mengatakan itu, seolah ada sesuatu yang membuat perasaan mas Erik dan mas Damar tidak enak.
benar saja. tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba terdengar suara pintu di banting dengan sangat keras, masalahnya,adalah setelah suara bantingan itu.
gubuk yang terbuat dari bambu itu, serempak terdengar suara gebrakan di semua sisi, si mbah tertawa semakin keras, nyali mas Erik dan mas Damar benar-benar di paksa sampai ke titik frustasi, karena tidak ada yang bisa ia lakukan.
seolah-olah kejadian ini seperti mimpi belaka.
suara-suara itu mengisyaratkan satu hal, di sekeliling rumah pasti ada sesuatu.
si mbah yang awalnya membungkuk, kemudian mulai terjatuh, terjerembab di atas tanah, dengan mata mendelik, melotot ke arah mas Erik dan mas Damar, si mbah mulai merangkak.
kedua kaki si mbah seperti lumpuh, ia merangkak hanya menggunakan tanganya, dengan bibir yang komat-kamit entah apa yang di ucapkanya. si mbah terus mendekat.
mas Damar sudah mulai melantunkan doa, meminta agar sesiapapun bisa menolongnya, mas Erik, hanya terdiam sembari meracau
“janc*k!! janc*k!!”
saat itulah, tercium aroma familiar yang seolah menyadarkan mas Erik dan mas Damar, aroma itu adalah aroma Sembujo.
aroma itu semakin menyengat.
semakin menyengat, suara ramai yang sedari tadi menciutkan nyali mas Erik dan mas Damar perlahan sirna.
“gok mburi onok lawang rik” (di belakang ada pintu Rik) teriak mas Damar, mereka bergegas lari, dan si mbah masih berusaha mengejar
di lihatnya kotak yang mas Damar lihat tadi, namun segera ia tepis pikiran-pikiran yang masih menyimpan tanda tanya, apa maksud dari kain kafan itu yang ia lihat pertama dari halaman belakang rumah adalah berpetak-petak tanaman singkong.
aroma sembujo masih tercium menyengat, anehnya, hanya mas Erik yang menciumnya.
“melok aku Mar” (ikut aku Mar)
entah terjepit atau apa, mas Erik merasa, aroma ini seperti memberinya jalan benar saja, langkah mereka perlahan menuju ke tanah hutan, pepohonan yang sedari tadi menjadi penanda perjalanan mereka kini mulai mereka telusuri. mas Erik meyakinkan mas Damar, Desa itu di huni oleh Mayat.
pertanyaanya adalah, kenapa mayat harus di kuburkan lagi.
“kain kafan Rik. opo onok hubungane?” (kain kafan Rik, apa ada hubunganya?)
mas Erik terlihat bingung.
“gok kotak sing nang pawon, akeh kain kafan di tumpuk” (di kotak yang ada di dapur, ada banyak kain kafan)
mas Erik dan mas Damar masih berpikir, sampai, ia baru sadar.
di tempat mereka berdiri. mereka tidak sendirian lagi
dari balik pohon, banyak sepasang mata yang mengawasi, dan setelah di perhatikan lagi, itu adalah sosok pocong, tidak hanya satu pocong namun hampir ada puluhan pocong, mas Damar dan mas Erik, terdiam mematung sendiri-sendiri mas Damar lah yang mendengar suara-suara mereka, “Tali pocong” “Tali pocong”
“krungu ora Rik” (dengar apa tidak rik)
“krungu opo?” (dengar apa?)
“Tali pocong” (Tali mayit)
setelah mendengar itu, mas Erik baru paham. “kuburan.” “kuburan mar,”
“Mayit’e tali pocong’e ”
(Tali pocong di mayatnya) “rung onok sing di bukak” (belum ada yang di bukak)
mereka pun berlari, membiarkan pocong-pocong itu mengikuti. yang mengerikan, pocong pocong itu terbang di atas mereka.
“kuburan’e nang ndi?” (kuburanya dimana?)
“nang kono” (disana)
“itu ngapain pocongnya ngikutin gitu mas?” tanya saya yang penasaran.
mas Damar menatap saya, mencoba berpikir sebelum bilang. “ini cuma asumsi sih, tapi kayanya ada hubunganya sama mbah mbah yang kami temui” kata mas Damar,
mas Erik seperti mengiyakan ucapan mas Damar. di tengah gelapnya hutan, mas Damar dan mas Erik gak berhenti berlari, alasanya, manusia normal mana yang gak ketakutan di ikuti hampir selusin atau lebih kain kafan terbang ke kiri dan kanan sembari mendengar mereka mengatakan tali pocong-tali pocong di sepanjang perjalanan. setelah menembus rimbun semak belukar dan naik turun di tanah menanjak, mas Erik menunjuk sebuah gubuk satu-satunya. mas Erik tau, gubuk itu penanda kuburan kembar itu.
kenapa di sebut kuburan kembar, rupanya, ada 2 pemakaman yang sejajar dan hanya terpisah oleh pagar bambu. pasak yang di gunakan untuk setiap makam pun hanya menggunakan pasak kayu, yang kebanyakan sudah lapuk tanpa ada penanda sesiapa yang di makamkan disana.
disini keanehan terjadi. pocong yang sedari tadi terbang di atas mereka, tidak ada satupun yang terlihat lagi. mereka lenyap meski begitu. suara ayam yang pernah mereka dengar dari jarak yang jauh, kini terdengar sangat dekat. dekat sekali sampe mas Erik berasumsi, suara ayam itu kemungkinan berasal dari pemakaman ini. masalahnya, dimana ayam itu berada.
lain hal mas Damar, kini, ia bisa menciumnya. aroma sembujo yang hanya tercium di hidung mas Erik, kini tercium juga di hidung mas Damar.
“Wangi” kata mas Damar, sembari melihat kesana-kemari, hingga, mas Erik menunjuk sesuatu, gundukan tanah, tempat pemakaman yang pernah mas Erik lihat.
“gok kunu, mayit sing di kubur mau”
semakin dekat, suara ayam terdengar semakin jelas, dan benar saja, dari jauh, terlihat seseorang sedang menggaruk-garuk tanah, di sekitarnya, banyak di kelilingi ayam berwarna hitam legam.
“Ayam cemani” kata mas Erik, mereka melihat dari jauh apa yang siluet asing itu lakukan.
“ASU!!” teriak mas Erik saat siluet itu melihatnya. “Lha iku lak si mbah” katanya.
bukan takut lagi, tapi mas Erik langsung lari, meninggalkan mas Damar yang baru sadar yang di katakan mas Erik benar sekali. si mbah yang sedari tadi tersaruk-saruk, mengejar mereka. di tengah kepanikan itulah, aroma Sembujo yang misterius itu tercium lagi, lebih kuat dan mereka berdua bisa menciumnya, sangat jelas,
“Jem**t!! onok opo seh ambek alas iki” (J*****!!! ada apa sih dengan hutan ini)
disitulah entah karena kepepet atau apa, mereka malah mendekat mendekat ke sumber aroma sembujo itu yang padahal mereka berdua tau bahwa itu adalah aroma dari..Wanggul.
namun, setidaknya aroma itu benar-benar membawa mereka ke jalanan yang tidak asing lagi.
mas Damar yang mengikuti mas Erik dari belakang, hanya mendengar, sekelibet suara
suara meraung, keras sekali seperti suara macan.
tanpa memperdulikan apapun dan bagaimanapun, tiba-tiba mereka sudah sampai di tempat yang mereka cari selama ini.
Pos ke dua, disana mereka bisa melihat pagar besi, tempat dimana cagar satwa beroperasi, dengan keringat dingin mereka mendekat, ada sumber cahaya di dalam, di gedorlah pintu dan keluar pemuda setengah baya, memandang mereka dengan tatapan curiga.
“Sampeyan-sampeyan yang ninggalin KTP di pos 1 yo” (kalian yang ninggalin KTP di pos 1)
mereka pun mengangguk.
saat itu juga, si petugas-
melapor.
tidak ada yang tau satupun dari mereka bila bukan karena si petugas yang mengatakan sudah 2 hari sejak pencarian mereka di mulai.
“Goblok. nek kate nggok P******** lapo lewat kene? lewat Moj****** lak isok seh” (Bodoh!! kalau mau naik ke P********* kenapa lewat sini)
(kan bisa lewat Moj******)
sudah 2 jam mereka di ceramahi oleh pemuda paruh baya itu, wajahnya tampak sangar seperti sudah lama menahan luapan amarah, mas Erik dan mas Damar hanya diam mengangguk. pasrah. bingung, tidak tau harus mengatakan apa. setelah beberapa saat, barulah terdengar suara motor mendekat, dan yang masuk kemudian adalah seorang pria, yang mungkin 10 tahun lebih tua, ia hanya mengenakan kaos kutang dengan sarung di lilitkan di tubuhnya.
wajahnya tidak kalah sangar, ia menatap mas Erik dan mas Damar. kalimat pertama yang ia ucapkan bukan luapan amarah seperti penjaga di pos 2, tapi hanya pertanyaan yang membuat mas Damar dan mas Erik diam lama.
“Isih urip to awak awak iki?” (masih hidup ya kalian-kalian ini)
ia meneguk kopi di meja, kemudian duduk bersila di depan mereka.
“wes ceritakno kabeh, nang ndi ae awak awak iki 2 dino iki?” (sudah ceritakan saja, kemana kalian selama 2 hari ini)
“Pak.” kata mas Damar, “onok Deso yo pak nggok kene” (ada desa ya pak disini)
terlihat 2 penjaga itu saling melihat satu sama lain.
“Onok” kata si bapak. (ada)
si bapak terdiam lama, sementara penjaga yang lebih muda tampak bingung, sembari berbisik ia bertanya.
“nang ndi onok deso pak, nek Vila akeh nang kene?!” (dimana ada desa pak, kalau disini Vila banyak pak) kata si penjaga yang lebih muda.”
sembari menghisap rokok, wajah si bapak tampak tegang. “opo bener, awak-awak mek wong loro sing munggah liwat kene?” (apa benar kalian cuma berdua saja waktu mendaki disini?)
mas Erik dan mas Damar mengangguk bersamaan.
“Syukur” kata si bapak. “alas Tr**** iki, pancen angker”
“biyen, wes terkenal akeh sing tau eroh bahwa nang alas iki, onok enggon sing di arani jeneng’e Petuk Sewu, wit sing keramat, sing kabare onok Deso nang jero’ne kunu, jenenge deso iku. Deso Gondo Mayit”
(dulu, sudah terkenal bahwa banyak yang pernah lihat kalau ada tempat yang namanya, Seribu Pintu, pohon keramat, yang kabarnya bila di lihat ada desa di dalamnya, desa ini namanya adalah desa Gondo Mayit)
hembusan asap rokoknya, membuat semua orang yang ada di ruangan terdiam mendengarkan, wajah mereka semua tegang.
“masalahe, ra onok sing eroh nang ndi wet iki” (masalahnya tidak ada yang tau dimana keberadaan pohon ini)
“untung’e awak-awak gak keblobok nang deso iki ambi nggowo awak ganjil, sampe iku kedaden, biasane, siji ra isok muleh” (untungnya, kalian tidak terjebak di desa ini, dengan membawa jumblah orang ganjil, kalau sampe itu terjadi, biasanya hanya satu yang tidak akan bisa pulang)
mas Erik dan mas Damar saling memandang satu sama lain.
“sak iki aku takon, opo sing mbok rasak’ne sak iki?” (sekarang aku tanya, apa yang kalian rasakan sekarang?)
disini mas Damar awalnya bingung, apakah ia harus bercerita soal kondisi tubuhnya, dan akhirnya dengan bantuan mas Erik, mas Damar menunjukkan area dimana ia mendapat musibah.
si bapak hanya diam, tampak tidak terkejut sama sekali, seperti pernah melihat ini sebelumnya. si Bapak menginstruksikan agar mas Damar tidur terlentang, sementara jari-jari kakinya di tarik satu persatu, kurang lebih hampir setengah jam si bapak memijit kaki mas Damar, ajaibnya, T*st*snya yang membesar perlahan kembali normal.
“mene ojok nguyuh sembarangan nggih”
(besok-besok jangan kencing sembarangan lagi ya)
setelah percakapan itu, mas Damar dan mas Erik berpamitan pulang, saat fajar mulai menyingsing. mas Damar yang pertama pergi, ketika mas Erik akan beranjak, ia kembali menemui si bapak, bertanya dengan wajah penasaran.
“pak, kulo tandet, neng Deso niku, enten si mbah wadon, sing sempet ngejar kulo bade rencang kulo, niku sinten nggih” (pak saya mau tanya sekali lagi, ada wanita tua yang sempat mengejar saya dan teman saya, itu siapa ya)
wajah si bapak tampak berpikir, kmudian berucap. “Sartih”
“Sartih” kata mas Erik mengulangi.
“sampeyan tau, kalau pocong itu sebenarnya bisa di ikat sama ilmu hitam, nah Sartih itu hanya sebuah gelar, Pocong bisa di kirim untuk mencelakai siapapun, bisa di gunakan untuk menganggu bisnis orang, nah, Desa itu, di miliki oleh si mbah ini”
“si Mbah niki menungso toh pak?” (si mbah ini manusia dong pak)
si bapak hanya diam sembari menggeleng, ia tidak bisa melanjutkan ini lebih jauh. sekarang, dari informasi ini, mas Erik mengambil kesimpulan, cara mengikat pocong berarti dengan memegang tali pocongnya.
sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, berapa banyak pocong yang sudah di ikat, dan kenapa eksistensi Desa ini masih muncul.
sebenarnya, cerita tentang pesugihan pocong bukanlah hal yang baru, banyak cerita tentang pesugihan pocong, mulai dari sebagai pelaris makanan, hingga- pembawa balak atau sial bagi keluarga yang tidak di suka, apapun itu, mungkin ujung dari cerita ini berhubungan satu sama lain dengan desa ini. yang menjadi poin penting disini adalah, jauh di luar akal sehat ini, memang hal-hal ghaib kerab kali menyembunyikan misterinya sendiri.
malam itu. setelah selesai mendengar cerita itu, satu yang saya pelajari, pengalaman yang menimpa mereka bener-bener buat saya harus senantiasa waspada dimanapun kita berada, ibarat pepatah. “dimana bumi di pijak. disitu langit di junjung”
Cerita Ini Diambil dari situs Misteriku.com, abadikini.com menyalin ulang tulisan yang sudah di publish di website tersebut