Kakao dan Kejayaan yang Hilang di Tanah Papua
Abadikini.com, JAKARTA – Kabupaten Jayapura, Papua, pernah mengalami masa kejayaan sebagai penghasil kakao (coklat) pada 2005-2010 lalu. Saat itu, jumlah kakao yang berhasil dipanen petani mencapai 9.450 ton per tahun.
Hasil bumi itu membuat masyarakat Jayapura hidup makmur. Bahkan, mereka dapat menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Sayangnya, masa kejayaan itu cuma seumur jagung. Dikutip dari CNNIndonesia, Pimpinan CV Agri Karya Lestari Kusnan Arif bercerita sejak 2011 hingga saat ini produksi kakao di Jayapura terus merosot. Saat ini, hasil panen kakao di Papua rata-rata hanya mencapai 1.500 ton per tahun.
“Itu sangat berpengaruh kepada masyarakat, dulu yang bisa menyekolahkan anaknya sekarang sulit untuk cari biaya. Anak muda yang bisa sekolah tinggi, sekarang mengenyam sampai SMA saja sudah bersyukur, karena penurunan produksi yang begitu banyak,” katanya pekan lalu.
Ironisnya, sebagian lainnya terpaksa menjadi tukang senso (chainsaw) alias tukang tebang dan potong kayu pada perusahaan pembalakan ilegal.
Pria yang sudah berkecimpung di kebun kakao sejak 1998 itu mengungkapkan kemunduran produksi kakao dipicu masalah varietas. Pohon kakao lama yang ditanam tak lagi resisten terhadap hama dan penyakit.
Akibatnya, produksi pohon kakao rendah hingga tidak menghasilkan panen.
“Itu efek dari perubahan cuaca, di samping juga sistem pengolahan perkebunan dan budidaya yang beda,” ucapnya.
Sangat disayangkan jika produksi kakao di Papua terus merosot. Sebab, kakao hasil bumi Papua memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dari jenis yang sama, kakao di Papua dapat memiliki berat biji 1,1 gram-1,2 gram, sedangkan di Sulawesi berat bijinya lebih rendah yaitu 0,8 gram-0,9 gram.
“Itu kenyataan yang terjadi sampai sekarang. Saya tidak tahu penyebabnya apa, mungkin karena Papua adalah tanah yang diberkati,” ujarnya.
Selain kakao, Papua sebetulnya masih memiliki banyak hasil kebun lainnya, seperti kelapa sawit, kopi, kapas, karet, tebu, dan pinang. Dari seluruh jenis komoditas perkebunan itu, kelapa sawit menjadi salah satu komoditas perkebunan terbesar di Tanah Cendrawasih.
Namun, berbeda dengan kakao yang mayoritas lahannya adalah kebun milik rakyat, Kusnan bilang perkebunan kelapa sawit mayoritas milik perusahaan kelas kakap. Pernyataan itu sesuai dengan data organisasi swadaya masyarakat Transformasi untuk Keadilan Indonesia (Tuk Indonesia) yang menyebut bahwa 25 perusahaan besar menguasai 242 ribu lahan sawit di Papua.
Kusnan menuturkan hanya sedikit masyarakat yang mampu bekerja di perkebunan kelapa sawit karena membutuhkan tenaga luar biasa. “Tidak banyak warga yang mampu memanggul tandan buah segar sawit dengan jalan kaki sekian ratus meter bolak balik ke area penjemputan,” ucapnya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan juga menuturkan hal serupa, mayoritas perkebunan sawit dimiliki oleh perusahaan besar. Ia menegaskan tak menginginkan lagi pengembangan perkebunan sawit di Papua. Sebab, pengembangan sawit belum bermanfaat signifikan terhadap rakyat kecil.
“Kelapa sawit pasti kepemilikannya adalah perusahaan-perusahaan besar. Kami ingin small medium enterprises atau UMKM berkembang,” jelasnya.
Pada 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan moratorium sawit. Larangan itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Latar belakang kondisi tersebut, membuat Program Yayasan Inisiatif Dagang (IDH) menggagas investasi hijau di Papua. Direktur Program IDH Zakki Hakim menjelaskan investasi hijau adalah konsep investasi yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Berbeda dengan investasi biasanya, investasi hijau memiliki tujuan mengurangi atau mencegah deforestasi, meningkatkan pendapatan petani kecil, menerapkan diversifikasi produk pertanian, dan meningkatkan kontribusi kepada Produk Domestik Bruto (PDB).
IDH lantas duduk bersama dengan pemerintah daerah (pemda) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Papua guna mencari alternatif komoditas investasi hijau. Hasilnya, mereka menemukan komoditas alternatif untuk investasi hijau meliputi kakao, kopi, rumput laut, dan pala. Ia menuturkan komoditas tersebut sudah dekat masyarakat Papua.
Hanya saja, pengembangannya butuh ditingkatkan.
“Mereka sudah berkebun bahkan ada yang sejak Belanda dulu, sayangnya volumenya masih kecil dan teknis budidayanya belum optimal,” ujarnya.
Guna merealisasikan program itu dibutuhkan investasi sebesar US$200 juta setara Rp2,8 triliun (mengacu kurs Rp14 ribu per dolar AS). Namun demikian, kontribusi nyata investasi hijau kepada perekonomian Papua baru bisa optimal dalam 10 tahun mendatang. Pasalnya, dibutuhkan penyesuaian dan pengembangan bertahap untuk program tersebut.
Bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Pemda Papua, IDH telah mengundang 24 perusahaan untuk menjajaki investasi hijau. Ia menuturkan wakil perusahaan menyatakan minat mereka pada investasi hijau.
“Inisiatif ini menarik bagi pengusaha karena mereka beralih kepada investasi yang lebih sustain (berkelanjutan), sekaligus berkontribusi langsung pada perlindungan hutan dan pemberdayaan masyarakat,” tuturnya.
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan menuturkan masyarakat Papua telah mengenal cara bertanam komoditas tersebut. Harapannya, dampak ekonomi pengembangan komoditas tersebut dapat langsung dirasakan oleh masyarakat.
“Masyarakat kami sudah terbiasa tanam kopi, tanam pala mereka sudah tanam, bahkan ada yang tumbuh sendiri karena tanah subur,” katanya.
Sementara itu, kalangan pengusaha mengaku menyambut baik inisiatif investasi hijau. Sebab, komoditas perkebunan tersebut masih berpotensi untuk dikembangkan, khususnya kakao. Komisioner PT Bumitangerang Mesindotama (BT Cocoa) Piter Jasman menuturkan hasil kakao di Indonesia masih jauh dari kapasitas produksi pabrik.
Ia bilang sebelum 2010, produksi hulu kakao mencapai 600 ribu ton per tahun. Pada tahun yang sama, pemerintah menerbitkan kebijakan Bea Keluar (BK) untuk kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No 67 tahun 2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar. Lewat aturan itu, biji kakao dikenai pajak progresif mulai 1 April 2010. Semakin tinggi harga kakao maka semakin tinggi bea keluar yang harus dibayar oleh eksportir.
Imbasnya, lanjut Piter, banyak industri kakao luar negeri membangun pabrik di Indonesia. Ia mencatat kapasitas mesin terpasang mencapai 800 ribu ton, sehingga menjadikan Indonesia industri kakao terbesar di dunia.
Sayangnya, produksi kakao di hulu terus merosot, dari 600 ribu ton kini tinggal 200 ribu ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan kakao, perusahaan harus mengimpor biji kakao dari luar negeri, sehingga total impor biji kakao kurang lebih 250 ribu ton per tahun. Karenanya, ia menilai akar masalahnya yakni meningkatkan produktivitas petani.
“Kakao ini tidak bisa tumbuh di semua negara. Ini peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi kakao untuk penuhi kebutuhan di Asia Pasifik. Jika Papua ada 30 persen masyarakat yang bisa dikembangkan produk pertaniannya, maka kami setuju jangan lagi sawit,” ucapnya.
Namun demikian, bukan berarti investasi hijau tak memiliki tantangan. Ia menuturkan perubahan iklim, hama, dan penyakit membuat komoditas tersebut menjadi rentan. Di sisi lain, petani memiliki keterbatasan akses finansial untuk memenuhi kebutuhan permodalan.