Peneliti Inggris dan Jerman Paparkan Tiga Varian Mutasi Virus Corona yang Tersebar di Seluruh Dunia
Abadikini.com, JAKARTA – Peneliti dari Inggris dan Jerman telah mengidentifikasi tiga jenis mutasi virus corona SARS-CoV-2 penyebab sakit Covid-19 yang tersebar di seluruh dunia. Tiga mutasi virus corona ini ini diberi label A, B, dan C
Peneliti menggunakan analisis jaringan filogenetik untuk merekonstruksi jalur evolusi awal SARS-CoV-2 pada manusia yang bermula di Wuhan, China.
Varian A berkaitan erat dengan virus yang ditemukan pada kelelawar dan trenggiling. Tipe ini merupakan akar virus yang menyebabkan wabah. Sementara varian B merupakan hasil mutasi dari A. Keduanya, dipisahkan oleh dua mutasi. Kemudian terdapat varian C yang disebut merupakan ‘anak perempuan’ B.
Peneliti menggunakan analisis jaringan filogenetik yang biasanya digunakan untuk melacak DNA manusia purba. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini, serta klasifikasi untuk lebih dari 1.000 genom virus corona, tersedia secara bebas di www.fluxus-technology.com.
Selama awal Maret 2020, basis data GISAID berisi kompilasi 253 gen lengkap dan parsial SARS-CoV-2 yang telah disumbangkan oleh dokter dan peneliti dari seluruh dunia sejak Desember 2019. GISAID sendiri awalnya merupakan inisiatif global untuk berbagi semua data influenza.
“Teknik-teknik ini sebagian besar dikenal untuk memetakan pergerakan populasi manusia prasejarah melalui DNA. Kami pikir ini adalah pertama kalinya mereka digunakan untuk melacak rute infeksi virus corona seperti COVID-19,” kata Forster.
Hasil analisis lembaga ini menemukan tiga varian virus corona SARS-CoV-2. Forster dan koleganya menemukan bahwa varian A adalah varian asli yang pertama menginfeksi manusia seperti di Wuhan. Tapi, yang mengejutkan, varian ini bukanlah jenis virus yang menginfeksi sebagian besar warga di kota itu.
Analisis mereka menunjukkan bahwa versi mutasi A terlihat di Amerika yang dilaporkan telah tinggal di Wuhan. Selain itu, sejumlah besar virus tipe A ditemukan pada pasien dari Amerika Serikat dan Australia.
Jenis virus utama Wuhan adalah keturunan varian B, dan virus ini dominan menjangkiti pasien dari seluruh Asia Timur. Namun, varian itu tidak menyebar ke luar wilayah lain tanpa mutasi lebih lanjut.
Varian C diidentifikasi sebagai tipe Eropa utama, dan ditemukan pada pasien awal dari Prancis, Italia, Swedia, dan Inggris. Varian ini tidak ditemukan dari sampel daratan Cina studi, tetapi ditemukan di Singapura, Hong Kong, dan Korea Selatan.
Dilansir dari GenNews, temuan ini telah diterbitkan dalam jurnal Proceedings of National Academy of Sciences pada pekan lalu. Peneliti mengatakan bahwa teknik jaringan genetik secara akurat melacak rute infeksi dengan mengidentifikasi mutasi dan garis keturunan virus yang menghubungkan dengan kasus di lapangan.
Dilansir dari Metro, Hasil rute infeksi adalah penelitian menunjukkan masuknya virus corona ke Italia datang melalui infeksi Jerman. Rute infeksi awal Italia lawannya berkaitan dengan kluster kasus di Singapura.
Forster yakin metode ini bisa digunakan untuk memprediksi awal pandemi dan penyebaran penyakit di masa depan.
Sebelumnya, peneliti di China mengumumkan dua varian mutasi virus. Namun, penamaan dua varian virus ini berbeda, yaitu tipe L dan S.
Disebutkan kalau tipe-L lebih agresif dari tipe-S, seperti dikemukankan tim dokter di Beijing, China, yang mempelajari virus ini. Namun, kebijakan karantina diperkirakan membuat penyebaran virus tipe L ini jadi terbatas, seperti tertulis dalam Jurnal National Science Review.
Xiaolu Tang dari Universitas Peking di Beijing bersama para koleganya mempelajari genom viral dari 103 kasus di China. Sebanyak 72 kasus digolongkan tipe L dan 29 dikelompokan jadi tipe S.
Dalam analisis terpisah, tim tersebut memperkirakan tipe L berasal dari tipe S yang lebih lama. Virus perama ini diperkirakan muncul kali pertama virus itu menular dari hewan ke manusia.
“(Tipe-L) diperkirakan menular lebih agresif. Tapi kami tidak tahu bagaiaman perbedaan genetik ini akan berrpengaruh pada kekuatan virus,” jelas Ravinder Kanda dari Unversitas Oxford Brookes, Inggris, seperti dikutip New Scientist.