Modal Integritas Penyelenggara Pemilu
JAMINAN tegaknya free and fair election melekat kepada standar moral penyelenggara pemilihan umum (pemilu) maupun unsur pemilu lainnya.
Saat ini, standar moral itulah yang dipertaruhkan, kasus malpractices (praktek penyimpangan dalam arti luas) melibatkan unsur penyelenggara pemilu berujung pemberhentian tidak hormat.
Anggota KPU RI berinisial WS ditangkap KPK dalam operasi OTT atas dugaan suap penetapan anggota DPR pergantian antarwaktu dari fraksi PDIP (8/1/2020).
Tidak lama berselang, DKPP memutuskan memutuskan pemberhentian tetap terhadap anggota KPU berinisial EN karena dinilai melakukan intervensi dalam penetapan suara Pemilu 2019 di Kalimantan Barat (18/3/2020).
Ini sebagai pukulan terhadap integritas penyelenggara pemilu karena mengabaikan penerapan standar moralitas sebagai jaminan tegaknya prinsip free and fair election.
Terlebih persoalan integritas penyelenggara pemilu ini terjadi disaat institusi-institusi demokrasi makin matang dan stabil didalam fungsi penegakan peradilan pemilu (electoral justice system).
Sebuah organisasi internasional nir-laba, The Electoral Knowledge Networks (2002) mengingatkan negara demokrasi akan tantangan demokrasi, persoalan integritas pemilu dipicu oleh longgarnya kontrol terhadap praktek kecurangan pemilu yang dilakukan oleh para aktor politik itu sendiri.
Global Commission on Election (2012) menjelaskan bahwa, penyelenggara pemilu yang profesional, tidak memihak dan senantiasa transparan dalam pelaksanaannya merupakan tantangan utama menuju pemilu berintegritas.
Pippa Norris menjadi salah satu ilmuan politik yang menaruh perhatian terhadap persoalan integritas pemilu. Norris (2013) dalam tulisannya “The new research agenda studying electoral integrity” maupun buku (Norris, 2017) berjudul “Strengthening Electoral Integrity” mengembangkan pendekatan integritas pemilu untuk menilai kulitas pemilu di suatu negara demokrasi.
Norris menekankan adopsi norma, standar internasional tentang pemilu berintegritas kedalam kontitusi sebuah negara sebagai aturan main pemilu berintegritas.
Pandangan ini membenarkan pendapat dari Lijphart (1977) tentang pentingnya peran konstitusional dalam praktek demokrasi modern, model penyelesaian sengketa secara konstitusional melalui penegakan hukum pemilu.
Adopsi standar internasional kedalam konstitusi sebagai norma integritas mendorong perkembangan kelembagaan demokrasi kepemiluan.
Pasca reformasi, perubahan UUD 1945 punya peran penting sebagai fondasi peningkatan kulitas pemilu termasuk prinsip demokrasi lainnya.
Penegakan hukum pemilu dimotori oleh pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2003 sebagai peradilan pemilu berwenang untuk penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Kedua, pembentukan DKPP pada tahun 2012 sebagai peradilan pemilu berwenang menjalankan fungsi peradilan untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu.
Ketiga, revisi undang-undang pemilu pada tahun 2017 memberikan keweangan bagi Bawaslu untuk menjalankan fungsi peradilan pemilu untuk pelanggaran dalam proses pemilu.
Perkembangan kelembagaan demokrasi tersebut terbukti memiliki pengaruh signifikan terhadap penerapan norma-norma integritas pemilu melalui fungsi kontrol, mekanisme keluhan serta penegakan hukum setiap malpractices yang dilakukan unsur pemilu (penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih). Norma tertinggi dan utama pelaksanaan pemilu adalah jaminan perlindungan terhadap hak politik warga negara.
Internasional IDEA (2019) mendefinsikan suatu pemilihan yang baik apabila mampu mengakomodasi rakyat dengan mudah menyalurkan hak pilih, hasil pemilihan yang akurat dan dipercaya oleh rakyat sebagai kehendak rakyat. Norma ini diadopsi oleh UUD 1945 sebagai suatu pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Surbakti (2008) menambahkan pemilihan umum juga harus “beradab”, maksudnya suatu mekanisme nir-kekerasan didalam penyelesaian setiap bentuk sengketa pemilu melalui penegakan hukum oleh institusi-institusi peradilan pemilu, penghormatan hak konstitusional warga negara, serta terbentuknya pemerintahan demokratis yang stabil.
Kepatuhan penyelenggara pemilu terhadap norma tersebut bersifat mutlak, sebagai asas penyelenggaraan pemilu demokratis. UU Pemilu menegaskan penerapan norma integritas pemilu mengikat unsur penyelenggara pemilu yaitu mandiri, berkepastian hukum, profesional serta akuntabel.
Bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugal dan wewenangnya. Penyelenggara pemilu tidak profesional menjadi faktor dominan dari jenis pelanggaran etik, dari sikap tidak profesional ini memicu tindakan malpractices lainnya, umumnya terkait soal perolehan suara hasil pemilu yang akan menentukan kandidat terpilih.
Penegakan hukum terhadap malpractices dilakukan oleh DKPP. Pada tahun 2019, sebanyak 43 orang diberhentikan tetap, rehabilitasi 648 orang, peringatan/teguran 387 orang, pemberhentian sementara 3 orang, pemberhentian dari jabatan ketua 12 orang, dan ketetapan sebanyak 30, terhadap penyelenggara pemilu baik itu dari KPU, Bawaslu beserta jajaran penyelenggara pemilu lainnya.
Dua diantara putusan pemberhentian tetap tersebut melibatkan KPU ‘pusat’ dan peringatan/teguran terhadap anggota KPU ‘pusat’ lainnya atas tindakan tidak professional sebagai penyelenggara pemilu.
Tentu sangat disayangkan, penyelenggara pemilu yang seharusnya menjaga norma-norma sebagai standar integritas justru terjebak kepada tindakan-tindakan malpractices yang telah mencederai prinsip pemilu demokratis.
Moralitas merupakan suatu batasan dari undang-undang pemilu yang menguraikan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Lawannya, imoralitas sebagai praktek pelanggaran atau penolakan atas prinsip moralitas itu sendiri. Moralitas sebagai standar integrias dilekatkan kepada praktek penegakan hukum pemilu yang adil.
Tidak mudah mencapai prinsip keadilan. Kritik terhadap praktek peradilan pemilu saat ini adalah dominan pendekatan normatif seolah menyederhanakan penyelesaian sengketa pemilu yang kental dengan dimensi politik kontestasi.
Jebakan kewenangan absolut dari fungsi peradilan pemilu masih terjadi. Ingat kasus dugaan korupsi yang melibatkan hakim MK berinisila AM dan PA, menjadi catatan korektif integritas peradilan pemilu.
Kontrol publik seluas-luasnya menyeimbangkan antara dimensi normatif dan politis dari sistem peradilan pemilu saat ini. Kelembagaan demokrasi akan terus berbenah, semakin mendekatkan standar integritas pemilu untuk menjamin tegaknya pemilu demokratis.
Oleh : Ervan Kus Indarto
Penulis adalah Peneliti di Index Pemilu.