Covid-19 dan New Normal “Belajar dari Kecerdikan Kelelawar”
TATANAN hidup baru (New Normal) yang diucapkan Presiden Jokowi akan menjadi pilihan model dalam kehidupan manusia Indonesia di tengah pandemi Covid-19.
Pilihan ini adalah bagian dari rangkaian panjang yang dilakukan pemerintah dalam upaya penanggulangan penanganan Covid-19 sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020 lalu.
Kini di tengah wacana pelonggaran, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan dunia mengenai kemungkinan puncak kedua pandemi Covid-19, jika pelonggaran dilakukan.
Menurutnya dunia masih berada dalam fase di mana penyakit sebenarnya sedang dalam perjalanan menuju puncak, yang ditandai dengan masih melonjaknya jumlah orang yang terinfeksi (New York Post, 26/5/2020).
Lepas dari soal itu, telah menjadi perbincangan banyak kalangan, Covid-19 bersumber dari kelelawar, bahkan ia menjadi inang secara alami dari berbagai virus. Meski virus ini berbahaya bagi manusia, tetapi tak fatal bagi kelelawar, karena ia bisa menghindari peradangan.
Sayap kelelawar yang juga berfungsi sebagai sensor, karena memiliki semacam molekul persinyalan yang disebut interferon-alpha yang membantu memperingatkan sel-sel sebelum infeksi virus menyerang kelelawar.
Para peneliti menemukan, peradangan bisa berkurang signifikan pada kelelawar karena aktivasi protein penting, yaitu NLRP3 (LIPI, 07/2/2020).
Protein ini dapat mengenali infeksi virus atau bakteri sehingga aktivitas virus berkurang secara signifikan oleh sel kekebalan kelelawar. Sensor dan protein NLRP3 itulah yang membuat kelelawar bisa hidup “berdamai” dengan virus Covid-19 dan berumur panjang.
Sistem kekebalan tubuhnya itu pula yang memerangi infeksi dengan membasmi virus dari dalam sel. Singkat kata, keleIawar cerdik memerangi virus di dalam tubuhnya sendiri.
Belajar pada kecerdikan kelelawar, nampaknya model tatanan hidup baru dapat dipandang sebagai konsepsi terobosan bagi masyarakat untuk menghalau sebaran virus Covid-19 dalam menjalankan aktivitas.
Tatanan hidup baru yang dikatakan Presiden Jokowi dapat dipandang bagai sisi pedang bermata dua. Agar aktivitas manusia di berbagai bidang kehidupan dapat berjalan, tetapi juga bersamaan dengan itu sembari memusnahkan penyebaran Covid-19.
Keseriusan penerapan New Normal oleh pemerintah dapat terlihat pada kebijakan yang diambil. Agar masyarakat dapat beradaptasi dalam hidup tatanan baru yang disebut protokol kesehatan.
Dalam hal itu Kementerian Kesehatan menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Keputusan ini kemudian menjadi rujukan dalam membuat petunjuk/pedoman teknis lainnya untuk masyarakat dalam bekerja atau beraktivitas.
Walau demikian, keberhasilan protokol kesehatan akan sangat ditentukan oleh sikap gotong-royong, kerja sama yang baik, dan saling pengertian antara pemerintah, aparat, dan masyarakat.
Bahwa hanya ada satu musuh di sekeliling kita yaitu Covid-19. Sikap demikian itu akan memudahkan virus ini enggan menginfeksi manusia.
New Normal menjadi bentuk nyata perlawanan terhadap Covid-19 yang fokus terhadap upaya menyelamatkan hidup manusia serta keterpurukan sebagai akibat terjangan makhluk renik ini.
Sosialisasi protokol kesehatan terus-menerus digalakan di masyarakat, roda ekonomi segera bergerak, ditambah lagi kucuran dana bantuan sekitar Rp. 3,67 triliun dari Bank Dunia untuk penanganan wabah virus Corona (30/5/2020).
Ini semua menjadi kabar gembira dimana roda kehidupan diberbagai bidang terutama dibidang ekonomi dapat berjalan, tetapi perlawanan terhadap Covid-19 juga tak berhenti dalam era tatanan hidup baru.
Pemerintah juga dapat meningkatkan kekebalan tubuh manusia secara individu agar sel-sel tubuh bisa menahan gempuran virus yang mendera.
Pada titik ini kita ingin fokus pada satu hal – menyelesaikan pandemi di negeri ini. Jangan ada yang melenceng atau berbicara dan bertindak lain. Sebagaimana oleh beberapa kalangan yang seolah-oleh memperbincangkan soal Covid-19 tetapi mengulas politik kekuasaan, seperti Muslim Arbi, misalnya.
Menurut mereka “saat ini bukan penerapan new normal yang diinginkan rakyat, melainkan new president (29/5/2020). Ataukah bagai pernyataan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono “Dulu saya memimpin kurang apa” (29/5/2020).
Oleh: Burhanuddin Saputu
Penulis adalah Alumnus Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia.