Mampukah Direksi Telkom Terpilih Mewujudkan Kedaulatan Digital?
MAMPUKAH Direksi Telkom Terpilih Mewujudkan Kedaulatan Digital?’ merupakan catatan penting dari ‘Membumikan Pancasila di Sektor Telekomunikasi Menuju Indonesia Maju dan Berdikari’ dalam hal ini di mana PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang jasa layanan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta jaringan telekomunikasi di Indonesia akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam waktu dekat (red: hari Jumat 19 Juni 2020). Sejumlah pekerjaan besar akan dihadapi oleh Dewan Direksi (Board of Director) Telkom Group dalam menjalankan perusahaan di era industri 4.0 saat ini. Mulai dari rencana transformasi organisasi, tantangan di industri digital yang menghadapi persaingan nasional maupun global, hingga penanganan issue radikalisme di sumber daya manusia (SDM) Telkom.
Transformasi Organisasi
Untuk menjawab tantangan industri digital, mendukung digitisasi nasional dan untuk menginternalisasi agenda transformasi, maka Telkom telah menajamkan kembali Purpose, Visi, dan Misi-nya. Purpose Telkom yaitu : Mewujudkan bangsa yang lebih sejahtera dan berdaya saing serta memberikan nilai tambah yang terbaik bagi para pemangku kepentingan. Visi Telkom adalah : Menjadi digital telco pilihan utama untuk memajukan masyarakat. Sedangkan Misi Telkom adalah :
1. Mempercepat pembangunan Infrastruktur dan platform digital cerdas yang berkelanjutan, ekonomis, dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
2. Mengembangkan talenta digital unggulan yang membantu mendorong kemampuan digital dan tingkat adopsi digital bangsa.
3. Mengorkestrasi ekosistem digital untuk memberikan pengalaman digital pelanggan terbaik.
Dalam upaya bertransformasi menjadi digital telecommunication company, Telkom Group mengimplementasikan strategi bisnis dan operasional perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan (customer-oriented). Transformasi tersebut akan membuat organisasi Telkom Group menjadi lebih lean (ramping) dan agile (lincah) dalam beradaptasi dengan perubahan industri telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat. Organisasi yang baru juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam menciptakan customer experience yang berkualitas.
Telkom akan melakukan konsolidasi 20 anak perusahaan yang memiliki kesamaan portofolio ataupun yang saat ini masih kurang optimal dalam memberikan nilai tambah. Proses konsolidasi akan dilaksanakan secara bertahap hingga tahun 2021. Diharapkan pemangkasan anak dan cucu usaha itu akan memberikan dampak positif bagi perseroan. Produk Telkom akan bisa menang berkompetisi dengan produk global. Semoga Direksi Telkom yang terpilih nanti bisa mewujudkan tujuan mulia transformasi organisasi tersebut. Jangan sampai transformasi justru membuat organisasi Telkom semakin gemuk karena hanya untuk menampung para pejabat Telkom dari anak-anak perusahaan yang dikonsolidasi.
Tantangan di Industri Digital
Kegiatan usaha Telkom Group bertumbuh dan berubah seiring dengan perkembangan teknologi, informasi dan digitalisasi, namun masih dalam koridor industri telekomunikasi dan informasi. Hal ini terlihat dari lini bisnis yang terus berkembang melengkapi legacy yang sudah ada sebelumnya. Telkom mulai saat ini membagi bisnisnya menjadi 3 Digital Business Domain:
1. Digital Connectivity: Fiber to the x (FTTx), 5G, Software Defined Networking (SDN)/ Network Function Virtualization (NFV)/ Satellite.
2. Digital Platform: Data Center, Cloud, Internet of Things (IoT), Big Data/ Artificial Intelligence (AI), Cybersecurity.
3. Digital Services: Enterprise, Consumer.
Telkom sebagai perusahaan jasa telekomunikasi yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda memiliki kompetensi inti di bidang connectivity. Untuk business domain digital platform dan digital services Telkom harus meningkatkan kapabilitasnya dengan cepat agar mampu bersaing dengan perusahaan swasta lokal maupun global.
Salah satu produk dalam business domain Digital Platform yang menghadapi tantangan berat adalah Data Center. Produk Data Center Telkom harus bisa bersaing dengan data center dari pemain global di tengah regulasi yang belum memihak pada penyelenggara data center lokal. Potensi ekonomi digital dan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar mengundang ketertarikan pemain – pemain global seperti Microsoft, Amazon, Alibaba, dan Google untuk berinvestasi mengembangkan pusat datanya di Tanah Air. Apalagi Indonesia juga memiliki ekosistem perusahaan rintisan (start up) yang paling aktif di Asia Tenggara. Telkom harus cerdik dalam pengelolaan perusahaan rintisan. Selama ini Telkom telah menyediakan 17 Digital Innovation Lounge (DILO) yang tersebar di 17 kota di Indonesia. DILO merupakan wadah atau tempat talent, start up dan komunitas berkolaborasi membangun mimpi di dunia digital melalui program pre-start up development, digital professional talent dan digital community development. Namun sayang sekali produk cloud yang digunakan para perusahaan rintisan yang di inkubasi Telkom mayoritas adalah produk Amazone Web Service, bukan produk cloud Telkom Group.
Pada bulan Februari 2020 Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan tidak ingin Indonesia hanya menjadi pasar dan penonton bagi industri tersebut. Investasi pembangunan pusat data harus memberikan nilai tambah dan transfer pengetahuan bagi Indonesia. Pemerintah akan menyiapkan regulasinya termasuk yang mengatur soal investasi data center yang ingin masuk ke Indonesia. Menurut Jokowi, Pemerintah harus memastikan investasi data center di Indonesia memberikan nilai tambah baik dalam pelatihan digital talent, pengembangan pusat riset, kerja sama dengan pemain – pemain nasional maupun dalam sharing pengetahuan dan teknologi. Tak hanya bagi pemain global, Presiden juga ingin mendorong munculnya pemain – pemain besar lainnya dari dalam negeri terkait dengan investasi pengembangan pusat data ini. Mulai dari BUMN telekomunikasi hingga pihak – pihak swasta yang belakangan sudah mulai bergerak ke bisnis pusat data.
Namun ucapan Jokowi tersebut tidak selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019. PP ini membuka peluang bagi perusahaan swasta atau korporasi untuk menyimpan datanya di luar negara Indonesia. Padahal apabila data tetap wajib disimpan di dalam negeri, maka perlindungan, pengolahan, serta pengkapitalisasian data untuk kepentingan nasional menjadi semakin mudah. Dengan definisi ini pula, semua layanan elektronik non-pemerintah tidak perlu ditempatkan pada wilayah hukum Indonesia. Efek samping kebijakan ini pada akhirnya adalah hilangnya peluang investasi dari industri data center yang telah berkembang pesat sejak PP 82/2012 berlaku. Selain itu juga, tentunya akan menyulitkan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum karena harus meminta izin dan berkoordinasi lebih lanjut kepada otoritas di mana data tersebut ditempatkan.
Pada awal Maret 2020 Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) menjelaskan beberapa regulasi atau payung – payung hukum yang harus dilengkapi soal investasi pusat data. Salah satunya mengacu kepada Undang – Undang ITE dan PP 71/2019. Dibutuhkan juga beberapa aturan yang lebih teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Kominfo terkait dengan sekitar 23 pasal. Menkominfo menyatakan akan menyelesaikan draft RUU tersebut dalam waktu satu minggu. Peraturan Menteri ini akan mengatur untuk mempercepat pengambilan keputusan investasi, oleh pelaku usaha dalam hal ini untuk investor – investor yang ingin berinvestasi terkait dengan data center di Indonesia. Peraturan Menteri yang dihasilkan akan memenuhi semua kepentingan, baik perlindungan data terhadap pemilik data, keamanan data, kedaulatan data di sisi yang satu, dan di sisi yang lain sektor usaha atau investasi dapat dilaksanakan dengan baik.
Pemerintah harus gerak cepat menyiapkan regulasi. Mengingat para pemain global telah dan akan segera masuk ke Indonesia. Contohnya Alibaba Cloud perusahaan komputasi awan (cloud) milik Alibaba Group yang meluncurkan data center keduanya di Indonesia pada bulan Januari 2019 dan Amazone Web Service (AWS) yang berencana membangun infrastruktur berupa tiga pusat data di Indonesia pada akhir 2021 atau awal 2022.
Produk digital platform lainnya yang potensial untuk digarap di era industri 4.0 adalah Internet of Things (IoT). Global Channel Resources (GCR), perusahaan teknologi informasi berbasis e-commerce dengan fokus business to bussines (B2B) yang bergerak di sektor teknologi IoT, mengungkapkan potensi pasar IoT di Indonesia sangat besar ke depannya. Hal itu dapat dilihat dari berbagai kebutuhan IoT lintas sektor industri, antara lain sektor manufaktur, logistik, kota pintar (smart city), maupun rumah pintar (smart home) yang belum mengadopsi secara masif. Tingkat adopsi yang belum masif tersebut disebabkan berbagai industri masih mencari bentuk yang tepat untuk di implementasikan. Ada 3 hal yang perlu disiapkan untuk dapat mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi IoT di Indonesia, yaitu regulasi, infrastruktur dan sumber daya manusia.
Issue Radikalisme di SDM Telkom
Dalam menghadapi tantangan industri digital di atas, Telkom selayaknya didukung oleh SDM yang handal. Namun BUMN telekomunikasi ini justru menghadapi isu radikalisme di dalam tubuh organisasinya. Beberapa kasus terkait radikalisme di tahun 2019 yang melibatkan Telkom sempat mencuat. Salah satunya adalah kasus tersangka teroris Sendi Hidayat alias Abu Laila Bin Ahmad Jahidin. Sendi disebut terlibat Jamaah Anshor Daulah (JAD) hingga banyak mendatangi pengajian di Kota Bandung. Yang menyita perhatian adalah penyebaran paham menyimpang itu banyak di lakukan di masjid – masjid Kota Kembang. Sendi diketahui telah berbaiat dengan Abu Bakar Al Baghdadi di Masjid Darul Ikhsan di komplek Telkom Corporate University, Gegerkalong, Bandung. Kasus lainnya adalah Telkom menghadirkan Felix Siauw sebagai pembicara di Masjid Al Muta’arof di Menara Multimedia dalam Kajian Bulanan. Felix sempat membuat cuitan bahwa membela nasionalisme itu tidak ada dalilnya. Selain itu beberapa karyawan Telkom ditengarai sering menulis status yang memprovokasi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Semoga Direksi Telkom yang terpilih nanti bisa menindak tegas SDM yang tidak memiliki jiwa nasionalis dan berpandangan Pancasila karena Telkom Group merupakan BUMN yang dimana karyawan organik (tetap) merupakan bagian dari pemerintah, Pancasila dan NKRI.
Akhir Kata
Idealnya sosok Direksi Telkom selain harus memiliki kapabilitas kepemimpinan dan bisnis yang handal juga harus memiliki jiwa nasionalisme dan berpandangan Pancasila yang kuat. Karena sebagai pemimpin BUMN di industri telekomunikasi yang merupakan salah satu industri strategis harus mampu menjadikan Telkom benar-benar sebagai telecommunication national flag carrier. Jangan sampai kedaulatan digital di bumi nusantara ini hanya tinggal impian belaka. Merdeka!!!
Oleh : Satrio F. Damardjati