Bahas Problematika Pilkada Serentak di Tengah Pandemi Covid-19, Puskohis IAIN Surakarta Gelar Webinar Nasional
Abadikini.com, SOLO – Puskohis IAIN Surakarta seminarkan urgensi Pilkada Serentak Tahun 2020. Seminar nasional tersebut dilakukan secara virtual karena keadaan masih belum kondusif.
Dengan menghadirkan tiga narasumber handal, pusat studi yang baru diresmikan bulan lalu suskes menggelar seminar kali ini dengan tema “Urgensi Pilkada Serentak 2020 dalam Bingkai Demokrasi Konstitusional”.
Pilkada Serentak 2020 ini memang sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia, baik di dunia nyata maupun dunia maya (media sosial -red).
Acara diawali sambutan Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta oleh R. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha. Dalam sambutannya, ia mengutip pendapat Carl J. Friedrich dalam bukunya, “Constitutional Government and Democracy Theory and Practice in Europe and America” yang mendefinisikan konstitusi dalam 5 konsep: Filosofis (Philosophical), Struktural (Structural), Legal (Legal),) Dokumentarian (Documentarian), dan Prosedural (Procedural).
5 konsep ini menjadi fokus utama Puskohis IAIN Surakarta. Sesuai Visi dan Misi PUSKOHIS,” pungkas Gus Mustain, sapaan akrabnya seperti dikutip, Selasa (22/9/2020).
PUSKOHIS akan selalu berkomitmen memberikan kontribusi untuk bangsa dan negara dalam urusan konstitusi dan hukum islam. Dia berharap, negara senantiasa berjalan pada jalur konstitusional, menjunjung tinggi tegaknya HAM dan demokrasi.
Direktur Puskohis ini juga mengutip pendapat pakar Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State” yang mengatakan, “Konstitusi adalah dasar dari tata hukum nasional,” ucapnya.
Dengan demikian apapun yang berlaku di Negara Indonesia haruslah sesuai jalur hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Mustain berharap, dengan adanya diskusi ilmiah membahas problematika Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi ini, Puskohis akan mampu merekomendasikan usulan solutif kepada Pemerintah baik Presiden, KPU, maupun lembaga yang berkepentingan dengan Pilkada Serentak dimasa pandemi ini.
Rektor IAIN Surakarta, Mudhofir melalui Direktur Puskohis juga menyampaikan apresiasinya atas terselenggranya acara ini. Rektor berharap agar diskusi ilmiah seperti ini berlanjut untuk tema-tema berikutnya.
Menurut narasumber pertama, Z. Saifudin mengatakan, tema yang diangkat oleh Puskohis sangat menarik dan terkini karena memang sedang menjadi trending topic.
Direktur Institut Pemantau dan Pengawas Pemerintahan Daerah (IP3D) itu menyebutkan bahwa, dari 3 opsi usulan KPU akhirnya disetujui pada tanggal 9 Desember Tahun 2020 sebagai opsi paling realistis untuk dilaksanakan Pemilukada.
“Keputusan tersebut diambil dalam forum rapat bersama dengan DPR dan pemerintah (Kemendagri) pada akhir maret 2020. Dengan ditindak lanjuti dikeluarkan Perppu tanggal 4 Mei 2020. Anggaran dana yang disetujui sekitar 2,6 T,” ungkapnya.
Mas Say, sapaan akrabnya, juga menjabarkan tentang pertaruhan Konstitusi dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 18 ayat (4). Aturan UU Pemilukada bahkan sampai aturan teknis PKPU No. 5, 6, dan 10. Dikupas secara tuntas.
“Juga mengkritisi banyak persoalan dan dinamika sebelum proses penetapan calon tanggal 23 September 2020. Termasuk tentang 25 daerah yang masih terdapat calon tunggal. Dijelaskan juga jika ada potensi kotak kosong menang atas calon tunggal. Ada juga tentang tarik ulur dukungan Parpol dan mahar politik yang sulit pembuktiannya,” tuturnya.
Dalam kutipannya, “Ada hal menarik pada Pemilukada tahun ini, yaitu adanya 25 calon tunggal. Selain itu, ada tarik ulur dukungan Parpol yang menjadikan sengketa, contohnya di kota Kutai Kartanegara. Calon lawan tidak jadi maju sehingga terjadi calon tunggal masih ada walau sudah masa perpanjagan pendaftaran,” paparnya.
Tidak lupa dijelaskan potensi adanya gugatan hukum. Ia membagi dalam 3 domain. Sebelum penetapan, pasca kampaye dan setelah penetapan dari KPU. Gugatan dapat dilakukan di PTUN, PN, DKPP dan MK sebagai hasil akhirnya.
Saifudin juga memberikan jalan solutif dan alternatif agar Pemilukada dapat berjalan lancar. Komisi II DPR dan Pemerintah (Kemendagri) agar aktif komunikasi.
“Mengevaluasi KPU sebagai penyelenggara teknis. Mendorong agar ada koordinasi berkala dalam Forkompimda. Termasuk pelibatan penegak hukum,” tambahnya.
Dia juga menyinggung soal Keppres No. 12 Tahun 2020 bahwa Kepala Daerah sebagai Ketua Gugas Pandemi. Agar pemerintah pusat tidak terlalu intervensi. Agar kepala daerah sekarang fokus dalam pandemi.
Saifudin juga mengutip dari Herbert Mclosly berkata “Partisipasi politik merupakan kekuatan warga negara ketika mengambil bagian pada proses pemilihan penguasa dan kebijakan umum” (Andi Faisal Bakti, 2012: 119). Agar 107 juta voters ikut berpartisipasi.
Demi terciptanya kepemimpinan politik yang ideal. Dia mengutip pendapat dari T.B. Bottomore berkata “Kepemimpinan politik merupakan perpaduan semua kelompok kekuatan politik dan pengaruh politik” (Michael Rush dkk, 2011: 249). Kepemimpinan lokal merupakan grass root sebagai embrio kepemimpinan nasional.
Sebagai rekomendasinya, ia juga memberikan arahan agar Pilkada ini tetap dilanjut dengan catatan dan benang merahnya. Termasuk pengetatan protokol kesehatan.
“Alasan lain adalah demi menjaga tetap lanjut roda pemerintahan daerah dalam kerangka good governance dan clean goverment serta kepastian hukum terjaga,” tegasnya.
Dia juga mengingatkan agar tidak terjadi politik pecah belah. Idealnya mengedepankan proses demokrasi dengan menghilangkan sifat egosentris golongan dan/atau kelompok pribadi saja.
Narasumber kedua, Lisma menyampaikan, sejarah kali pertama pemilu dilaksanakan dan urgensi Pilkada Serentak 2020.
“Indonesia pertama kali melakukan pemilu pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang diikuti oleh 118 partai politik, organisasi, golongan, dan perorangan. Era orde baru pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1999 untuk memilih anggota DPR dan DPRD.
Pemilihan wakil-wakil rakyat yakni presiden, gubernur, bupati dan walikota disebut dengan istilah demokrasi perwakilan. Era reformasi, pemilu dilaksankan pada tahun 2004, 2008, dan 2014 untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten,” ungkapnya.
Salah satu dosen Hukum Tata Negara IAIN Surakarta ini juga menuturkan, bahaya Pilkada Serentak 2020 apabila tidak jadi dilangsungkan pada tahun ini.
“Hal ini dapat menyebabkan potensi konflik vertikal antara pemerintah daerah dan masyarakat maupun konflik horizontal antara kelompok masyarakat pendukung pemerintah dan kelompok masyarakat oposan pemerintah di daerah.
Tema konfliknya sudah tentu limitasi kepemimpinan yang tercantum dalam undang-undang dan suksesi kepemimpinan daerah di periode 2020-2024,” tutur Lisma.
“Apabila pilkada dilaksanakan tanpa Perppu, hasilnya akan dinilai inkonstitusional dan pemimpin daerah yang terpilih berstatus illegal karena tidak sesuai dengan bulan penetapan pelaksanaan pilkada di dalam UU No. 10 Tahun 2016.
Kedua hal ini akan menyebabkan ramainya gugatan hukum secara vertikal dan konflik secara horizontal (antara dua kubu pendukung paslon),” imbuhnya di sela-sela pemaparan materi.
“Kita tidak bisa menutup mata dengan adanya Pilkada Serentak 2020. Sebagai warga negara, kita harus ikut berpartisipasi meski banyak polemik,” tutup Lisma.
Dalam seminar ini juga dibahas problematika pilkada dan analisis hukumnya oleh narasumber ketiga, Dosen Hukum Pidana Islam IAIN Surakarta, Suciyani. Ia menjelaskan banyak masalah yang biasa muncul pada pelaksanaan pilkada.
Menurutnya, masalah-masalah tersebut menjadi masalah yang tidak terselesaikan karena perlu pengawalan dari penegak hukum dan masyarakat. Kasus atau masalah yang dilaporkan memerlukan barang bukti agar bisa diproses oleh apparat penegak hukum.
“Setiap Pilkada harus dilihat potensi-potensi pelanggrannya. Koordinasi Bawaslu, penegak hukum, masyarakat sebagai pelapor sangat dibutuhkan. Pencegahan adanya potensi pelanggaran juga perlu dilakukan. Selama ini, yang dilakukan hanya penyelesaian masalah, tanpa pencegahan,” terang Sekretaris Puskohis IAIN Surakarta.
Peserta tampak antusias dalam webinar tersebut. Meliputi hampir perwakilan provinsi ada. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh para peserta, di antaranya pencalonan independen tanpa Parpol, politik dinasti, sengketa pilkada, mahar politik. Pertanyaan dijawab dengan jelas oleh narasumber dengan saling menambahkan dan diskusi bareng.