Ketika Negara Lemah, Maka Hukum Tak Berdaya
Ketika Negara Lemah, Maka Hukum Tak Berdaya
Assalamualaikum Wr Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua, semoga Tuhan selalu membingkai keberagaman negeri ini menjadi ikatan yang tak terpisahkan sebagai sebuah bangsa dan perbedaan yang ada, tetap menjadi kekuatan kita dalam Berbhineka.
Tulisan pertama di bulan Desember setelah libur lama menulis. Kali ini saya mau menuliskan tentang penegakan hukum bagi pelanggar Protokol Kesehatan, dedikasi tulisan ini tentunya untuk Tenaga Kesehatan terutama yang masih berstatus Tenaga Kesehatan Honorer. Tulisan ini berangkat dari kekhawatiran saya tentang Mengapa negara terkesan lemah dalam penegakkan hukum?
Bismillah…
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana amanat Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Artinya hukum dijadikan sebagai panglima, dimana segala sesuatu yang dilaksanakan harus berdasarkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Landasan hukum bagi pemerintah dalam mengeluran Peraturan Pemerintah (PP) terkait protokol kesehatan sudah jelas, hal itu didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan.
Saya mengatakan Astaga… melihat negara terkesan lamban dalam menindak kelompok massa yang melakukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan sementara dasar penegakan hukum sudah terang benderang.
Tentu kita menyadari, setiap perbuatan hukum melahirkan tanggung jawab hukum, hukum diharapkan menjadi garda terdepan dalam mencegah terjadinya pelanggaran, baik melalui instrumen perijinan dan pengawasan terhadap masyarakat agar wabah ini dapat ditekan penularannya. Efek jera untuk pelaku dalam bentuk sanksi penjara ataupun pidana denda diharapkan dapat meminimalisir kecenderungan terjadinya pelanggaran.
Kampanye dalam pencegahan penularan Covid-19 terkesan percuma ketika negara terkesan kalah oleh tekanan sekelompok orang
Kalau tenaga medis kita sempat “merajuk” itu hal wajar menurut saya, karena upaya mereka berjuang mati-matian selama ini di garda depan seolah tidak ada artinya.
Ketika ada pertanyaan “Sampai kapan negara akan kalah?”
Jawabnya negara tidak akan kalah kalau pemangku kebijakan benar-benar melakukan penegakan hukum dengan konsisten dan tidak pandang buluh, aparat jangan hanya berani menindak kelompok masyarakat kecil, pelaku UMKM yang “Katanya” melewati jam malam, namun ketika dihadapkan dengan sekelompok masa yang melanggar protokol kesehatan atas nama agama hukum terkesan tumpul tak berdaya
Seharusnya tak ada yang boleh kebal hukum di negara yang menjadikan hukum sebagai Panglima kecuali semboyan itu hanya cerita “Senin Senja Kemarin Dulu” cerita dongeng yang tak pernah sudah
Salus Populi Supreme Lex Esto Keselamatan Rakyat Adalah Hukum Tertinggi, sebagai haparan semoga jargon tersebut bukan hanya sebuah cita-cita negara hukum di tengah para pihak yang saat ini terkesan mempertontonkan sebuah perlawan terhadap aturan yang berlaku di beberapa daerah terkait protokol kesehatan (Covid-19)
Salah seorang guru saya (Dr. Arrie Budiartie S.H,. M.H) pernah menuliskan fatwa dalam diskusi kami di laman media sosialnya “Semua pihak harus mempunyai visi misi yang sama. Kesejahteraan rakyat, Kemaslahatan Rakyat dan Supremasi Hukum. Tanpa itu semua, sebagus apapun teks-teks kaedah hukum dibuat maka ia tak lebih dari rangkaian huruf di atas kertas tanpa makna”
Ada yang berkelompok melanggar protokol kesehatan dengan enteng hanya membayar denda, Sanksi denda ternyata tak memberikan efek jera, menemui faktanya nasihat guru Saya itu, salah satu sisi negatif dari sanksi denda bagi masyarakat yang baru mengenal demokrasi adalah denda dimaksud bagi yang berpunya maka seolah “pelanggaran” itu bisa dibeli. Padahal hakekat dari keberadaan denda itulah yang harusnya difahami.
Masih kata guru Saya tadi. Beliau berkata, “Di negara maju, dimana kesadaran masyarakat akan keamanan dan kemaslahatan publik telah terjaga, maka urusan denda ini mnjadi bagian dari sanksi yang humanis untuk pelanggaran-pelanggaran yang terkait pada publict interest”
Dan kembali jika kita hubungkan dengan apa yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini, hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena sikap dan kebijakan tebang pilih dari pemerintah dalam hal penegakan hukum bagi pelanggaran terhadap protokol kesehatan tersebut, sebab tak jarang hukum seolah begitu melindungi kelompok tertentu dan menyerang kelompok yang bersebrangan.
Izinkan saya mengutip fatwa guru saya lagi “Ketika aturan hukum dipandang merugikan keberadaan kelompok penguasa, maka hukum dinafikan, tetapi begitu bersentuhan dengan urusan kepentingan mereka yang kontra politik, hukum diterapkan”
Sebagai kesimpulan atas tulisan ini, menegakkan hukum di negara yang menjadikan hukum sebagai panglima adalah hal wajib dan tak bisa ditawar. Tegakkan Keadilan dan Kepastian Hukum, begitu kata Prof. Yusril dalam beberapa kesempatan. Sebagai negara hukum hendaknya pemerintah serius dalam hal penegakan hukum, karena teori-teori hukum sudah memberikan rambu-rambu bagaimana hukum itu menjadi efektif atau tidak.
Legal Structure tak dapat dipungkiri menjadi masalah terbesar di negara kita dalam upaya penyelarasan tujuan hukum, Kemaslahatan Masyarakat, Kesejahteraan Rakya dan Supremasi hukum serta kewibawaan pemerintah. Tanpa itu, mustahil hukum itu dapat ditegakan.
Kura-Kura Begitulah….
Demikian
Salam Hormat
Oleh: Yolis Syalala