Hebat, Peneliti Perempuan asal Indonesia ini Masuk 10 Besar Tokoh Berpengaruh di Dunia 2020
Abadikini.com, JAKARTA – Komunitas jurnal penelitian Nature Research merilis 10 orang yang dianggap paling berpengaruh dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sains) selama 2020.
Mulai dari pengembang vaksin virus corona (Covid-19) hingga seorang perdana menteri masuk dalam deretan 10 orang berpengaruh tersebut.
“Bersama kolega mereka, orang-orang ini membantu membuat penemuan luar biasa dan berhasil menarik perhatian publik kepada masalah krusial (sains). Nature’s 10 bukan lah penghargaan atau peringkat. Pilihan ini disusun editor Nature untuk menyoroti peristiwa penting dalam sains melalui cerita menarik dari mereka yang terlibat,” bunyi editorial Nature Research.
Salah satu perempuan Indonesia yang menjadi peneliti di salah satu universitas negeri di Yogyakarta turut masuk dalam Nature’s 10: Ten People who Helped Shape Science in 2020.
Berikut ini daftar kesepuluh orang tersebut:
1. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus
Di masa kepemimpinan Terdos, WHO menghadapi tantangan besar yakni menangani pandemi virus corona (Covid-19) yang selama setahun terakhir telah menginfeksi lebih dari 76,5 juta orang di dunia.
Nature Research menganggap peran Tedros sebagai Dirjen WHO krusial karena mengingatkan masyarakat dunia untuk bersiap menghadapi ancaman virus corona sejak awal penyebarannya.
Pada 27 Januari lalu, Tedros terbang ke China dan bertemu Presiden Xi Jinping untuk memastikan penyebaran virus corona.
Tiga hari kemudian ia mendeklarasikan wabah corona sebagai darurat kesehatan internasinal dan memerintahkan negara anggota WHO bersiap menghadapi ancaman virus tersebut.
Tedros dinilai berhasil menangani krisis corona dunia dengan tepat meski agensinya ditekan oleh negara besar Amerika Serikat. AS menuding WHO membela China terkait penyebaran virus corona.
Namun, sejumlah pihak menganggap sikap Tedros kepada China sudah tepat. China dianggap akan bersikap lebih tertutup dan tidak akan merespons dengan baik jika WHO bersikap lebih keras terhadap pemerintahan Presiden Xi Jinping.
Peneliti penyakit menular dari National University of Singapore, Dale Fisher, mengatakan transparansi yang lebih luas dan respons yang lebih cepat tidak akan mengubah penyebaran pandemi di dunia.
Fisher mengatakan bahkan setelah WHO mengumumkan status darurat kesehatan, banyak negara masih enggan mengamalkan rekomendasi badan tersebut untuk segera menerapkan langkah-langkah antisipasi dengan mempromosikan protokol kesehatan kepada masyarakat.
2. Petugas Patroli Kutub Utara, Verena Mohaupt
Mohaupt dan timnya sangat berjasa karena memastikan situs penelitian ekspedisi Artik terbesar dalam sejarah, MOSAiC tetap berlangsung di tengah tantangan cuaca dan ancaman beruang kutub yang datang.
Mohaupt merupakan koordinator logistik misi yang berlangsung selama setahun itu. Selama berbulan-bulan ekspedisi berlangsung dalam kegelapan konstan. Di waktu bersamaan, para tim juga menghadapi ancaman beruang kutub yang berkeliaran di dekat situs penelitian.
Para peneliti juga menghadapi ancaman es mencair ketika matahari kembali terbit. Mouhapt dan tim harus menjaga seluruh peralatan penelitian dan logistik lainnya tidak tenggelam.
Mohaupt juga melatih beberapa peneliti untuk belajar menghadapi bahaya Kutub Utara. Perempuan lulusan jurusan biofisika itu tidak pernah berencana meniti karir di bidang logistik kutub utara, namun dia selalu tertarik terkait kawasan di ujung dunia bagian utara itu.
3. Ahli Virologi Asal Uruguay, Gonzalo Moratorio
Gonzalo merupakan ahli virologi di Pasteur Institute and the University of the Republic. Ia dan sejumlah kerabatnya dinilai berhasil membantu Uruguay terhindar dari lonjakan penularan virus corona.
Gonzalo dan timnya berhasil membuat mekanisme pemeriksaan virus corona dan menyusun program nasional penanggulangan Covid-19. Sejauh ini, Uruguay menjadi salah satu negara dengan tingkat kematian akibat corona terendah di dunia yakni dengan 87 kematian per 10 Desember.
Sementara itu, negara Amerika Latin lainnya sekaligus tetangga Uruguay, Brasil dan Argentina mencatat lonjakan penularan corona yang signifikan.
4. Peneliti Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM), Adi Utarini
Ketika dunia terfokus menangani pandemi virus corona (Covid-19), Adi berfokus memerang angka penularan demam berdarah yang terus melonjak di Indonesia.
Adi dan rekan-rekannya berhasil mengurangi kasus demam berdarah hingga 77 persen di beberapa bagian kota besar di Indonesia dengan melepaskan banyak nyamuk yang telah dimodifikasi untuk menghentikan penularan virus DBD.
Adi dan timnya membiakkan nyamuk Aedes Aegypti dengan membawa bakteri bernama wolbachia. Bakteri itu melumpuhkan virus DBD dan mencegah nyamuk menularkannya ke manusia.
Uji coba kecil di Australia dan Vietnam telah membuahkan hasil menggiurkan. Sementara itu, di Yogyakarta dengan tingkat penularan DBD tertinggi dan penduduk yang padat, masih butuh penelitian dan uji coba yang lebih luas.
Penelitian ini merupakan uji coba terkontrol pertama yang benar-benar baru dan dinilai efektif mengendalikan wabah demam berdarah.
5. Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern
Nature Research menobatkan Ardern sebagai pemimpin yang berhasil menangani sejumlah krisis yang melanda negaranya, termasuk pandemi virus corona.
Di bawah Ardern, Selandia Baru langsung menerapkan kebijakan lockdown beberapa waktu setelah kasus pertama virus corona terkonfirmasi.
Kebijakan lockdown dan pembatasan pergerakan lainnya yang diterapkan Selandia Baru menjadi salah satu yang paling ketat di dunia.
Kebijakan ketat itu mengantarkan Selandia Baru menjadi salah satu negara yang sukses menangani virus corona. Hanya dalam beberapa bulan, Selandia Baru berhasil menekan angka penularan sehingga memulai era baru (new normal) lebih cepat dari negara lain.
6. Kepala Riset dan Pengembangan Vaksin Perusahaan Farmasi Pfizer, Kathrin Jansen
Jansen mengambil risiko besar dengan tetap melakukan penelitian pengembangan vaksin virus corona berbasis messenger RNA meski teknologi tersebut belum terbukti ampuh.
Sebelumnya tidak ada perusahaan yang berani menggunakan platform pengembangan vaksin berbasis teknologi RNA. Namun, melihat angka kematian corona yang terus melonjak, Jansen dan timnya bertekad mencoba teknologi tersebut.
Dalam 210 hari, Jansen dan timnya berhasil mencetak rekor dengan membuktikan bahwa vaksin corona buatan mereka aman dan efektif untuk manusia.
Hingga kini, penggunaan vaksin Pfizer telah disetujui di beberapa negara seperti Inggris untuk penggunaan darurat.
Perusahaan Jerman yang berkolaborasi dengan Pfizer dalam mengembangkan vaksin corona, BioNTech, bahkan mengakui bahwa keberhasilan ini sebagian besar berkat tangan dingin Jansen.
“Dia tidak kenal lelah, tetapi sangat bergantung pada data,” kata Kepala BioNTech, Ugur Sahin.
7. Ahli Virologi China, Zhang Yongzhen
Zhang menjadi peneliti pertama yang mengunggah genom virus corona secara online pada awal Januari lalu. Saat itu, genom virus tersebut hanya diketahui menyebabkan penyakit mirip pneumonia di Wuhan, China.
Dalam unggahannya itu, Zhang menuturkan bahwa genom virus itu berasal dari virus terbaru yang mirip dengan virus yang menyebabkan wabah SARS di China pada 2002 lalu.
Akibat upaya Zhang, para peneliti mulai melakukan riset terkait genom itu untuk menyelidiki protein utama virus, menghasilkan tes diagnostik, dan merancang vaksin.
“Itu adalah momen terpenting dalam penelitian Covid-19,” kata Linfa Wang, Ahli Virus dari Duke National University of Singapore Medical School.
Sebelumnya, laboratorium tempat Zhang bekerja di Pusat Klinik Kesehatan Masyarakat Shangkai menerima sampel patogen corona pada 3 Januari. Di hari yang sama, pemerintah China mengeluarkan perintah yang melarang otoritas dan laboratorium menerbitkan informasi tentang virus tersebut.
Pada tanggal 5 Januari, Zhang diberitahu bahwa virus tersebut terkait dengan SARS. Kemudian pada hari itu, Zhang memberi tahu otoritas kesehatan kota Shanghai tentang ancaman virus baru tersebut dan mengunggah data ke Pusat Informasi Bioteknologi Nasional (NCBI), sebuah gudang urutan yang dijalankan oleh Institut Kesehatan Nasional AS.
8. Kosmolog, Chanda Prescod-Weinstein
Tahun 2020 menjadi tahun yang sibuk bagi Weinstein. Selain berkiprah sebagai berupaya merampungkan penelitian post-doctoral pertamanya, ia juga memetakan penelitian menggunakan observasi astrofisika untuk mempelajari materi gelap.
Tak hanya sibuk dalam penelitian, Weinstein juga aktif memperjuangkan hak asasi manusia kaum minoritas. Ia mengorganisir para ilmuwan untuk ikut solidaritas Strike for Blake Lives, kampanye daring terkenal yang menuntut institusi menangani rasisme dalam dunia sains.
9. Ahli Epidemiologi China Pencetus Kebijakan Lockdown, Li Lanjuan
Pada Januari lalu, Li Lanjuan ditugaskan pemerintah China pergi ke Wuhan untuk meninjau penyebaran wabah corona. Beberapa hari kemudian, Li menyerukan pemerintah Wuhan mengisolasi total kota dengan 11 juta penduduk itu demi menekan penularan.
10. Direktur Istitute Nasional Amerika Serikat untuk Penyakit Menular dan Alergi, Anthony Fauci
Nature Research menobatkan Fauci sebagai pembela ilmu pengetahuan. Ketika Presiden Donald Trump dan jajaran pemerintah meremehkan pandemi virus corona, Fauci terus memandu masyarakat Amerika terkait bahaya virus tersebut.
Fauci juga menerapkan sejumlah pedoman kesehatan sebagai bentuk tanggapan nasional terhadap pandemi corona.
Tak jarang, langkah Fauci kerap bertolak belakang dengan Trump. Skala pandemi yang terus menyebar di AS dan minimnya respons pemerintahan Trump membuat Fauci terpaksa melakukan hal lebih dari tugas dan kewajibannya.