Hukum Yang Berlaku Dalam Persoalan “KUDETA” Kepengurusan Partai Politik
KUDETA atau dalam bahasa Perancis disebut coup d’État sederhananya diartikan sebagai perebutan kekuasaan dengan paksa. “kekuasaan” di sini, jika dihubungkan dengan partai politik, tentulah mereka yang memegang tampuk pimpinan partai politik. Perebutan kekuasaan tentu tidak akan langsung terjadi begitu saja. Rangkaiannya dimulai dari penolakan-penolakan, berlanjut kepada pembubaran/pergantian pengurus secara sepihak, dan puncaknya pengambil-alihan tampuk kepemimpinan secara fisik.
Kudeta partai politik yang hari ini ramai dibicarakan sebetulnya bukan hal baru. Di setiap periode lima tahunan pemilu, konflik soal kepengurusan partai politik sudah sering terjadi. Karena telah banyak kasus perselisihan yang terjadi, maka pembuat undang-undang mengatur ruang lingkup dan saluran-saluran penyelesaiannya secara rinci. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 menyebut konflik internal partai politik ini dengan istilah “Perselisihan Partai Politik”.
Ruang lingkup dari perselisihan ini juga telah dijabarkan yakni meliputi (1) Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) Pelanggaran terhadap hak anggota partai pilitik; (3) Pemecatan tanpa alasan yang jelas (4) Penyalahgunaan kewenangan; (5) Pertanggungjawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan partai politik. Dengan demikian, kudeta kepengurusan partai politik yang saat ini ramai dibicarakan adalah termasuk bagian dari perselisihan partai politik.
Guna menyelesaikan perselisihan ini, ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 telah menentukan bahwa penyelesaian perselisihan partai politik dilakukan oleh Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh partai politik. Masa waktu yang tersedia untuk menyelesaikannya hanya 60 hari saja. Akibat hukum dari putusannya itu bersifat final dan mengikat.
Meski final dan mengikat, Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 juga menyediakan saluran hukum bagi pihak yang tidak menerima putusan Mahkamah Partai yakni dengan melanjutkan penyelesaiannya di Pengadilan Negeri. Masa waktu penyelesaian di Pengadilan Negeri juga sama yakni 60 hari. Putusannya juga dianggap sebagai putusan yang pertama dan terakhir serta hanya dapat diajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Di tingkat Kasasi memakan waktu penyelesaian paling lama selama 30 hari.
Sebelum ikut terjun dalam perbincangan tentang kudeta partai politik, pertama-tama yang perlu kita tanyakan secara kritis adalah “Kapankah perselisihan partai politik itu dapat dikatakan sudah terjadi?”. Menjawab pertanyaan ini, ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 telah menegaskan “pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”. Karena itu, sepanjang belum terjadi pergantian kepengurusan partai politik secara nyata dan sepihak, maka perselisihan kepengurusan partai politik secara hukum belum terjadi.
Kabar-kabar tentang upaya pengerahan dan pergerakan untuk mengganti kepengurusan partai yang lama, tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyebut bahwa perselisihan partai politik telah terjadi. Sampai betul-betul ada rapat tertinggi yang dilangsungkan dan menghasilkan kepengurusan baru atau kepengurusan tandingan di samping kepengurusan partai yang sebelumnya ada, maka barulah peristiwa hukum “Perselisihan Partai Politik” betul-betul terjadi dan dapat ditindak.
Ketika hal sebagaimana disebutkan di atas telah terjadi, maka pengurus partai lama yang masih sah dapat mengadukannya kepada Mahkamah Partai Politik untuk disidangkan. Apabila ternyata kepengurusan itu telah didaftarkan dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI dengan suatu keputusan, maka simultan dengan upaya di Mahkamah Partai, pengurus juga dapat mengupayakan pembatalannya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Tentunya setelah menempuh semua upaya administratif (administrative beroep) yang tersedia hingga tuntas.
Demikianlah hukum yang berlaku telah mengatur ruang lingkup dan saluran penyelesaian perselisihan partai politik. Hukum yang berlaku tidak mempersoalkan tentang siapa dan darimana “kudeta” itu berasal, apakah dari dalam (internal) ataukah luar partai. Hal yang sudah dapat dipastikan adalah hukum dengan jelas telah menentukan perselisihan partai politik sebagai sebuah peristiwa hukum, sehingga kapan dan bagaimana proses penyelesaiannya juga hanya bisa ditempuh dengan suatu proses hukum.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik; dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Oleh: Gugum Ridho Putra, S.H., M.H.