Tiga Hikmah Pilkada Kota Lampung 2020, Antara Bansos, Pelaku Pelanggaran TSM dan Kewenangan Bawaslu Provinsi
PERHELATAN pilkada digelar dengan satu tujuan yakni memilih pemimpin eksekutif tertinggi di suatu daerah. Sepanjang pelaksanaan tahapan pilkada selalu saja ada peristiwa menarik untuk dicermati. Setiap peristiwa yang terjadi sangat disayangkan jika dibiarkan berlalu begitu saja karena masing-masing memuat fakta yang khas dan berbeda satu sama lain. Fakta-fakta itulah yang penting untuk diungkap dan dicatat sebagai bahan untuk memperbaiki sistem hukum ke depan.
Hukum sendiri bukanlah produk yang muncul begitu saja tanpa sebab. Dibuat untuk mengatur seluk-beluk dan mengatasi permasalahan di kehidupan manusia, jelaslah hukum adalah hasil dari reaksi atau respon terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dengan begitu, ketika terjadi peristiwa yang serupa, pencari keadilan tidak perlu bingung dibuatnya sebab hukum telah menyediakan cara dan jalan untuk menyelesaikannya. Termasuk pula peristiwa yang terjadi pada Pilkada Kota Bandar Lampung tahun 2020 yang lalu.
Dalam perhelatan Pilkada Kota Lampung tahun 2020 yang lalu, salah satu dari ketiga Pasangan Calon, berhasil meraih suara mutlak meninggalkan 2 (dua) Pasangan Calon lainya. Namun kemenangan itu tiba-tiba saja pupus ketika keluar sebuah putusan yang membuat Pasangan Calon itu tidak dapat ditetapkan sebagai Pasangan Calon Terpilih. Anehnya lagi, lembaga yang menghentikan langkah Pasangan Calon itu bukan Mahkamah Konstitusi seperti dalam bayangan banyak pihak. Yang mengeluarkan putusan justru Bawaslu Provinsi Lampung lewat jalur pelanggaran administrasi TSM (terstruktur, sistematis dan massif).
Keberanian Bawaslu Provinsi Lampung menjatuhkan putusan itu menuai berbagai reaksi. Bagaimana bisa Pasangan Calon peraih suara terbanyak dibatalkan kepesertaanya oleh Bawaslu Provinsi padahal tahapan pemilihan telah masuk masa pencoblosan. Beberapa pengamat bahkan memandang Bawaslu Provinsi Lampung telah melampaui wewenangnya serta melanggar kode etik penyelenggara sehingga layak untuk dilaporkan ke DKPP. Meski demikian, putusannya itu ternyata diaminkan dan ditindaklanjuti oleh KPU Kota Lampung dengan penerbitan Keputusan tentang Pembatalan sebagai Pasangan Calon peserta (“keputusan diskualifikasi”), sehingga sempurnalah sanksi diskualifikasi bagi Pasangan Calon peraih suara terbanyak tadi.
Rangkaian proses hukum mengenai keputusan diskualifikasi ini memang masih berlangsung hingga saat ini. Pasangan Calon yang dijatuhi sanksi diskualifikasi telah mengambil upaya hukum ke Mahkamah Agung untuk meminta Mahkamah Agung untuk membatalkan Keputusan diskualifikasi yang dikenakan kepadanya. Mahkamah Agung kemudian mengabulkan permohonannya itu dan menyatakan keputusan diskualifikasi KPU Kota Bandar Lampung itu batal dan tidak mengikat. Namun di sisi lain, Pihak yang menjadi Pelapor dalam perkara TSM itu bersama dengan Pasangan Calon lain dalam Pilkada Lampung juga balas mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (“PK”) kepada Mahkamah Agung. Berkas PK nya telah diterima dan sedang dalam proses pemeriksaan oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali.
Terlepas pihak mana yang akan dimenangkan dalam putusan akhir nanti, pilkada kota Bandar Lampung Tahun 2020 telah menyajikan pementasan peristiwa yang penting bagi perbaikan hukum pilkada ke depan. Setidaknya terdapat 3 (tiga) hikmah yang dapat menjadi pelajaran bagi perhelatan pilkada selanjutnya di masa-masa yang akan datang, diantaranya : Pertama, sejak Bawaslu Provinsi Lampung mengeluarkan putusan pelanggaran TSM, maka tindakan-tindakan yang bertujuan memengaruhi pemilih dengan memanfaatkan program resmi pemerintahan daerah yang didanai APBD baik berupa uang, janji, atau materi bernilai ekonomis lainnya khususnya dalam bentuk bantuan sosial (bansos) dapat tergolong sebagai pelanggaran TSM. Penyalagunaan bansos untuk kepentingan pilkada memang sering terjadi, namun pengusutannya sebagai money politics sangatlah tidak mudah karena terbungkus sebagai program resmi pemerintahan daerah.
Baru pada Pilkada Kota Bandar Lampung Tahun 2020 inilah pembagian bansos terbukti secara sah dan meyakinkan diputus sebagai pelanggaran TSM. Pemerintah Kota Bandar Lampung membagi-bagikan paket bansos berupa beras untuk meringankan beban masyarakat selama pandemi. Siapa sangka ternyata program resmi didanai APBD itu ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan dalam pilkada. Ketika paket itu dibagikan kepada masyarakat diselipkan pula pesan, janji dan pengarahan agar memilih salah satu Pasangan Calon. Atas dasar itulah Bawaslu Provinsi Lampung menyatakan unsur perbuatan TSM yang dilarang dalam pilkada telah terpenuhi. Sekalipun paket itu program resmi Pemerintah Kota namun pembagiannya terbukti bertujuan “mempengaruhi untuk memilih calon tertentu…”.
Selain persoalan bansos, hikmah kedua yang juga dapat diambil dari Pilkada Kota Lampung Tahun 2020 adalah mengenai perluasan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggung jawaban. Sejak putusan itu, Pihak-pihak yang dapat dihukum atas pelanggaran TSM tidak hanya pelaku aktif saja namun diperluas hingga pihak yang sekedar menerima manfaat atau diuntungkan olehnya. Hal demikianlah yang terjadi pada pilkada kota Bandar Lampung Tahun 2020 yang lalu. Yang memiliki program dan yang membagi-bagikan paket bansos adalah Walikota Bandar Lampung beserta jajarannya, namun fakta persidangan menunjukkan bahwa Pasangan Calon peraih suara terbanyak terbukti secara sah dan meyakinkan telah mendapat manfaat atau diuntungkan oleh pelanggaran TSM yang terjadi.
Karena itu, meskipun sekedar hanya menerima manfaat, Bawaslu Provinsi Lampung memandang Pasangan Calon peraih suara terbanyak itu telah melanggar prinsip keadilan yang berlaku universal yakni bahwa “tidak seorangpun boleh diuntungkan atas pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorangpun pula boleh dirugikan oleh pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan orang lain”. Karena itu, meskipun Pasangan Calon tersebut telah berhasil meraih suara terbanyak dalam pemilihan, namun total suara yang diperolehnya itu tidak dapat dianggap sebagai suatu hasil yang sah di mata hukum. Dengan dasar itulah Bawaslu Provinsi Lampung kemudian menjatuhkan sanksi diskualifikasi kepadanya.
Sebelum putusan Bawaslu Provinsi Lampung keluar, banyak kalangan meragukan kiprah lembaga pengawas pemilihan di daerah dalam melakukan pengawasan. Putusan Bawaslu Provinsi Lampung yang lalu telah membuka mata semua pihak tentang besarnya kewenangan yang dimiliki sehingga meningkatkan marwah Badan Pengawas Pemilu di daerah. Adanya putusan itu sekaligus melengkapi hikmah ketiga yang dapat diambil dari perhelatan pilkada kota Bandar Lampung tahun 2020 yakni bahwa peraih suara terbanyak dalam pemilihan tidak hanya bisa digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi juga bisa digagalkan oleh Bawaslu Kab/Provinsi melalui jalur pelanggaran TSM.
Suatu hal yang tidak disadari para praktisi sebelumnya bahwa ternyata pelanggaran TSM tetap dapat diusut meskipun telah memasuki masa pencoblosan. Ternyata Peraturan Bawaslu sendiri memang telah menentukan waktu pengusutan pelanggaran TSM yakni sejak penetapan calon hingga hari H pencoblosan. Laporan pelanggaran TSM Pilkada Kota Bandar Lampung diajukan pelapor pada pukul 11 (sebelas) malam pada hari H Pencoblosan, sehingga meski tinggal menit-menit terakhir memasuki pergantian hari, Bawaslu Provinsi Lampung tetap berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutuskan laporan pelanggaran TSM.
Demikianlah 3 (tiga) hikmah yang dapat diambil dari perhelatan Pilkada Kota Lampung tahun 2020 yang lalu. Hikmah ini dapat menjadi pelajaran bagi pasangan calon utamanya incumbent agar tidak terjerumus pada kesalahan yang sama dengan tidak memanfaatkan fasilitas jabatan dan anggaran yang dititipkan kepadanya. Bagi pasangan calon peserta Pilkada yang bukan incumbent juga tetap harus mengedepankan prinsip fairness dalam kontestasi. Sebab sekedar menerima manfaat atau diuntungkan saja juga bisa terkena sanksi diskualifikasi. Terakhir, putusan Bawaslu Provinsi Lampung yang lalu juga sekaligus membuka mata para praktisi hukum bahwa ternyata peraih suara terbanyak dalam suatu pemilihan tidak hanya bisa tumbang di tangan Mahkamah Konstitusi saja, tetapi juga bisa tumbang tangan Bawaslu melalui putusan pelanggaran TSM.
Oleh: Gugum Ridho Putra, S.H., M.H.
Sumber :
– Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
– Peraturan Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota yang Terjadi Secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif