Mengenal Pendiri Partai Bulan Bintang, KH Abdul Qadir Jaelani Sang Pemberani
MASJID At Tayyibatul ‘Ula Dukuh Atas, Jakarta, menjadi saksi awal saya bertemu tokoh gerakan Islam Abdul QadirJaelani. Saat itu tahun 70 an, ia menjadi penceramah di masjid tersebut. Saat itu dia memaparkan tentang kekejaman Yahudi dan perjuangan ummat Islam dalam membebaskan Masjidil Al-Aqsa. Ia hadir dalam posisi sebagai Ketua Panitia Pembebasan Masjidil Aqsa (PPMA). Bicaranya lantang dan retorik, sungguh menarik perhatian jamaah. Apalagi kaum remaja dan generasi muda Islam yang hadir saat itu.
Tahun 80 an saya terlibat dalam kerja riset da’wah, di lingkungan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. M. Natsir, Ketua Umum Dewan Da’wah biasa berkantor di lembaga riset tersebut. Namanya LIPPM (Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat). Direktur pertama Dr. Deliar Noer. Lalu ia digantikan Dr. Anwar Harjono SH. Saat itu bergabung Mas Supriyo SH di LIPPM. Ternyata ia teman seperjuangan Bang Jaelani. Ia pernah dipenjara bersama Kang Anwar Saleh dan Ustadz Amin Jamaluddin. Mereka terlibat peristiwa demo 20 Mai1978, menolak aliran kepercayaan dan KNPI. Waktu itu Bang Jaelani Ketua Umum GPI. Ia masuk penjara belakangan. Tapi ia berani menyatakan yang bertanggung jawab soal demo. Hingga teman temannya yang ditahanpun dibebaskan.
Usai peristiwa pembantaian ummat Islam di Tanjung Priok. Bang Jaelani termasuk yang ditangkap aparat. Ia kembali masuk penjara. Saat ia di tahan di penjara Cipinang, Pak Anwar Harjono mengajak saya membezuknya. Kami datang waktu jam besuk. Dalam tahanan itu kami bertemu beliau, Syarifin Maloko dan lain lain. Entah bagaimana ceritanya, seperti sudah kenal lama, beliau tiba tiba memukul pundak saya. “Kemana aja ente”, candanya. Tentu sayapun senang ditegurnya.
Padahal itulah yang pertama dapat berinteraksi langsung dengan Bang Jaelani. Sebelumnya karena ia tokoh nasional tidak mudah untuk berinteraksi secara pribadi. Saya mendapat hikmah membezuk para mujahid da’wah di penjara, sehingga terasa hubungan sedemikian baik. Termasuk dengan ikhwan Ustadz Syarifin Maloko dan lain lain. Sejak itu hingga LIPPM digabung ke Dewan Dawah belum lagi berjumpa dengannya. Saya lebih kerap berjumpa dengan teman teman seperjuangannya. Kang Anwar Saleh, Mas Supriyo dan Kang Hardi Arifin. Selepas penjara sesekali saya bertemu dengannya. Di saat ia sebagai pengurus Serikat Tani Islam Indonesia (STII) hadir di Markas Dewan Da’wah, Kramat Raya 45, Jakarta.
Kembali saya bertemu langsung bang Jaelani saat bersama Ustadz Suwito Suprayogi dijemput pengurus masjid Astra Motor Sunter. Dalam mobil ada kelakar beliau yang tidak bisa saya lupakan. Saat itu kami para khatib langsung diberi salam tempel oleh pengurus. Spontan Bang Jaelani komentar, “Wah kalo sudah terima ini kita turun aja deh di sini”. Kami pun tertawa mendengarnya. Namun kami tetap bertugas khutbah di Astra pada masjid yang berbeda.
Setelah itu lama sekali tak melihat Bang Jaelani di Dewan Da’wah. Ternyata beliau sudah udzur dan lebih banyak di rumah. Hanya buku tulisannya saya biasa dapat bagian. Kang Hardi Arifin yang membagi bagikannya. Walau kegiatannya sudah terbatas namun menulis tetap bergiat. Memang tidak banyak tokoh Islam seperti beliau. Ia seorang orator dalam berbicara di depan umum dan berani. Ia juga seorang penulis handal dan tajam. Sudah banyak buku yang diterbitkannya. Buku perjalanan hidup atau otobiografinya ditulis sendiri.
Saat saya mengumpulkan bahan biografi Anwar Saleh, saya kembali bertemu Bang Jaelani di rumahnya. Ia salah satu teman seperjuangannya. Keduanya sama sama di PB GPI. Saya datang ke Leuwiliang, Bogor, tahun 2006. Saat itu ia sedang aksyik berdzikir sambil memegang tasbih. Sebelum wawancara berlangsung ia pun berkelakar. “Dalam usia tua ini ibadah saya seperti NU. Tapi berfikir saya sama dengan Muhammadiyah”. Katanya sambil tersenyum lebar.
Ternyata interaksi langsung di rumahnya itu membawa maslahat bagi saya dalam da’wah. Idul Fitri 2006 saya diminta khutbah di Rongga, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Tokoh setempat pada saat saya singgah di rumahnya seakan meng “interogasi”. Saya ditanya soal “siapa sebenarnya saya ini. Padahal saya diminta anaknya sendiri. Tentu ia sudah ceritakan tentang diri saya. Namun mungkin ia pandang belum lengkap kalau tidak langsung bicara dengan orangnya. Diskusi soal M. Natsir dan Kartosuwirjo, hingga hubungannya dengan Bang Jaelani. Semua saya kemukakan apa adanya sesuai pengetahuan yang saya miliki. Tapi sepertinya ia belum yakin. Setelah saya tunjukkan foto bersama Bang Jaelani saat ke rumahnya, baru ia terlihat mulai lunak. Hingga akhirnya kami berbuka puasa Ramadhan bersama di rumahnya.
Pada saat acara Haflah Idul Fitri Keluarga Besar Dewan Dawah, tahun 2018, saya masih melihat keberadaan Bang Jaelani. Ia masih hadir di lingkungan keluarga besar “Bintang Bulan Masyumi” di aula Masjid Al Furqan. Setelah itu saya tidak bertemunya lagi. Apalagi pada saat pandemi copid 19 saya belum ke markas Dewan Dawah. Hingga saya membaca berita di website “Nahi Munkar” bada Isya. Ternyata beliau meninggal dunia. Pada hari Selasa, 23 Februari 2021, jam 10.00 pagi di rumahnya, di Leuwiliang, Bogor. Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’un.
Tentu saya merasa kehilangan dan berduka atas wafatnya pendiri dan mantan Legislator PBB 1999-2004. Saya pun bersedih tidak bisa hadir bertakziyah sebagaimana saat Kang Anwar Saleh, sahabatnya, pendiri dan mantan legislator Partai Bulan Bintang (PBB) 2004-2009, meninggal dunia. Saya hanya bisa berdoa, “Semoga Allah Tabaaraka Wa Ta’ala menerima amal ibadahnya dan mengampuni dosa dosanya. Aamiin.
Oleh: Muhsin MK