Pergeseran Skenario Hukum Penyelesaian Perselisihan Partai Demokrat
YANG tidak dinanti ternyata datang, yang tak pernah disangka nyatanya benar terjadi. Demikianlah situasi genting yang terjadi pada Partai Demokrat hari ini. Diakui langsung oleh pengurus yang lebih dulu ada (Kubu AHY) bahwa Partai Demokrat tidak pernah menyangka akan mengalami perpecahan internal. Terlebih, pihak yang terlibat adalah pihak luar yang bukan Pengurus dan bukan pula Anggota Partai Demokrat. Situasi yang jelas berbeda jika dibandingkan dengan konflik internal partai-partai yang lain. Perebutan kepengurusan partai-partai di masa lalu betul-betul terjadi antar sesama pengurus/anggota partai sehingga memang layak disebut sebagai perselisihan internal. Sementara yang sekarang terjadi justru melibatkan pihak dari luar, sehingga tidak berlebihan jika ada yang menyebut perebutan ini bukan “kudeta” melainkan “invasi”.
Apapun istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan situasi itu, hukum menamakan peristiwa perebutan kepengurusan partai sebagai “Perselisihan Partai Politik”. Undang-Undang tentang Partai Politik yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 (“UU Parpol”) telah menegaskan ruang lingkup perselisihan Partai Politik yang salah satunya adalah “perselisihan berkenaan dengan kepengurusan”. Namun isu kudeta Partai Demokrat sebelumnya belum dapat dianggap sebagai perselisihan partai politik sebab masih desas-desus / rumor pembicaraan publik saja. Akan tetapi, semenjak pertemuan rapat (KLB) yang lalu telah memutuskan penujukkan Ketua Umum yang baru, maka perselisihan partai politik secara de facto telah terjadi, sebab desas-desus perselisihan telah bertransformasi menjadi tindakan faktual.
Atas perselisihan yang terjadi di tubuh Partai Demokrat ini, Pasal 32 dan Pasal 33 UU Parpol telah menentukan skenario penyelesaian perselisihan melalui 3 (tiga) forum penyelesaian yakni diawali Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain; dan/atau Pengadilan Negeri, dan/atau Kasasi di Mahkamah Agung.
Penyelesaian perselisihan bisa dimulai dari Mahkamah Partai Politik. Jika Mahkamah Partai Politik tidak juga mampu menyelesaikan, penyelesaian perselisihan dapat dilanjutkan ke Pengadilan Negeri. Jika Pengadilan Negeri juga tidak mampu menyelesaikan, maka forum terakhir yang tersedia adalah dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Karena itu, skenario hukum yang disediakan UU Parpol untuk menyelesaikan perselisihan internal Partai Demokrat adalah melalui saluran: Mahkamah Partai Politik-Pengadilan Negeri-Mahkamah Agung (kasasi). Kubu AHY dapat mulai mengusut penindakan pihak-pihak terlibat KLB ke Mahkamah Partai Demokrat.
Akan tetapi belajar dari penyelesaian perselisihan partai-partai di masa lalu, skenario hukum yang disediakan UU parpol itu bisa jadi tidak berfungsi secara efektif dan bergeser ke forum penyelesaian yang lain. Salah satu sebabnya adalah apabila Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) terburu-buru menerbitkan keputusan pengesahan kepada Kubu Pengurus Tandingan walau masih di tengah situasi konflik internal.
Sebetulnya, UU parpol telah secara tegas melarang Menkumham mengambil keputusan ketika konflik internal belum terselesaikan. Pasal 24 UU Parpol (UU No. 2 Tahun 2008) menegaskan “dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan partai politik hasil forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan”. Nyatanya dalam beberapa perselisihan partai yang telah berlalu Menkumham menerobos larangan itu dengan menerbitkan keputusan pengesahan. Akibatnya, skenario hukum penyelesaian mau tidak mau bergeser dan melebar ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Atas dasar itu, Jika keputusan pengesahan atas Kubu Moeldoko betul diterbitkan oleh Menkumham, maka Kubu AHY mau tidak mau harus membawa penyelesaiannya ke PTUN, tentunya setelah terlebih dahulu menuntaskan upaya administratif yang tersedia.
Melebarnya penyelesaian konflik internal ke PTUN adalah pilihan yang tidak dapat dihindarkan sebab keputusan pengesahan itu seketika berlaku dan mengikat secara hukum. Sebagai sebuah keputusan tata usaha negara (beschikking) yang bersifat konkret, individual dan final, keputusan pengesahan dari Menkumham berlaku di bawah asas “presumptio iustae causa”, yakni akibat hukum atas keputusan itu harus dianggap benar sampai terbit keputusan lain yang menyatakan sebaliknya atau putusan pengadilan yang membatalkannya.
Karena itu, keputusan pengesahan kepengurusan baru jika memang diterbitkan Menkumham nantinya, sangatlah berisiko besar jika dibiarkan begitu saja. Dengan bekal keputusan pengesahan itu, pengurus tandingan baru secara hukum harus dianggap legal karena telah mendapat pengakuan keabsahan dari Pemerintah.
Mereka menjadi berhak bertindak untuk dan atas nama partai politik dan dengan leluasa dapat mengambil keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan efektif untuk kepentingannya. Pengurus yang baru dapat mengambil dan menduduki gedung dan kantor-kantor partai secara fisik, beserta aset-aset yang lain.
Termasuk merombak pos-pos jabatan yang diisi anggota partai di pusat maupun di daerah. Anggota-anggota partai yang duduk di DPR maupun di DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota dapat ditarik dan dirombak satu-persatu melalui pergantian antar waktu. Dengan bekal keputusan pengesahan itu, perebutan kepengurusan partai menjadi sempurna secara de facto maupun secara yuridis.
Jika hal demikian betul-betul terjadi, maka skenario hukum untuk menyelesaikan perselisihan Dartai Demokrat tidak lagi melalui Mahkamah Partai-Pengadilan Negeri-Kasasi Mahkamah Agung, melainkan menjadi bergeser ke PTUN. Skenario ini mau tak mau harus ditempuh demi menghindarkan risiko hukum terburuk yang diakibatkan oleh keputusan pengesahan yang diberikan di tengah suasana konflik yang belum mereda.
Dasar Hukum:
1. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik jo UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
2. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, serta UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
3. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Oleh: Gugum Ridho Putra,S.H, M.H
Sumber: https://gugumridho.com/…/pergeseran-skenario-hukum…/