Menolak Lupa Lahirnya Kata NKRI, Mengenang 71 Tahun Mosi Integral Natsir
TUJUH PULUH SATU TAHUN LALU, tepatnya pada 3 April 1950 Ketua Fraksi Partai Masyumi Mohammad Natsir menyadarkan seisi sidang DPR RIS yang dikenal sebagai ‘Mosi Integral Natsir’. Natsir geram dengan hasil keputusan Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang dengan sengaja mengotak-ngotakkan bangsa menjadi negara boneka.
Pasalnya, KMB mengakui kedaulatan atas Indonesia dan mengharuskan tentara Belanda keluar dari wilayah RI. Namun, bentuk negara menjadi serikat atau Republik Indonesia Serikat (RIS)
RIS membuat wilayah Nusantara terbagi jadi tujuh negara bagian dan sembilan daerah otonom. Republik Indonesia hanya tinggal Yogyakarta dan Sumatra (kecuali Sumatra Timur dan Sumatra Selatan) dan menjadi negara bagian dari RIS.
Deliar Noer dalam Buku ‘Partai Islam di Pentas Nasional (1945-1965)’ menyebutkan, mayoritas bangsa Indonesia ketika itu menilai, bentuk federal adalah cermin keinginan Belanda. Hal itu ditambah kekisruhan di berbagai negara bagian tidak memberi gairah untuk mempertahankan bentuk negara serikat.
Deliar mencontohkan, percobaan kup oleh Kapten Westerling di Bandung dan Jakarta pada minggu terakhir Januari 1950. Kemudian pemberontakan Kolonel Andi Aziz dari bekas tentara Hindia Belanda KNIL di Makassar pada bulan April tahun itu juga,
“Sebaliknya, banyak orang mencari sebab kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara pada bentuk negara serikat itu. Perasaan seperti ini tercermin dalam sidang-sidang badan perwakilan rakyat, baik di pusat maupun di daerah,” tulisnya.
Dewan Perwakilan Rakyat Negara Sumatera Selatan memulai gerakan pembubaran negaranya tanggal 10 Februari 1950. Pada 7 Maret giliran Negara Pasundan membubarkan diri dengan bergabung ke Republik Indonesia (Yogyakarta). Lalu, disusul lagi oleh Negara Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura.
“Proses pembubaran diri negara-negara bagian itu cepat sekali berjalan, sehingga pada akhir Maret 1950 hanya empat negara yang tertinggal: Republik Indonesia, Kalimantan Barat, Sumatera Timur, dan Indonesia Timur,” tulis Deliar Noer.
Mosi Integral Natsir hadir dalam suasana seperti itu. Namun bukan berarti jalan mudah. “Dua setengah bulan saya melakukan lobi, terutama dengan negara-negara bagian di luar Jawa,” kata Natsir sebagaimana ditulis M. Dzulfikriddin, dalam Buku ‘M. Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia’.
Di Parlemen, tulis Dzulfikriddin, Natsir juga harus melobi lintas fraksi. Sejak dari para pimpinan partai berbasis Islam, seperti Siradjuddin Abbas (Perti) dan Amelz (PSII), sampai I.J. Kasimo (Partai Katolik), A.M. Tambunan (Partai Kristen) dan Sukirman (PKI). Hasilnya, semua berdiri di belakang mosi Natsir.
Saat itu Natsir berhasil meyakinkan seluruh anggota parlemen dalam sidang RIS agar kembali bersatu tatkala Presiden Soekarno sudah berada dalam posisi yang sangat sulit. Dengan lantang Natsir menyebutkan:
“Kita, Negara RI di Yogya punya Dwitunggal Sukarno-Hatta. Negara Bagianlain, tidak! Dalam sejarah jangan kita lupakan faktor pribadi. Mutu pribadi orang itu menunjukkan ‘siapa itu’ Sukarno-Hatta. Tidak akan ada yang bisa mengatakan ‘tidak’ kalau kita majukan Sukarno-Hatta untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Sedangkan kita, diam sajalah. Kalau diperlukan, ya, dipakai dan kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Pokoknya tidak ada satu pun dari negara-negara bagian itu yang akan menolak Sukarno-Hatta. Disinilah fungsi Sukarno-Hatta untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali.”
“…Berhubungan dengan ini, saya ingin memajukan satu mosi kepada pemerintah yang bunyinya demikian:
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhir-akhir ini.
Memperhatikan: Suara-suara rakyat dari berbagai daerah, dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara-suara rakyat itu, untuk melebur daerah-daerah buatan Belanda dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia…”
Pidato mosi integral itu dikutip Yusril Ihza Mahendra dalam tulisannya, ‘Menyelamatkan NKRI; Berkaca pada Peran Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir’ yang termuat dalam Buku ‘100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah’ (2008).
Mosi integral Natsir itu langsung diterima di hari yang sama, 3 April 1950 menjadi keputusan parlemen RIS dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. Peristiwa itu tepat 71 tahun yang lalu bertepatan pada hari ini, Sabtu (3/4/2021).
Demikian pidato Natsir dengan mengedepankan kearifan seorang negarawan sejati dalam mempertahan Negara RI kala itu.
Mosi Integral Natsir yang dikemukakan di atas kemudian memudahkan jalan bagi pembentukan negara kesatuan. Masyumi sebagai Partai Islam saat itu sepakat juga dengan bentuk negara kesatuan dengan catatan bahwa bentuk ini tidak menghilangkan kesempatan bagi daerah-daerah untuk memperoleh otonomi penuh.
Pada Agustus 1950, Indonesia telah resmi menjadi Negara Kesatuan dan Natsir selaku perdana menteri ditunjuk Presiden Soekarno melalui formatur kabinet dengan mengesahkan kabinetnya kemudian.
Pertanyaannya sekarang, jika dulu Natsir berpidato dan efeknya menghasilkan persatuan bangsa, masih seperti itukah kualitas pidato para tokoh bangsa hari ini? Hanya mereka yang suka berdiskusi dengan sejarah lah yang mampu menjawabnya!
Editorial Abadikini.com