Dugaan Cacat Yuridis dalam Pemecatan dan Pembinaan Ulang 75 Pegawai KPK
BERDASARKAN informasi dan pemberitaan yang dimuat secara luas di media, diketahui bahwa 75 (tujuh puluh lima) Pegawai KPK telah mengalami ketidakpastian hukum mengenai status dan kelanjutan pekerjaan mereka di Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebanyak 51 (lima puluh satu) diantaranya dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) dan dipastikan terkena keputusan pemberhentian. Sementara sebanyak 24 (dua puluh empat) sisanya tidak diluluskan dan tidak pula diberhentikan, akan tetapi dikembalikan kepada proses pembinaan ulang namun tidak ada jaminan pula mereka akan tetap diluluskan menjadi Aparatur Sipil Negara (“ASN”).
Singkat kata, alih-alih mendapatkan status pegawai yang baru sebagai ASN, 75 (tujuh puluh lima) pegawai KPK yang telah lama bekerja di KPK justru menjadi korban atas kebijakan alih status ASN itu sendiri, sebuah kebijakan yang lahir pasca bergulirnya Revisi Undang-Undang KPK lalu yang sempat menuai kontroversi dari berbagai pihak. Permasalahan hukum yang dialami oleh para Pegawai KPK di atas, baik untuk 51 (lima puluh satu) pegawai yang telah diberhentikan, maupun 24 (dua puluh empat) sisanya yang dikenakan pembinaan ulang, tiada lain adalah permasalahan hukum dalam ranah Hukum Administrasi Negara.
Lebih tepatnya sebuah perselisihan hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) yang disebut pula dengan istilah Sengketa Tata Usaha Negara. Termasuk kedalam bagian dari Sengketa Tata Usaha Negara itu salah satunya adalah “sengketa kepegawaian”. Persis seperti apa yang dialami 75 (tujuh puluh lima) Pegawai KPK saat ini, terjadi perselisihan antara pegawai pegawai KPK dengan pimpinan lembaganya sendiri sehubungan dengan hak-hak kepegawaian para Pegawai KPK.
DUGAAN CACAT YURIDIS
Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”), segala penyelenggaraan pemerintahan haruslah dilaksanakan selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tunduk pula pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Tidak terkecuali kebijakan alih status pegawai KPK menjadi ASN ini.
Sekalipun kebijakan ini menyangkut kepentingan negara yang diamanahkan melalui Pasal 69B dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Revisi UU KPK”) yang lalu, namun pelaksanaannya tetaplah harus selaras dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan AUPB.
Berkenaan dengan hal itu, UU Adminstrasi Pemerintah an telah memberikan pisau analisis untuk menelaah dan mengkritisi apakah sebuah keputusan tata usaha negara mengandung cacat yuridis atau tidak. Dalam ketentuan Pasal 52 UU Administrasi Pemerintahan disebutkan “syarat sahnya keputusan meliputi : a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, b. dibuat sesuai prosedur, dan c. substansi yang sesuai dengan objek keputusan”. Dengan menggunakan 3 (tiga) aspek hukum tesebut kita dapat melakukan analisa yuridis terhadap keabsahan keputusan Pimpinan KPK yang memberhentikan dan mengenakan pembinaan ulang kepada 75 (tujuh puluh lima) pegawainya. Jika salah satu dari ketiga aspek itu ada yang tidak terpenuhi, maka praktisnya keputusan Pimpinan KPK itu mengandung cacat yuridis.
Jika meninjaunya dari segi wewenang, bisa jadi kita tidak akan menemukan cacat yuridis atas keputusan pemberhentian dan/atau keputusan pembinaan ulang Pegawai KPK karena Revisi UU KPK memang telah memberikan kewenangan itu kepada Pimpinan KPK. Dalam ketentuan Pasal 43 dan Pawal 45 Revisi UU KPK disebutkan bahwa Penyelidik maupun Penyidik KPK “…diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dari sini kita bisa menyimpulkan, aspek wewenang dalam penerbitan keputusan ini masih terpenuhi.
Sama halnya dengan aspek wewenang, jika kita menganalisis keterpenuhan aspek prosedur dalam penerbitan keputusan pimpinan KPK itu, bisa jadi kita juga tidak akan menemukan cacat yuridis pada pelaksanaan alih status Pegawai KPK ini karena tata cara pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam pasal 5 Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Aparatur Sipil Negara (“Perkom KPK No. 1 Tahun 2021”).
Dalam ketentuan pasal 5 Perkom KPK No. 1 Tahun 2021, telah ditentukan bahwa asesmen tes wawasan Kebangsaan (TWK) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tahapan pelaksanaan pengalihan status Pegawai KPK menjadi ASN. Atas dasar itu, sekalipun persyaratan, kualifikasi, dan pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan dalam asesmen TWK banyak dianggap tidak relevan dengan kompetensi Pegawai KPK karena tidak juga ditemukan akar (root) atau sumber nya dalam Revisi Undang-Undang KPK dan PP No. 41 Tahun 2020 yang berada di atasnya, namun asesmen TWK tidak dapat dipersoalkan karena norma pemberlakuannya masih sah berlaku dan belum terdapat satupun putusan uji materil yang membatalkannya sehingga dengan asas praduga konstitusional atau presumption of constitutionality, penerapan asesmen TWK tetaplah sah menurut hukum.
Namun demikian, apabila kita mengurai aspek yang ketiga, yakni aspek substansi atas keputusan itu, maka kita akan menemukan dugaan kecacatan yuridis dalam keputusan pemberhentian dan pembinaan ulang yang dikenakan kepada 75 (tujuh puluh lima) pegawai KPK ini. Semula, maksud dan tujuan (doelmatigheid) dari kebijakan alih status Pegawai KPK itu hanyalah sekedar “mengganti baju” pegawai-pegawai KPK yang telah lebih dulu ada (existing) untuk diberikan status sebagai ASN. Karena itu hal ini menyisakan tanda tanya besar dalam kacamata hukum, utamanya adalah mengapa hasil akhir dari proses yang awal mulanya sekadar mengganti baju Pegawai KPK malah berujung kepada pemberhentian dan/atau pembinaan ulang?
Pelaksanaan alih status pegawai KPK menjadi ASN jelaslah bukan untuk tujuan seleksi ulang, bukan evaluasi kinerja, dan bukan pula proses penghukuman atau penjatuhan sanksi kepada Pegawai KPK. Tujuan akhirnya tegas disebutkan dalam pasal 69B dan 69C Revisi UU KPK yang termuat kembali dalam konsiderans menimbang huruf a PP No. 41 Tahun 2020 yakni agar “…Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi yang belum berstatus sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dapat diangkat menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Gagalnya Pegawai KPK menyandang status ASN yang justru berujung pemberhentian dan pembinaan ulang jelas menunjukkan telah terjadi penerapan kebijakan alih status ASN pegawai KPK secara menyimpang dari tujuan awalnya semula. Penyimpangan tujuan hukum atau doelmatigheid ini adalah bukti kecacatan yuridis pada aspek substansi yang sulit untuk dibantah.
Dugaan kecacatan yuridis pada aspek substansi semakin menguat apabila kita membaca ketentuan tentang alasan pemberhentian pegawai ASN KPK yang diatur dalam pasal 23 ayat (1) Perkom KPK No.1 Tahun 2021. Di dalam ketentuan ini disebutkan bahwa “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan sebagai ASN” antara lain karena alasan: pertama “meninggal dunia”, kedua “tidak lagi memenuhi syarat sebagai ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5”, dan ketiga “permintaan sendiri secara tertulis”. Pemberhentian Ke-51 (lima puluh satu) Pegawai KPK saat ini tentulah bukan karena alasan meninggal dunia dan bukan karena pengunduran diri secara tertulis sebab Pegawai-Pegawai KPK itu mengikuti seluruh tahapan alih status menjadi ASN dari awal hingga akhir.
Alasan yang paling mungkin dijadikan dasar pemberhentian Ke-51 (lima puluh satu) Pegawai KPK saat ini tentulah alasan yang kedua yakni “tidak lagi memenuhi syarat sebagai ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5”. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pasal 5 itu antara lain seperti: kesediaan menjadi PNS, kesetiaan pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Pemerintah yang sah, tidak terlibat Organisasi yang dilarang Pemerintah dan/atau putusan pengadilan, memiliki integritas dan moral baik, serta memiliki kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan.
Kemudian keterpenuhan syarat setia pada pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Pemerintah yang sah harus dibuktikan lewat sebuah tes yang dinamakan asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK). Hal inilah yang diduga kuat menjadi alasan pemberhentian 51 (lima puluh satu) Pegawai KPK lantaran mereka dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai ASN, yakni karena tidak lulus asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Jika kita cermati frasa “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan sebagai ASN” dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a Perkom KPK No. 1 Tahun 2021 maka kita akan menemukan hal yang tidak lazim dalam ketentuan tersebut. Jika betul ketentuan ini yang menjadi dasar pemberhentian, maka pertanyaan besar yang muncul adalah: bukankah 51 (lima puluh satu) Pegawai KPK yang diberhentikan dalam proses alih status ASN ini sejatinya belum berstatus sebagai ASN? Di sinilah letak persoalan yuridis lainnya dari keputusan pimpinan KPK tersebut.
Ketentuan pasal 23 ayat (1) huruf b Perkom KPK No.1 Tahun 2021 yang mengatur alasan pemberhentian ASN menjadi tidak logis jika diterapkan kepada Pegawai KPK yang bukan dan belum sama sekali berstatus sebagai ASN. Oleh karenanya, hal ini menambah panjang daftar dugaan kecacatan substansial dari keputusan pemberhentian 51 (lima puluh satu) Pegawai KPK.
ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a Perkom KPK No. 1 Tahun 2021 tidak dapat diterapkan kepada 51 (lima puluh satu) Pegawai KPK yang belum berstatus ASN, karena jika hal itu terjadi maka Pimpinan KPK telah secara keliru menerapkan ketentuan norma kepada pihak yang bukan dituju oleh norma tersebut atau dengan kata lain telah terjadi kekeliruan subjek dalam penerapan hukum (error in subjecto).
Penerapan norma pemberhentian ASN kepada Pegawai KPK yang belum berstatus ASN itu juga akan membuktikan keputusan pemberhentian itu diterapkan secara surut ke belakang (retro active force), hal mana akan membuat cukup dasar dan alasan hukumnya Bagi Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menjatuhkan pembatalan dan memerintahkan pencabutan atasnya dikarenakan bertetangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas Umum Pemerintahan Yang Baik terutama Asas Kepastian Hukum.
Oleh: Gugum Ridho Putra SH, MH
Dasar hukum
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara; dan
Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara.