Mohammad Natsir Diantara Moral dan Politik
JIKA sejarah boleh direnungkan, terasalah betapa kekalahan paling dramatis, bukanlah yang terjadi pada diri Mohammad Natsir dan kawan-kawannya.
Kekalahan paling tragis terjadi ketika “Bapak Bangsa dan Pemimpin Besar Revolusi” yang sejak muda telah berjuang bagi kemerdekaan bangsa, menemukan dirinya ditolak oleh bangsa yang dicintainya.
Kekalahan yang tidak kurang tragisnya ialah ketika “Bapak Pembangunan” yang telah “mengubah peta Indonesia” harus menerima kenyataan bahwa kehadirannya tak diinginkan lagi dan perilakunya dijadikan sebagai contoh dari perbuatan yang tidak pantas.
Bagaimana Natsir? Seperti apakah penilaian yang harus diberikan kepada seseorang yang menentang pelanggaran konstitusi tetapi ternyata kalah dalam pertarungan politik?
Masa honeymoon dalam kehidupan politik ternyata hanya terjadi ketika keharusan konstitusi relatif masih diikuti oleh pemegang kekuasaan. Seketika hal itu telah dilanggar, Natsir, sang moralis, ternyata tidak punya pilihan lain.