KH Mahrus Amin, Pesantern dan PBB
Mengenang KH Mahrus Amin mantan anggota Majlis Syuro PBB
Pertama, penulis mengenal pesantrennya pada saat baru berdiri di Ulujami. Waktu itu ia ada keinginan menjadi guru Matematika di pendidikan tingkat dasarnya. Saat datang ke sekretariat dilayani dengan baik, dan akan diberitahu jika ada lowongan. Namun sampai ia mengenal Kyai Mahrus, tidak pernah ada pemberitahuan sama sekali. Selain itu, ia sendiri juga sudah mengajar di sekolah Islam lain. Bisa saja karena bukan lulusan pesantren, maka penulis dipandang kurang pas mengajar di pondok tersebut. Namun hal itu tidak menjadi masalah baginya, karena pada saat datang melamar, ia sedang mencari tempat mengajar.
Kedua, pada tahun 1985-an, penulis diundang Drs. Habib Khirzin, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, yang juga alumni Gontor. Ia mengundang saat adiknya, pun alumni Gontor, menikah dengan putri pertama Kyai Mahrus. Waktu itu M. Natsir yang memberikan tausiyahnya. Tempat acaranya di Masjid Pesantren Darunnajah Ulujami. Penulispun saat itu juga menyaksikan perkembangan pesantren yang sudah semakin maju. Dalam 10 tahun lebih jumlah santri pesanten bertambah, sudah jauh lebih banyak dari pada masa masa awal berdirinya. Bahkan dikemudian hari, ia mengenal menantu pertamanya itu, saats menjadi pimpinan pesantren An Najah di Pebayuran, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Ketiga, pada tahun 2013, jelang Muktamar III PBB di Medan, saat diadakan pertemuan Majlis Syuro dengan Majlis Pertimbangan Wilayah (MPW) se Indonesia. Tempatnya di Pesantren Darunnajah, Ulujami. Ketika itu penulis datang lebih awal sebelum acara berlangsung, dan mampir ke rumah Kyai Mahrus dalam pesantren. Kyai pun menerima kedatangnnya. Kami sempat berbincang bincang soal masa depan PBB. Prof. Yusril pun hadir dalam pertemuan tersebut, dan terlibat dalam perbincangan hangat. Perbincangan tentang PBB lalu dilanjutkan dalam forum pertemuan Majlis Syuro dan MPW se Indonesia.
Meskipun Kyai Mahrus sudah menjadi tokoh yang dikenal luas namanya di Jakarta dan Indonesia, namun sebagaimana layaknya alumni Gontor, beliau tetap sederhana dalam penampilan dan kehidupannya sehari hari. Beliau menghormati tamunya siapa saja tanpa membeda bedakannya. Cara bicara beliapun sederhana, tidak menunjukkan bahwa dirinya memiliki ketinggian ilmu dan kedudukan dalam masyarakat. Beliau menunjukkan senyum khasnya. Namun sebagaimana kyai pada umumnya, beliau tidak betah diam dalam mengembangkan pesantren dan pendidikan Islam di Indonesia. Santri santrinyapun banyak yang berhasil dan menonjol. Diantaranya, Kyai Arifin Ilham dan Kyai Yusuf Mansur.
Walau kesibukkannya sebagai pimpinan pesantren yang tergolong besar, Kyai Mahrus pun tidak hanya perduli pada bidang pendidikan Islam saja, melainkannya juga dalam berpolitik. Karena itu pada saat PBB didirikan sebagai pelanjut Masyumi, ia yang dekat dengan para tokohnya, ikut bergabung ke dalamnya. Ia bukan hanya sebatas simpatisan dan anggota, tapi masuk menjadi fungsionaris dan aktifis PBB. Sejak PBB di bawah pimpinan Yusril periode pertama, hingga pimpinan HMS Ka’ban periode kedua dan ketiga, ia duduk dalam kepengurusan Majlis Syuro. Disela sela kesibukannya dalam memimpin pesantren yang semakin berkembang cabang cabangnya, ia masih menyempatkan hadir dalam rapat rapat dan acara Majlis Syuro.
Baik pada saat Majlis Syuro dipimpin Yusril, maupun di zaman Ka’ban sebagai ketuanya, Kyai Mahrus tetap aktif dalam PBB. Hanya yang cukup unik, dan sangat berbeda dengan Kyai-kyai NU yang para santrinya fanatik dan mendukung partai yang dibentuk dan didukung kyainya, maka kyai kyai yang aktif di PBB, tidak demikian halnya. Entah apa sebabnya. Namun yang jelas, pesantrennya tetap independen, walau kyainya berafiliasi atau menjadi fungsionaris partai. Ini tidak terlepas dari ciri khas Pesantren Gontor dan pesantren-pesantren yang menggunakan sistem pendidikannya, semua sama, bersikap independen terhadap partai politik manapun. Mereka hanya dependen dengan Islam, Allah, Rasulullah, Al Qur’an, As Sunnah dan sistem pesantren yang dibangunnya.