Gebrakan Baru Yusril Ihza Mahendra, Bikin Demokrat Was-was?
MESKI gonjang ganjing isu Kongres Luar Biasa versi Moeldoko seolah reda seiring sepi dari pemberitaan. Bersamaan dengan layunya narasi ‘kudeta’ yang dilempar kubu elit Demokrat di bawah pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono, usai mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Bak petir di siang bolong, tiba-tiba rilis media yang diungkap kantor pengacara Yusril Ihza Mahendra, Ihza & Ihza Lawfirm, seolah membangunkan kembali pengurus teras Partai Demokrat dari tidur pulasnya.
Sebaliknya, pamor Moeldoko yang mulai redup sebgai Ketua Umum Demokrat hasil Kongres Luar Biasa yang tak disahkan Kemenhukam, kembali mendapatkan angin segar dari sang punggawa hukum yang didapuk keempat kader Demokrat.
Dengan dalil-dalil hukum yang dibangun Yusril cukup kuat sesuai kepakaran di bidangnya. Yusril yang mengklaim manjadi penasihat hukum keempat anggota Partai Demokrat, mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.
Salah satu poin krusial yang diajukan adalah soal keabsahan muatan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau AD/ART Partai Demokrat yang masih harus diuji keabsahannya. Sejumlah pertanyaan mendasar juga dirumuskan Yusril secara runut dan terperinci.
Menurut Yusril di dalam UUD 1945 disebutkan antara lain bahwa hanya partai politik yang boleh ikut dalam Pemilu Legislatif (Pileg), hanya partai politik yang boleh mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Usai Pemilu, fraksi-fraksi partai politik memainkan peranan besar dalam mengajukan dan membahas RUU, membahas calon duta besar, Panglima TNI dan Kapolri, Gubernur BI, BPK, KPK dan seterusnya.
Di daerah, sebelum ada calon independen, hanya partai politik yang bisa mencalonkan Kepala Daerah dan Wakilnya. Begitu partai politik didirikan dan disahkan, partai tersebut tidak bisa dibubarkan oleh siapapun, termasuk oleh Presiden. Partai politik hanya bisa dibubarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
“Nah, mengingat peran partai yang begitu besar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara, bisakah sebuah partai sesuka hatinya membuat AD/ART? Apakah kita harus membiarkan sebuah partai bercorak oligarkis dan monolitik, bahkan cenderung diktator, padahal partai adalah instrumen penting dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi?,” ujar Yusril dalam keterangan rilisnya.