Jubir Yusril: Andi Arif jangan Paranoid!
“Sebagai politisi dan juga aktivis partai, Andi sejatinya mampu menempatkan kata yang punya makna, jangan asal hiperbolik, dan bombastis tapi miskin pemaknaan, sehingga diskursus demokrasi tak buang-buang energi,” tambah Jurhum.
Sementara soal ‘kamar gelap’ kekuasaan yang disebutnya akan dimainkan Moeldoko, yang dianggapnya akan memainkan ‘rencana busuk’, juga tak jelas ukurannya. Lepas dari konflik di internal mereka, antara kubu Moeldoko dan Agus Harimurti Yudhoyono, saya melihat Andi seperti mengidap sindrom paranoi politik.
Sikap ini biasanya dilatari bayang-bayang ketakutan berlebih, seperti yang ia sebut di atas; (yang kami takutkan adalah Moeldoko…). Rasa ketakutan berlebih atau paranoid ini biasanya didasari ilusi keinginan akan kepastian yang mutlak. Padahal setiap kejadian yang akan datang adalah kemungkinan, atau probabilitas. Dan Andi tak membaca atau bisa jadi tak mampu merumuskan kemungkinan itu.
Andi tampak dilanda panik, cemas dan khawatir berlebih ketika mendadak Yusril mengungkap permohonan judicial review sesuai mantan keempat kader PD, sehingga perasaannya dibayangi prasangka hingga ilusi tentang manuver yang akan dilakukan seseorang termasuk tuduhannya ke Yusril dan Moeldoko.
Karena bayangan itulah, Andi lupa merinci dan mengalalisis pokok persoalan yang tengah diajukan keempat kader PD melalui wasilah kantor kuasa hukum Yusril.
“Karena sikap paranoid pula Andi bermanuver dengan kata-kata hiperbolik. Saya menduga itu untuk menutupi ketidakmampuannya menjelaskan kepada publik ihwal Partai Demokrat yang selama ini masih punya kesan sebagai partai oligarkis, nepotis, dan patriarkis, praktik politik yang jauh dari kesan demokratis,” sindir Jurhum.
“Kalau Yusril dan Moeldoko tengah bersiasat mencari celah, toh ketika celah hukum yang digunakan sesuai prosedur dan konstitusional kenapa harus dianggap tengah bersiasat busuk? Bukankah kalau mau menggunakan kekuasaan sedari usai KLB sudah ada putusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memihak ke kubu Moeldoko, kan faktanya tidak, justru kubu AHY yang diakui Kemenhukham, lalu dimana letak busuk dan begalnya seperti lantang disuarakan Andi dan kawan kawan? Ya, Andi cuma bisa nuduh tapi faktanya tidak jelas, dan saya kira ini bener-bener sindrom paranoi politik, ” tegas Jurhum
Selanjut ada kalimat yang lebih super-hiperbolik yang Andi kemukakan, yakni ungkapan: “Kami memang harus mati-matian membela partai kami. Sebab ini akan jadi batas lonceng kematian Demokrasi di negeri ini,” tutur Andi seolah mengglorifikasi diri sebagai pejuang demokrasi.
Pernyataan itu selain menunjukan sejenis sisa-sisa sindrom berkuasa, karena di masa lalu PD pernah jaya, tapi Andi lupa bahwa lonceng kematian demokrasi yang ia sebut sesungguhnya akibat ulah mereka sendiri. Jika partainya punya landasan demokrasi yang kokoh, mengapa masih ada aroma aturan main (AD/ART) yang diduga oleh sebagian kader internal, terutama 4 orang yang mengajukan judicial review sarat oligarkis, nepotis dan represif, hingga membuat partai ini terus bergejolak, “ sindir Jurhum.
Jadi saya kira, saran saya buat saudara Andi dan teman-teman Demokrat harus merubah kultur berpolitik dan cara komunikasinya, terutama ketika merespon isu yang tengah menerpa Demokrat. Baiknya menyikapi gugatan atau permohonan sesuai porsi dan substansi, bukan delusi kata atau narasi,” saran Jurhum.