Neokomunis Indonesia: Fatamargona?
Tiga Strategi Komunis Membangunan Kekuatan
Kini, kita perlu merefleksi, bagaimana keberadaan komunis di negeri ini? Dalam hal ini kita perlu menyoroti beberapa model atau strategi yang inheren dilakukan kaum komunis Indonesia. Pertama, strategi memecah-belah atau devide et empera ala kolonial Belanda. Dalam hal ini kita saksikan dengan jelas panorama gerakan komunis yang terus berusaha memecah-belah umat Islam, sampai ke para elitisnya: ustadz, ulama dan habaib terkemuka dan menjadi panutan.
Pembenturan antar umat terus dilancarkan, karena perbedaan organisasi, praktik ibadah, pemikiran, bahkan artikulasi kepentingan sempitnya. Sejumlah perbedaan itu “digoreng”, sehingga terjadi “friksi” atau “firqah” dalam umat Islam, bahkan dengan umat beragama lainnya. Implikasinya, umat saling benci, tak pernah satu pandangan dan sikap untuk dan atau misi kebersatuan umat, dalam wilayah politik bahkan wilayah lainnya: ekonomi dan pemikiran ibadah mahdlah dan muamalah. Penggorengan yang intensif itu membuat konfigurasi keumatan dan kaum nasionalis secara umum terbelah.
Jika kita menatap dinamikanya, model atau strategi pemecahan itu terus digunakan. Dari dulu hingga kini, setidaknya dalam enam tahun terakhir. Secara detail, para elitis yang sudah terpapar virus komunisme selalu membenturkan muslim puritan versus muslim sekuler, atau kalangan muslim pragmatis yang haus al-fulus dan kekuasaan dengan anak-bangsa yang lebih mengedepankan kepentingan negara. Virus komunisme itu bukan hanya memunculkan gerakan praksis-infiltratif, tapi hembusan pemikiran destruktif bagi kepentingan umat. Proyek destruksi Islam di mana-mana, termasuk gerakan sistematis kriminalisasi dan diskriminasi hukum.
Jika kita cermati, gerakan pengacauan pemikiran itu, sejalan dengan existing media komunikasi modern, kian produktif dan relatif tak terkendali, bahkan sering menabrak rambu-rambu hukum. Meski sering memasuki wilayah pencemaran nama baik dan penodaan agama, para aktornya selalu terlindungi secara hukum. Itulah proteksi hukum selama enam tahun terakhir ini yang membuat upaya separatif kalangan komunis semakin tak terkendali.
Kedua, menguasai parlemen. Jauh sebelum tragedi 1965, kalangan komunis selalu support Kabinet Ali Sostroamidjoyo yang memang lebih dekat dengan pandangan kaum komunis, sehingga relatif bertahan, meski banyak gonjang-ganjing. Pasca pemilu 1955, peraih suara keempat terbesar setelah PNI, Masyumi dan NU, PKI makin leluasa dalam mempengaruhi parlemen dan akhirnya terus mempengaruhi kekuasaan Soakarno.
Presiden pertama RI ini, sekali lagi, karena pengaruh para elitis PKI, begitu tega mendzalimi (memenjarakan tanpa proses hukum) para tokoh umat dan nasionalis, termasuk membubarkan HMI dan Partai Masyumi. Dan jauh setelah tragedi 1965, kalangan komunis, setidaknya keluarga besar keturunan PKI, berusaha memasuki partai-partai besar. Arahnya untuk memasuki parlemen dalam jumlah besar. Agar bisa mempengaruhi proses politik di tengah parlemen.
Targetnya bukan hanya sekedar mempengaruhi proses legislasi yang bersentuhan langsung pada kepentingan komunis, tapi juga merancang-bangun produk legislasi yang benar-benar satu nafas dengan komunisme. Hal ini dapat kita saksikan mengapa produk legislasi kian mengarah pada episentrum komunisme. Dalam hal ini kita saksikan desakan pengubahan TAP MPR No. XXV Tahun 1966, mendesak Pemerintah untuk meminta maaf kepada keluarga besar PKI, RUU antagonis seperti RUU HIP/PIP yang jelas-jelas mereduksi Pancasila dan masih banyak desain legislasi yang sejatinya menterjemahkan kepentingan politik komunis.