Neokomunis Indonesia: Fatamargona?
Jika kita zoom lebih besar, landasan pemikiran RUU HIP/PIP menampak jelas filosofinya. Target utama pembonsaian Pancasila menjadi trisila dan ekasila sesungguhnya merupakan upaya mereduksi bahkan membelokkan pemahaman keyakian kebertuhanan. Agama dilihat dan diyakini sebagai produk budaya. Konsekuensinya, pemahaman ini menggiring persoalan keagamaan ditentukan oleh cara pandang dan sikap manusia.
Jika kita tengok filsafat eksitensialis Friedrich Nietzche, cara pandang keagamaan itu sejatinya meniadakan keberadaan Tuhan (Allah). Karena itu, pandangan pembudayaan agama itu sesungguhnya pandangan atheis. Dan memang, Nietzche terkategori sang pelopor pemikiran atheisme atau nihilisme agama. Pandangan peniadaan Tuhan inilah yang diperjuangkan sejumlah kader partai politik di parlemen, baik sebagai inisiator ataupun komprador dalam bentuk persetujuan RUU HIP/PIP.
Ketiga, menggalang kekuatan pendukung. Strategi awalnya, saat posisi masih lemah, para ideolog komunis itu memposisikan diri di tengah. Tapi, ketika posisinya kuat di berbagai lini (di pemerintahan, TNI, lembaga-lembaga BUMN dan organisasi-organisasi sosial penekan), mereka terus merangsak dengan agitasi terang-terangan. Menantang dan cukup vulgar.
Jika kita tatap ke lapangan, kita saksikan dalam wajah-wajah yang bangga dan tak sedikitpun punya rasa takut apalagi bersalah ketika mengenakan kaos-kaos berlambang Palu-Arit, membuat halte-halte yang berlogo Palu-Arit, atau mengibarkan bendera Palu-Arit di bumi Nusantara ini.
Di antara kader partai penguasa ini mendesak untuk mencopot sang panglima TNI (Gatot Nurmantyo) hanya karena memaksa memutar film G 30 S PKI untuk ditonton rakyat. Sebagai kewaspadaan nasional agar tidak terulang lagi tragadi kemanusiaan yang memilikkan. Juga, karena mantan Panglima TNI itu membocorkan sekitar 5.000 pucuk senjata “selundupan” bukan untuk TNI.
Ketiga strategi itu menggambarkan, manusia komunis Indonesia tak henti untuk berkuasa. Pasca peristiwa 1948, memang ada pengejaran. Tokoh sentralnya (Muso) tewas. Tapi, sebagai organisasi, PKI tak dilarang. Sejarah mencatat, pembiaran secara politis, membuat para antek komunis terus menyusun kekuatan dengan memasuki sejumlah angkatan. Dan tragedi 1965 dan perilaku politik beberapa tahun sebelumnya merupakan buah nyata dari kebijakan pembiaran komunisme itu.
Memang, pasca G 30 S/PKI 1965, kaum komunis tiarap. Tapi, data bicara. Kaum komunis dengan gerakan bawah tanahnya terus menyusun kekuatan strategis. Meski ada penelitian khusus (litsus) ketat, ternyata di antara mereka berhasil masuk ke berbagai ranah strategis, di antaranya, dunia pendidikan dan organisasi-organisasi sosial, profesi, termasuk partai politik. Kini, kita saksikan, perjuangan panjang keluarga besar PKI kini menunjukkan busung dadanya dengan tegap. Seraya menantang dan ingin membalas dendam kepada siapapun.
Dari analisis ketiga strategi itu, maka kita dapat menggaris-bawahi bahwa, kondisi komunis di berbagai negara tidak bisa dijadikan banch mark untuk menatap komunis di Tanah Air ini, lalu berkesimpulan neokomunis Indonesia tiada. Fakta hari ini, neokomunis Indonesia bukan fatamorgana atau hantu, tapi sungguh nyata. Dapat kita saksikan bersama dalam beragam panorama kebijakan, sejumlah agitasi massif yang terus menantang umat dan barisan nasionalis. Gerakannya pun terus terback up.
Juga, kita saksikan panorama kriminalisasi dan persekusi, bahkan kini selalu menghantui umat karena gerakan terencana penculikan dan pembunuhan di berbagai arena peribadahan (masjid). Beberapa pekan lalu, terjadi pembunuhan, setidaknya percobaan pembunuhan terhadap dai dan imam masjid.
Jadi, sungguh naif, realitas sosial yang kini cukup mencekam itu dipandang sebelah mata. Memang, sebagai nama partai politik yang secara eksplisit menggunakan nama partai komunis tak ada. Tapi, nafas dan darahnya menampak jelas pada sejumlah partai politik, bahkan lembaga pemerintahan. Semua itu dapat kita baca pada perilaku politik dan outputnya: kebijakan yang terus paradoks dengan dasar negara dan konstitusi.
Sebagai generasi penerus dan pewaris sah negeri ini, para kader Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) sepakat bahkan meyakini bahwa, kebangkitan neokomunis di Tanah ini nyata, bukan fatamorgana. Karena itu, tak ada kata lain kecuali harus waspada atas gerakan bawah tanah yang kini kian mengemuka dan sangat terang-terangan. Tak ada lagi rasa takut, apalagi malu. Inilah sikap politik-ideologis PANDAI yang secara tegas dan terang-terangan perlu ditunjukkan kepada publik Tanah Air tercinta ini. Bukan mencari simpati atau empati. Tapi, sebagai anak bangsa memang harus tunjukkan sikap jatidiri dan peran anti neokomunis itu.
Oleh: Farhat Abbas
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)