Putusan Hakim MK soal UU Minerba Dinilai Sangat Kontroversial??
Abadikini.com, JAKARTA – Ditolaknya uji formil Undang-undang No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/10/2021) kemarin dinilai sangat kontroversial.
Meskipun Judicial Review (JR) itu ditolak oleh MK, terdapat tiga hakim yang dissenting opinion atau beda pendapat dari hakim yang menolak.
“Pengujian formil ditolak, tapi ada tiga hakim yang dissenting opinion,” ungkap Ahmad Redi salah satu tim pengacara pemohon dilansir dari CNBC, Jumat (29/10/2021).
Menurut Ahmad Redi ada Tiga hakim yaitu, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo agar JR tersebut dikabulkan.
“Enam hakim lain menyatakan bahwa permohonan ditolak,” ungkapnya.
Gugatan UU No.3 tahun 2020 tentang Minerba ini berjalan cukup panjang, mencapai lebih dari setahun lamanya sejak gugatan diajukan. Seperti diketahui, DPR RI telah menyetujui UU Minerba ini dalam Sidang Paripurna DPR pada 12 Mei 2021.
Lalu, pada 10 Juni 2020 Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengesahkan UU No.3 tahun 2020 ini dan akhirnya UU Minerba ini berlaku sejak tanggal diundangkan pada tanggal yang sama, 10 Juni 2020.
Tepat satu bulan setelah disahkan menjadi Undang-Undang, beberapa pihak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun para Pemohon yang akan mengajukan Permohonan Pengujian UU No.3 Tahun 2020 untuk pertama kali ke MK yaitu:
- Dr. H. Erzaldi Rosman Djohan, S.E (Gubernur Kepulauan Bangka Belitung)
- Dr. H. Alirman Sori, S.H (Ketua PPUU DPD RI)
- Tamsil Linrung (anggota DPD RI)
- Dr. Hamdan Zoelva, S.H (Perkumpulan Serikat Islam)
- Dr. Marwan Batubara (IRESS)
- Ir. Budi Santoso (IMW)
- Ilham Rifki Nurfajar (Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan)
- M. Andrean Saefudin (Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia).
Putusan MK Soal UU Minerba Dinilai Kontroversial
Salah pemohon JR, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan mengatakan uji formil ini perlu karena pihaknya sebagai pemerintah daerah merasa tidak pernah diajak untuk berkonsultasi dalam penyusunan Undang-Undang ini.
“Intinya kami dari pemerintah daerah mengajukan uji formil ini semata-mata kami ingin daerah itu dilibatkan dalam menyusun UU karena ini perlu urusan sumber daya alam ini sangat-sangat sensitif,” ungkapnya, Jumat (10/7/2020).
Menurutnya, ada satu pasal yang membuat kreativitas pemerintah daerah akan sangat terkekang. Saat ini Bangka Belitung sedang bertransformasi dari pertambangan ke pariwisata.
Lebih lanjut ia mengatakan jika sudah melakukan perubahan transformasi untuk daerah sendiri kaitannya dengan tata ruang juga harus dilakukan perubahan.
“Saya ambil contoh pasal 35 mengenai tata ruang, tata ruang itu kata-katanya pemerintah daerah menjamin tidak merubah tata ruangnya untuk pertambangan. Waktu kita mengesahkan Perda RZWP-3-K tata ruang laut karena di laut pun ada pertambangan sehingga konflik dengan masyarakat nelayan konflik dengan masyarakat pesisir sangat tinggi menyusun Perda itu pun butuh waktu 4 tahun, terlebih lagi ketika kami mempunyai visi dan misi mentransformasi mining ke tourism,” jelasnya.
Meski gugatan sudah diajukan sejak Juli 2020, namun proses sidang sempat tertunda berkali-kali, terutama karena adanya sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Ahmad Redi, salah satu tim pengacara penggugat UU Minerba mengatakan sidang sudah beberapa kali digelar, namun sidang UU Minerba ini dia sebut tidak menjadi prioritas oleh MK.
Menurutnya, MK lebih memprioritaskan pemeriksaan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibandingkan permohonan pengujian UU Minerba. Padahal, imbuhnya, pengujian UU Minerba telah terlebih dahulu didaftarkan dan diperiksa dalam persidangan oleh MK.
“Namun, ini justru dikesampingkan dengan mendahulukan perkara lain. MK menunda sampai batas waktu yang tidak jelas,” ungkapnya, Selasa (05/01/2021) lalu.
Redi berpendangan langkah penundaan yang diambil MK tidak sesuai dengan etika administrasi, yakni pertama datang, pertama dilayani. Redi menyebut UU Minerba ini adalah UU yang penting untuk segera diberikan kepastian konstitusinya.
“Selain itu, permohonan putusan sela ke MK agar pemberlakuan UU Minerba ditunda dulu oleh Presiden juga tidak jelas, padahal ada kepentingan konstitusionalitas warga negara dalam permohonan putusan sela ini,” tegasnya.
Secara pribadi, Redi berpandangan bahwa manajemen perkara dan pemenuhan kebutuhan hukum atas hak konstitusional warga negara di MK tidak jelas.
“Ada penegasian kepentingan hukum warga negara lain dengan memberi prioritas pada perkara lain,” sesalnya.
Seperti diketahui MK dalam menjalankan putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).