LaNyalla Mahmud Mattalitti Sebut Sistem Tata Negara Indonesia Tak Sesuai DNA Bangsa
Abadikini.com, MEMPAWAH – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai sistem tata negara di Indonesia, sudah tidak sesuai dengan DNA sejarah lahirnya bangsa. Karena, partai politik yang datang belakangan dalam proses lahirnya negara, justru berperan penuh dalam menentukan wajah dan arah bangsa.
“Sementara Kerajaan dan Kesultanan Nusantara yang sumbangsihnya besar bagi negeri ini, malah tidak mempunyai peran sama sekali. Bahkan seperti terpinggirkan dan tidak dihargai,” kata LaNyalla saat berkunjung ke Kerajaan Panembahan Mempawah, Kalimantan Barat, Sabtu (30/10/2021).
Pada kesempatan itu Ketua DPD RI didampingi Senator Erlinawati dan Sukiryanto (Kalbar), Andi Muhammad Ihsan (Sulsel) dan Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifuddin. Turut hadir Ketua Tim Pokja Kerajaan Nusantara Yurisman Star dan Sekjen MAKN, Raden Ayu Yani Wage Sulistyowati Keoswodidjoyo.
Sementara dari Kerajaan Panembahan Mempawah dihadiri langsung oleh YAM Raja Mempawah XIII Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, Karaeng To Manuru Patileka Patikenag I Lagaligo beserta pangeran dan staf Kerajaan.
LaNyalla melanjutkan, DPD RI akan terus menyuarakan posisi Kerajaan dan Kesultanan Nusantara dalam lahirnya negara ini, agar ada perhatian dari publik, juga pemerintah. Menurut LaNyalla, hanya bangsa yang besar yang mampu menghargai sejarah kelahirannya.
“Saya sengaja terus keliling dan menyampaikan tentang hal ini kepada semua elemen bangsa. Karena fakta yang terjadi, entitas civil society yang berjasa besar dalam proses lahirnya bangsa, ternyata tidak bisa terlibat dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini,” jelasnya.
Senator asal Jawa Timur itu menilai, kondisi ini terjadi sejak Amandemen Konstitusi 4 tahap di tahun 1999 hingga 2002.
Amandemen itu membuat partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusulkan calon pemimpin bangsa. Lebih spesifik lagi, hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI bersama Pemerintah yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga bangsa.
“Inilah situasi paradoksal yang terjadi setelah Amandemen saat itu. Padahal sebelum dilakukan Amandemen, UUD 1945 naskah asli memberi ruang kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan dengan porsi yang sama dengan anggota DPR RI yang merupakan representasi Partai Politik,” paparnya.
Dalam kesempatan itu LaNyalla juga menyampaikan tonggak-tonggak sejarah kelahiran bangsa ini. Dari era perlawanan Cut Nyak Dien terhadap Belanda, hingga perang Diponegoro. Kemudian era Kerajaan dan Kesultanan Nusantara dimana tercatat juga sejumlah perlawanan kepada V.O.C di masa itu.
LaNyalla mencontohkan pertempuran melawan Belanda di Bali yang melibatkan kerajaan Buleleng, Karang Asem dan Klungkung. Kerajaan Mataram di Era Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. Begitu juga perlawanan Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar, Banten, Riau, Maluku, Aceh, dan banyak lagi.
“Meski tidak semua mencatat kemenangan, tetapi secara hakekat, perlawanan-perlawanan itu menjadi spirit dalam melahirkan pejuang-pejuang kemerdekaan di Nusantara ini,” jelasnya.
Dilanjutkan LaNyalla, selain perlawanan kepada VOC, Kerajaan dan Kesultanan Nusantara juga memberi sumbangsih terhadap penyebaran Islam di
Nusantara. Salah satunya adalah sumbangsih Kerajaan Mempawah, yang memiliki kaitan dengan Kerajaan Luwu, kerajaan tertua di Sulawesi.
Kerajaan Luwu merupakan kerajaan pertama yang menerima agama Islam yang disyiarkan ulama masyhur asal Pulau Sumatera. Yang kemudian mempengaruhi sistem pemerintahan Kesultanan Mempawah yang memadukan hukum adat dan hukum Islam.
“Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara besar lahir dari sebuah peradaban yang besar dan unggul yaitu peradaban Kerajaan dan Kesultanan Nusantara. Dari merekalah kita mewarisi
banyak tradisi dan nilai-nilai luhur,” papar mantan Ketua Umum PSSI itu.
Dengan alasan itu, sudah seharusnya Kerajaan dan Kesultanan Nusantara diajak dan diberi peran dalam pembangunan bangsa.
Untuk itu, DPD RI terus menggelorakan rencana Amandemen perubahan ke-5 untuk mengembalikan hak kalangan non parpol sehingga bisa ikut menentukan wajah dan arah perjalanan Indonesia ke depan. (*)