Lembaga Fatwa dan Label Halal
Oleh : Zulfi Syukur, Ketum Dapur Da'i Nusantara (DAINA)
Abadikini.com – Bismillah. Berkenaan dengan semakin menajamnya perbedaan pendapat di kalangan masyarakat tentang soal label halal, dimana pemerintah dalam hal ini kementerian Agama telah mengambil alih peran dan tugas Kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menetapkan kehalalan produk yang diatur di Pasal 76 Peraturan Pemerintah 39/2021 tentang Pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal. Dalam pasal itu disebutkan bahwa penetapan kehalalan produk dilaksanakan oleh MUI melalui sidang fatwa halal.
Seperti diketahui, BPJPH Kemenag telah menetapkan label halal Indonesia berlaku secara nasional per 1 Maret 2022. Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal yang diteken di Jakarta pada 10 Februari 2022.
Menag Yaqut mengatakan, mengacu pada undang-undang disebutkan bahwa sertifikasi halal diselenggarakan oleh pemerintah dan bukan organisasi kemasyarakatan (Ormas).
“Sertifikasi halal, sebagaimana ketentuan Undang-undang, diselenggarakan oleh pemerintah, bukan lagi Ormas,” katanya.
Manakala kita ingin membuka dalam catatan sejarah dan membuka kembali kronologis awal terbentuk Lembaga Fatwa MUI ini, kita harus merujuk kepada Musyawarah Alim Ulama se Indonesia tahun 1970 silam. Pelaksana Musyawarah dimaksud dilaksanakan oleh Pusat Da’wah Islam Indonesia, dan pusat Da’wah ini dibentuk dengan surat Keputusan Menteri Agama RI no. 108 tahun 1969,tertanggal 4 September 1969,dan kemudian diresmikan oleh Menteri Agama tanggal 8 September 1969 di gedung Fakultas Ushuluddin IAIN Sjarif Hidajatullah Jakarta.
Atas prakarsa Pusat Da’wah Islam Indonesia Musyawarah alim ulama se- Indonesia ini dilaksanakan dari tanggal 30 September 1970 sampai dengan tanggal 4 Oktober 1970 di Jakarta. Yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat sejak dari kalangan birokrasi, perutusan Ulama Ulama dari propinsi seluruh Indonesia, dari Ormas Ormas dan Orpol tingkat pusat, pusroh AU, POLRI, ALRI dan AD, termasuk person dan para intelektual/professional, yang berjumlah sebanyak 121 orang peserta.
Dalam acara Musyawarah Ulama tersebut disamping ada sambutan dari Pusat Da’wah Islam Indonesia, Letdjen H. Soedirman, ada juga sambutan Gubernur Kepala Daerah Khusus DKI Jakarta Ali Sadikin, sambutan penutupan Musyawarah Alim Ulama oleh Presiden Republik Indonesia, Djendral TNI Soeharto, Menteri Agama RI, K.H.M Dachlan dan H. Alamsjah, Sekneg RI.
Diantara keputusan penting dari hasil Musyawarah Alim Ulama tersebut, yang dipimpin oleh Menteri Agama RI, K.H.M.Dahlan adalah disetujuinya supaya dibentuk Lembaga Fatwa Ulama, dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pusat Da’wah Islam Indonesia.
Dalam paparan dan bahasan tentang pembentukan Lembaga Fatwa ini, Prof.K.H.Ibrahim Hosen menguraikan beberapa persoalan yang prinsip _apa yang dimaksud dengan Lembaga Fatwa._
Yang dimaksud dengan Lembaga Fatwa menurut KH. IBRAHIM HOSEN terlebih dahulu ditegaskan tentang pemakaian istilah hukum dalam uraian ini. Pengertian Hukum menurut istilah Ushul Fiqh ialah apa yang dikenal dengan al-ahkamul chamsah yakni hukum taklifi. Untuk menetapkan sesuatu kedalam salah satu dari al-ahkamul chamsah itu biasanya melalui salah satu dari dua jalan:
a. Dengan jalan berfatwa, sebagaimana dilakukan oleh para ‘Ulama atau Mufti.
b. Dengan jalan menghukum sebagaimana yang dilakukan oleh hakim atau qadli.
Kedua jalan ini berlainan fungsinya meskipun hakekatnya tidak berbeda,yaitu menetapkan salah satu hukum dari al-ahkamul chamsah. Fungsi Fatwa menetapkan hukum terhadap sesuatu masalah tanpa ada sangsi. Atau dengan kata lain berfatwa adalah menetapkan hukum sesuatu dengan tidak memberikan tekanan kepada sipelakunya.
Fungsi Hukum(menurut bahasa) adalah menetapkan sesuatu (hukum taklifi) terhadap satu perbuatan dengan memberikan tekanan kepada sipelakunya. Yang berwenang mengeluarkan hukum ialah hakim atau qadli, baik yang diangkat oleh pemerintah atau yang ditunjuk.
Dari keterangan diatas jelas ada perbedaan besar antara hukum dan Fatwa dan kalau dirinci adalah sebagai berikut :
1. Fatwa dapat dikeluarkan oleh siapa saja asal memenuhi syarat syaratnya, sedangkan hukum hanya ditetapkan oleh hakim, baik yang diangkat oleh pemerintah ataupun yang ditunjuk.
2. Orang yang menerima Fatwa keadaannya tidak terikat, yakni tidak mesti mematuhi apa yang difatwakan. Dia bebas meminta Fatwa dari fihak lain, sebagaimana dia juga bebas untuk memilih Fatwa mana yang akan dipakainya. Sedangkan orang yang meminta dihukumi terikat untuk melaksanakan hukum yang diterimanya itu. Tegasnya, ia wajib mematuhi ketetapan ketetapan hukum dari si Hakim, baik Hakim yang diangkat oleh penguasa/pemerintah atau fihak yang ditunjuk.
3. Ketetapan yang berstatus Fatwa adalah bersifat umum, yang tidak hanya berlaku bagi mereka yang menerima Fatwa itu saja. Sedangkan ketetapan yang berstatus hukum adalah khusus. Sesuatu hukum tidak dapat mengenai orang lain karena masalahnya khusus atau berlainan. Tegasnya, hukum adalah ketetapan khusus mengenai tingkah laku manusia tertentu dalam situasi tertentu pula. Sedangkan ketetapan yang berbentuk Fatwa dari seorang ‘Ulama sifatnya umum yang oleh karenanya dia tidak mengikat.
Selanjutnya Prof. KH. Ibrahim Hosen jelaskan dalam paparannya sebagai narasumber di Musyawarah Ulama itu, tentang *pembentukan Lembaga Fatwa*, bahwa istilah hukum(menurut pengertian bahasa) tidak boleh digunakan untuk masalah yang berhubungan dengan ibadat, sedangkan Fatwa digunakan untuk segala macam masalah Fiqh.
Dari tulisan diatas, kita bisa mendapatkan gambaran seperti apa solusi dan pelajaran yang kita bisa ambil dari perbedaan dan kongkuren yang terjadi antara MUI dan Kementerian Agama sekarang sekarang ini, kita menghormati pendapat masyarakat ada yang setuju dengan kebijakan pemerintah mengambil alih tugas MUI dalam penetapan fatwa halal dimasud, dan ada juga yang tidak setuju bahwa supaya tetap dilaksanakan atas nama MUI, karena sudah baku dan mapan mekanisme yang telah berjalan selama ini.
Dari persoalan diatas, kemudian mengingat embrio kelahiran PUSAT DAKWAH ISLAM INDONESIA pada tahun 1970 dan gagasan pendirian MUI adalah dari pihak pemerintah sendiri. Dan alhamdulillah dalam kurun waktu 45 tahun lebih itu telah banyak putusan yang strategis yang mengandung maslahah bagi bangsa dan Umat Islam Indonesia, bahkan sampai kemanca negara.
Maka sejatinya hendaklah kerjasama itu diteruskan bahkan munkin akan lebih efektif dimana wewenang pemerintah lebih dominan. Tinggal barangkali SDM, para ahli sains dan ahli agama yang diatur ulang mekanismenya, bisa dibawah kementerian Agama dengan mekanisme yang baru. Atau tetap fatwa Halal melalui MUI namun kebijakan(domain) tetep ditangan pemerintah dalam hal ini kementerian Agama.
Wallahu’alam.
Oleh : Zulfi Syukur (Ketum DAINA)
Jakarta, 19 Maret 2022.