Disintegrasi Perekonomian Terjadi di Daerah Akibat Tak Serius Garap Keunggulan Bangsa di Sektor Maritim
Abadikini.com, JAKARTA – Ekonom senior, Faisal Basri, menilai telah terjadi disintegrasi perekonomian di daerah karena Indonesia tidak mengeksploitasi keunggulannya di bidang maritim.
Demikian disampaikan Faisal Basri dalam Executive Brief bertema ‘Perekonomian Negara Kesejahteraan Pasal 33 Ayat 1,2 dan 3’ yang dibuka Ketua DPR RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, di Jakarta, Sabtu (7/5/2022).
Selain Faisal Basri, hadir pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy dan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) dan analis kebijakan DPD RI Reydonnyzar Moenek yang bertindak sebagai moderator.
Ketua DPD RI didampingi anggota DPD RI dari Sulawesi Selatan Tamsil Linrung, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, Sekjen DPD RI Rahman Hadi, Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir, dan Kepala Biro Sekretariat Pimpinan DPD RI Sanherif Hutagaol.
Menurut Faisal Basri, di saat negara lain mengeksploitasi keunggulannya untuk memajukan perekonomian, Indonesia justru mencampakkan keunggulan yang dimiliki.
“Awal naik di tahun 2014 konsep Jokowi bagus. Gagasannya baru. Kita tak boleh lagi memunggungi laut, Indonesia harus menjadi poros maritim dunia. Itu tepat menurut saya. Tapi apa yang terjadi sekarang, semua bertolak belakang,” ujar Faisal Basri.
Dikatakannya tidak ada satu negara pun yang kondisi geografisnya mendekati Indonesia. Terdiri dari lebih 17 ribu pulau dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia. Keunggulan tersebut tidak dimaksimalkan.
“Kita secara tidak sadar mengikuti mainstream yang bukan identitas kita. Ilmu kontinental sementara basisnya kepulauan. Tentu model seperti Eropa, China dan Amerika itu tidak cocok diterapkan di Indonesia,” tegasnya.
Seharusnya, lanjut Faisal, Indonesia tidak boleh melupakan sejarah. Dimana kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit bertumpu pada kekuatan laut yang tak dimiliki negara lain.
“Faktanya apa yang mereka katakan beda dengan apa yang dilakukan. Sektor transportasi laut perannya turun terus. Harusnya ini yang diperkuat. Yang dibangun justru tol di darat, yang sebenarnya memerlukan cost tinggi. Ongkos transportasi darat itu 10 kali lebih besar daripada laut. Karena harus bebaskan lahan, material pembangunan dan lain-lain,” ujarnya.
Artinya bangsa ini semakin jauh dari jati diri kita sebagai negara maritim. Oleh karena itu kalau kondisi tersebut dibiarkan, dampaknya ekonomi Indonesia akan turun terus.
“Kenapa demikian? Syarat untuk menyejahterakan rakyat di negara ini seharusnya dengan merajut pulau ini, sambung-menyambung lewat laut. Laut bukan memisahkan pulau tapi merajut menjadi zamrud khatulistiwa. Itu yang hilang di era Jokowi karena tol darat melulu. Daerah semakin jauh dari pusat gravitasi sehingga disintegrasi perekonomian daerah. Daerah menjadi tidak bersatu sebab dalam ekonomi kelembagaan ada kendala yang mempersatukan yakni ongkos angkut,” ujar dia.
Faisal Basri mencontohkan ongkos angkut Jakarta-Papua tiga kali lebih mahal daripada Jakarta ke Shanghai. Jakarta ke Medan lebih mahal dua kali ketimbang Jakarta ke Singapura.
“Indonesia terintegrasi dengan dunia tapi tidak dengan daerahnya,” lanjut dia.
Dalam kasus ekspor-impor, dikatakan Faisal, sekitar 10 milyar USD habis setiap tahun. Inilah yang memicu terjadinya apa yang disebut net resources outflow dari daerah.
“Diambillah kekayaan dari daerah oleh makhluk oligarki yang domisilinya di Jawa. Proses pemiskinan daerah terjadi. Kompensasinya yang namanya bagi hasil, transfer dana ke daerah, dana desa, tetapi cuma kira-kira 10 persen dari total resources. Diambil 1000 yang balik cuma 100. Penerimaan negara yang diambil pemerintah pusat 2000 triliun, tetapi penerimaan provinsi hanya 200 triliun. Sangat timpang,” tukas dia.
Hal ini menunjukkan bukan pembangunan daerah, tapi pembangunan di daerah yang diatur pusat. Daerah tak punya kemampuan fiskal. Seluruh sumber pajak diambil pusat. Daerah tidak mendapatkan apa-apa kecuali jalan rusak, rakyat miskin dan penderitaan lainnya.
“Itu yang kita gugat pada reformasi. Maka penguatan ekonomi daerah menjadi agenda reformasi,” tuturnya.
Karena kalau model pembangunan yang searah dari pusat, tumpullah kebijakan ekonomi nasional untuk memberdayakan dan menyejahterakan daerah.
Begitu juga saat reformasi lahirlah DPD RI sebagai bentuk penguatan daerah dengan ada wakil. Tetapi yang terjadi kemudian DPD RI menjadi ancaman dalam struktur politik di Indonesia sehingga DPD RI dipinggirkan terus. Tak ada action plan yang membuat DPD RI bergigi mewujudkan kedaulatan daerah.
Dalam kesempatan itu Faisal juga menyarankan harus ada desain baru ekonomi indonesia. Ekonomi Indonesia menurutnya harus bertransformasi. Kalau tidak, pertumbuhan ekonomi negara ini akan terus menurun.
“Kecuali Jokowi insyaf, sadar akan kekeliruannya kemudian bertobat dan akan membuat konsep transformasi ekonomi Indonesia karena tak bisa menggunakan konsep yang sekarang,” papar dia.
Kalau hal itu tidak juga dilakukan, Faisal Basri menilai Indonesia akan menjadi negara gagal atau terperosok ke dalam negara middle income trap.
“Bappenas itu bilang kalau 2036 Indonesia akan jadi negara maju, melihat fakta yang ada mereka menunda katanya bisa maju di tahun 2043. Tapi kalau tidak dilakukan pembenahan besar bagaimana kita bisa menyusul Malaysia dan Filipina. Saya bilang mimpi. Jangan-jangan kita disusul Vietnam. Kita hanya lebih baik dari Laos,” ujarnya.(***)