Pendidikan di Era Otonomi Khusus Papua, Sebuah Catatan Senator
Abadikini.com – Tak ada yang menyangkal jika mendengar kata Papua, imaginasi yang muncul adalah alam yang kaya dan alam yang indah. Papua juga merupakan wilayah terluas di Indonesia yang saat ini telah resmi menjadi 5 provinsi.
Tapi, saya tak perlu membahas banyak soal SDA tersebut. Kali ini, izinkan saya membangunkan kembali mata dan nurani kita tentang apa yang terjadi dengan SDM-nya.
Sejak disahkan, UU Otonomi Khusus Papua menetapkan bahwa besaran dana Otsus 30% wajib disalurkan untuk Pendidikan. Namun, kita perlu tahu bahwa di tanah Papua, masih ada kabupaten yang Rata-Rata Lama Sekolah sekitar 5 tahun atau setara dengan kelas 5 SD dan bahkan masih ada yang selama 1 tahun atau setara dengan kelas 1 SD.
Berikut data BPS 2020-2021; Provinsi Papua: Kabupaten Jayawijaya (5,51), Paniai (4,57), Puncak Jaya (3,62), Asmat (4,94), Yahukimo (4,26), Pegunungan Bintang (2,81), Tolikara (3,64), Mamberamo Raya (5,66), Nduga (1,13), Lanny Jaya (3,20), Mamberamo Tengah (3,15), Yalimo (2,79), Puncak (2,15), Dogiyai (4,93), Intan Jaya (2,84), Deiyai (3,01). Sementara di Papua Barat, Tambrauw (5,24) dan Pegunungan Arfak (5,12).
Sadarkah kita bahwa masih ada saudara-saudara kita yang rata-rata hanya lulus kelas 1 di Nduga , kelas 2 di Kab. Puncak , 3 dan kelas 4 SD di kabupaten lain setelah 76 tahun Indonesia merdeka? Berapa triliun dana yang telah mengalir tapi bertahun-tahun nir perkembangan tanpa solusi yang memadai dari kita bersama?
Data yang berhasil diperoleh dari Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (DJPK Kemenkeu) menunjukkan bahwa, pengeluaran pendidikan yang bersumber dari penerimaan DOK terus meningkat dari Tahun 2002 sebesar Rp414,69 milyar menjadi Rp2,39 triliun di Tahun 2020 atau naik sebesar Rp1,98 triliun. Dengan demikian, sampai dengan Tahun 2020, Pemerintah Provinsi Papua telah membelanjakan Rp22,71 triliun untuk penyelenggaraan pelayanan pendidikan di Papua.
Namun, kita semua juga tahu, konsekuensi rendahnya RLS di Papua, menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Tentu setali tiga uang, kemiskinan juga akan mengikutinya.
Karena itu, kebohongan-kebohongan yang kita pertontonkan tentang kesejahteraan Papua agaknya harus segera kita akhiri. Lebih baik menunjukkan realitas yang menyakitkan, daripada menampilkan keelokan namun imaginasi.
Saatnya melihatnya persoalan lebih dekat. Misalnya, permasalahan pendidikan di Papua yang juga dikarenakan distribusi tenaga pendidik yang tidak merata antar sekolah dalam satu wilayah dan antar wilayah. Akibatnya memunculkan permasalahan kekurangan guru, serta tingkat ketidakhadiran guru kelas relatif tinggi dan diatas rata-rata Nasional (ACDP, 2014). Studi pemanfaatan dana Otsus di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dilakukan oleh Siddik dkk. (2018), juga menunjukkan bahwa rata-rata rasio murid terhadap guru sekolah tingkat SD/sederajat yaitu 1:35, dan telah melebihi rasio ideal sesuai dengan aturan Pemerintah yaitu 1:20.
Konsekuensi dari rasio guru terhadap murid yang terlalu tinggi, serta tingginya tingkat ketidakhadiran guru kelas, dapat mengurangi efektivitas proses pembelajaran dan rendahnya mutu hasil belajar siswa. Keterbatasan mutu hasil belajar siswa, menyebabkan anak usia sekolah dalam rumah tangga tidak dapat memanfaatkan layanan pendidikan dengan kualitas baik, sehingga dapat menurunkan capaian pendidikan.
Sementara dari aspek pengelolaan, pengawasan dan pemantauan Pemerintah Pusat yang terbatas, membatasi insentif Pemerintah Daerah di Papua dalam menentukan belanja penyediaan barang publik di bidang Pendidikan. Sedikit catatan ini hanya sekelumit persoalan Pendidikan di Tanah Papua.
Di bulan masuknya anak-anak sekolah ini, sudahkah kita mendengar keluhan masyarakat yang menyatakan mahalnya biaya PPDB (Pendidikan Peserta Didik Baru) di tanah Papua? Semoga catatan ini, membuka kembali mata kita tentang fakta yang dihadapi saudara-saudara kita di Timur Indonesia.
Oleh: Senator DPD RI asal Papua Barat Filep Wamafma