Kriminalisasi Politik dan Hukum di Papua? Begini Kata Filep Wamafma
Abadikini.com, JAKARTA – Peristiwa penetapan status tersangka terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup mengejutkan masyarakat Papua. Pasalnya, Gubernur Enembe selama ini dikenal tegas dan berani menyuarakan aspirasi masyarakat Papua kini terjerat dugaan kasus korupsi yang disebutkan mencapai ratusan miliar.
Selain Lukas Enembe, KPK juga telah menetapkan Bupati Mimika Eltinus Omaleng dan Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak sebagai tersangka. Eltinus Omaleng menjadi tersangka korupsi terkait pembangunan Gereja Kingmi Mile 32, sedangkan Ricky Ham Pagawak diduga berkaitan dengan gratifikasi.
Terkait kejadian ini, pimpinan Komite I DPD RI Filep Wamafma memberikan pandangannya. Menurut Filep, perlu ada pendalaman lebih jauh untuk memastikan apakah persoalan itu telah memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi.
“KPK tentu saja secara formal prosedural menyampaikan bahwa penetapan tersangka atas ketiga kepala daerah di Papua itu sudah sesuai dengan kecukupan alat bukti sebagaimana ditegaskan dalam KUHAP dan UU Tipikor. Akan tetapi, apakah persoalannya sebatas hal formal tersebut? Dalam konteks hukum pidana, pencarian kebenaran materil merupakan hal utama. Semua alat bukti yang dikumpulkan, semata-mata bertujuan untuk membuka secara terang-benderang peristiwa pidana yang terjadi,” terang Filep, Selasa (20/9/2022).
Filep menekankan, aspek transparansi dalam penyelidikan dan penyidikan adalah hal yang sangat penting untuk dipegang oleh KPK. Menurutnya, adanya transparansi ini setidaknya dapat menghindari banyak pertanyaan masyarakat Papua terutama para konstituen kepala daerah ini tentang apakah kejadian itu murni penegakan hukum atau ada bumbu politik ataupun lain sebagainya.
“Pertanyaan ini cukup wajar, karena kejadian itu dilakukan dalam waktu yang berurutan. Dan juga, kejadian ini dekat dengan kasus pembunuhan disertai mutilasi di Mimika. Meskipun kasus ini telah diproses para pelakunya, namun pemikiran adanya pengalihan isu kasus Mimika ada dalam benak Orang Papua. Oleh sebab itu, transparansi adalah hal yang wajib dilakukan KPK ,” ungkapnya.
“Selain itu, masyarakat Papua juga tahu sepak terjang para pimpinan KPK dalam beberapa tahun terakhir ini nampak diselimuti ambiguitas. Buktinya, sidang kode etik pernah dilakukan terhadap pimpinannya. Akibatnya, ketidakpercayaan publik meningkat. Oleh karena hukum seolah sering dimainkan di wilayah politik, maka bukan tidak mungkin ada anasir politik dalam setiap tindakan KPK,” ujar Filep.
Lebih lanjut, Filep menyampaikan, pada Maret 2022, katadata menampilkan hasil survei Litbang Kompas yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja KPK. Sebanyak 34,3% responden mengaku tidak puas karena tidak optimalnya kinerja Dewan Pengawas KPK; 26,7% tidak puas karena ada penurunan jumlah operasi tangkap tangan (OTT).
Lalu, 18,7% responden menilai terlalu banyak kontroversi di tubuh KPK; 11,1% menilai citra pimpinan KPK buruk; 5,25% menilai KPK tidak transparan; 3,3% menilai kinerja KPK menurun; dan 0,4% menganggap KPK sudah tidak independen. Menurut Filep, lantaran alasan-alasan itulah maka tudingan tentang adanya kriminalisasi politik dan hukum di Papua mengiringi sejumlah kejadian yang terjadi belakangan ini.
Terlebih, lanjut senator Papua Barat ini, kondisi Papua hingga saat ini masih menghadapi beragam permasalahan yang kompleks. Mulai dari konflik vertikal dengan aparat, pemberontakan kelompok bersenjata, hingga pemekaran wilayah saat ini.
“Semuanya membuat hal-hal yang terjadi di Papua seperti laboratorium politik. Bila orang bertanya tentang perang, di Papua masih ada perang. Bila orang bertanya tentang kemiskinan, persoalan kesehatan, persoalan pendidikan, konflik masyarakat adat dan pemerintah, persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), dan peta politik Orang Papua dan masyarakat pendatang, semuanya ada di Papua,” katanya.
Oleh sebab itu, Filep berharap Papua tidak menjadi wahana bagi uji coba kebijakan yang justru menyebabkan Papua berjalan di tempat. Lempengan bumi yang kaya dan surga kecil yang jatuh ke bumi ini ternyata masih tetap miskin, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang memprihatinkan.
“Tanah Papua merindukan kedamaian, terutama ketenangan dari semua hiruk-pikuk intrik politik. Kedamaian itu seharusnya dimulai dari kepercayaan kepada para pemimpin Papua untuk membangun daerahnya. Pandangan ini tidak bermaksud mengkerdilkan upaya penegakan hukum. Jika bersalah, maka silakan dihukum sesuai aturan yang berlaku. Namun catatan-catatan menuju perbaikan tata kelola penegakan hukum juga harus diperhatikan secara serius, apalagi kini Papua sedang dimekarkan,” terang Filep.
“Selama penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM di Papua tidak dilakukan secara serius, maka upaya legitimasi penegakan hukum kasus korupsi di Papua bisa saja menuai cemoohan. Ya, semoga tidak ada pilah-pilih kasus untuk menciptakan bersihnya wibawa negara,” pungkasnya.