Senator Filep: Kontrak BP Tangguh Harus Tunduk pada UU Otsus!
Abadikini.com, JAKARTA – Perusahaan BP Tangguh dikabarkan telah meminta perpanjangan kontrak kerja sama berupa Production Sharing Contract/PSC minyak dan gas bumi (migas) kepada Pemerintah Indonesia terkait Proyek Kilang LNG Tangguh yang berada di Teluk Bintuni, Papua Barat.
Permintaan perpanjangan kontrak itu diajukan lebih awal lantaran perusahaan hendak mempertahankan produksi 3 train kilang LNG Tangguh melalui eksplorasi yang dipercepat. Padahal, kontrak tersebut baru akan berakhir pada 2035 mendatang.
Merespons hal ini, Anggota DPD RI, Filep Wamafma, meminta agar Pemerintah tidak secara langsung menerima permohonan tersebut. Menurutnya, pemerintah perlu mengkaji lebih dalam sebelum mengambil keputusan.
“Kita tahu bahwa pasca UU Cipta Kerja, ruang lingkup kewenangan daerah di bidang investasi menjadi pertanyaan. Apalagi jika itu sudah berkaitan dengan kebijakan strategis nasional. Tetapi sebagai wakil rakyat, saya meminta agar permohonan BP Tangguh tersebut harus memperhatikan aspek-aspek krusial dalam investasi,” kata Filep, Jumat (18/11/2022).
Senator Papua Barat ini menegaskan bahwa salah satu aspek krusial dalam rangka investasi di daerah Otonomi Khusus (Otsus) ialah partisipasi masyarakat terdampak.
“Yang perlu diingat bahwa sebagai salah satu proyek strategis nasional, pengembangan LNG Tangguh harus ditempatkan dalam kerangka tata ruang daerah. Meskipun pemerintah pusat menetapkannya dalam kawasan strategis nasional berdasarkan UU Cipta Kerja, namun Pemda harus dilibatkan, karena hal ini berkaitan dengan visi-misi daerah,” tegas Filep.
“Apalagi kalau kita bicara tata ruang pertanahan, UU Otsus Perubahan pada Pasal 4 ayat (6) menegaskan bahwa Gubernur berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi,” sambungnya.
Terlebih, lanjut Filep, dalam Pasal 38 ayat (2) dan (3) UU Otsus Perubahan juga disebutkan bahwa usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
“Artinya, dalam melakukan usaha-usaha perekonomian tersebut, wajib hukumnya memperhatikan sumber daya manusia setempat dengan mengutamakan Orang Asli Papua. Inilah yang saya maksud dengan titik krusial, yakni pelibatan masyarakat adat,” tambah Filep.
“Pelibatan pemerintah daerah, sama juga dengan pelibatan masyarakat adat. Bahkan pelibatan masyarakat adat harus dilakukan, mulai dari pertimbangan penerimaan atau penolakan permohonan perpanjangan kontrak, hingga pelibatan dalam hal tenaga kerja disana, ada 7 suku asli yang harus dilibatkan. Merekalah pemegang hak ulayat, yang kepada mereka pihak BP Tangguh dan Pemerintah Pusat meminta izin,” kata Filep menegaskan.
Anggota Komite I DPD RI ini menambahkan bahwa perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu sebelum memberikan keputusan terkait permohonan perpanjangan kontrak tersebut. Evaluasi ini harus menyentuh aspek-aspek substansial yang sudah seharusnya dipertimbangkan secara seksama.
“Dalam konsep tata kelola investasi semacam ini, perlu ada evaluasi menyeluruh dulu. Evaluasi itu mencakup dampak terhadap masyarakat adat, dampak terhadap lingkungan, aspek partisipasi masyarakat, persentase realisasi CSR bagi masyarakat, dan dampak terhadap pendidikan dan kesehatan Orang Asli Papua (OAP). Semua hal itu harus menjadi pertimbangan, selain pertimbangan utama bahwa masyarakat adat harus dilibatkan dalam persetujuan terhadap permohonan tersebut,” tegas Filep lagi.
“Merujuk pada Pasal 4 ayat (2) huruf e PP Nomor 106 Tahun 2021 menegaskan kewenangan khusus Pemerintah Provinsi dalam rangka Otsus yaitu pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Hal ini termasuk juga kewenangan di bidang penanaman modal dan pemberdayaan masyarakat/kampung adat,” ungkapnya.
Filep menekankan, kewenangan tersebut tidak boleh diabaikan yang dalam pelaksanaannya, Pemerintah Provinsi tentu saja melibatkan masyarakat adat setempat.
“Jadi, saya meminta Pemerintah Pusat untuk mendengarkan suara 7 suku yang ada di Papua Barat. Merekalah yang bisa menentukan perpanjangan kontrak dari BP Tangguh ini. Bukankah OAP harus jadi tuan di negerinya sendiri? Hargai dan hormati eksistensi itu! Jadi, singkatnya ialah bahwa kontrak BP Tangguh harus tunduk pada UU Otsus dan peraturan turunannya,” pungkas Filep.