Alasan Tuyul Ogah Curi Uang di Bank
Abadikini.com, JAKARTA – Tuyul merupakan makhluk halus yang masih dipercayai sejumlah orang. Sosok yang dikenal bocil botak dan mengenakan cawat ini dipelihara guna mencuri uang bagi majikannya.
Budayawan Suwardi Endraswara dalam Dunia Hantu Orang Jawa (2004) menuliskan kegiatan tuyul dilakukan dari rumah ke rumah dan pekerjaannya tak hanya sebatas mencuri uang, tetapi juga barang dan surat-surat berharga. Biasanya, ini dilakukan oleh seseorang yang tergila-gila akan kekayaan.
Melansir cnbcindonesia Sabtu (30/12/2023) pernahkah Anda terpikir kenapa tuyul hanya melakukan pencurian dari rumah ke rumah. Apakah bisa tuyul melakukan pencurian ke bank yang menyimpan banyak sekali uang? Atau minimal melakukan pencurian atas saldo e-money?
Sejauh ini memang belum ada kasus bank kehilangan uang akibat pencurian oleh makhluk halus bertubuh anak kecil tersebut. Di internet berseliweran informasi soal jawaban dari pertanyaan ini. Ada yang menyebut tuyul takut terhadap logam karena uang di bank tersimpan di brankas. Ada juga yang menyebut di bank terdapat “penjaga” berupa makhluk halus lain yang ditakuti tuyul.
Jawaban-jawaban tersebut hanya sebatas dugaan dari suatu hal yang memang tak logis. Namun, terlepas dari apa jawaban dari pertanyaan tersebut, satu hal pasti terdapat alasan sains di balik cerita mistis tuyul. Alasan inilah yang dapat mematahkan keberadaan tuyul dan juga alasan kenapa tuyul tak mencuri uang ke bank atau mengambil saldo e-money seseorang.
Untuk memahami penjelasannya, kita harus memundurkan waktu ke tahun 1870. Kala itu, Belanda meresmikan kebijakan pintu terbuka atau liberalisasi ekonomi menggantikan sistem tanam paksa. Sekilas perubahan ini membawa angin segar karena dinilai mampu menyejahterakan masyarakat. Namun, kenyataannya tidak.
Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), liberalisasi ekonomi justru melahirkan rezim kolonial baru yang di dalamnya terjadi pengambilalihan perkebunan rakyat untuk diubah menjadi perkebunan besar dan pabrik gula. Situasi ini kemudian membuat kehidupan masyarakat terpuruk, khususnya para petani kecil di Jawa yang semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Sebab, mereka tak lagi memiliki kuasa atas lahan perkebunan.
Pada sisi lain ada juga masyarakat yang sejahtera dari sistem ini. Mereka adalah pedagang, baik dari kalangan pribumi atau Tionghoa, yang dalam sekejap menjadi orang kaya baru. Kenaikan pesat kekayaan mereka lantas menimbulkan keheranan bagi para petani yang kian melarat itu. Para petani bingung darimana asal-usul kekayaan mereka.
Perlu diketahui saat itu para petani hidup apa adanya. Menurut Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang Negeri Yang Guncang (2019), mereka menganut sistem subsisten. Artinya, bertani sekedar cukup untuk konsumsi sendiri. Jika ada hasil tani lebih, maka akan diberi sebagai upeti atau dijual.
Akibatnya, mereka punya pandangan kalau pemupukan kekayaan adalah proses yang terbuka. Maksudnya, tiap orang harus melewati proses dan usaha jelas yang dapat dilihat oleh mata orang lain. Masalahnya, mereka tidak melihat kerja keras dari orang kaya baru itu. Terlebih mereka tidak dapat membuktikan asal usul kekayaannya jika ditanya para petani. Alhasil timbul rasa iri dan kecemburuan oleh petani ke pedagang karena bisa mendapat harta sebanyak itu.
Terlebih, menurut George Quinn dalam “An Excursion to Java’s Get Rich Quck Tree” (2009)”, para petani selalu beranggapan datangnya kekayaan harus dipertanggungjawabkan. Maka ketika orang kaya gagal mempertanggungjawabkan asal kekayaannya, para petani iri dan menuduh uang itu hasil pencurian.
Karena kental dengan pandangan mistik, para petani memandang pencurian itu berkat kerja sama orang kaya dengan makhluk supranatural dan kasat mata. Salah satunya tuyul. Tuyul adalah sosok mitologi Jawa yang sudah dikenal sejak lama. Bentuknya makhluk halus atau hantu berbadan kecil dan botak yang dapat dipelihara.
Jadi, para petani yang iri selalu menuduh orang kaya baru menggunakan cara haram dalam memperoleh kekayaan. Akibat tuduhan ini, tulis Ong Hok Ham dalam buku lain berjudul Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002), membuat pedagang dan pengusaha sukses kehilangan status di masyarakat. Mereka dianggap “hina” karena memupuk kekayaan dari cara haram yakni bersekutu dengan setan. Padahal ini semua terjadi akibat perubahan kebijakan kolonial Belanda yang membuat pengusaha tertimpa durian runtuh.
Ketidaksukaan para petani terhadap orang yang kaya mendadak tidak hanya berdampak pada hubungan personal semata, melainkan lebih dari itu. Akibatnya, terjadi perubahan transaksi barang oleh orang kaya. Orang kaya kemudian cenderung membeli barang yang tidak menunjukkan kekayaan mereka sesungguhnya, seperti emas atau barang-barang mewah. Apabila mereka membeli tanah atau rumah, maka mereka akan dituduh memelihara setan atau tuyul oleh petani.
Tuduhan tak berdasar ini membuat popularitas tokoh tuyul sebagai subjek mistis dalam hal kekayaan semakin meningkat dan terus populer sampai saat ini di Indonesia. Terlebih, masyarakat Indonesia yang selama bertahun-tahun hidup secara agraris, makin melanggengkan imajinasi dan tuduhan menggunakan tuyul.