Gelombang Panas: Penjelasan Ahli BRIN dan Dampaknya di Indonesia
Abadikini.com, JAKARTA – Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, menyampaikan bahwa gelombang panas merupakan kondisi ketika suhu udara rata-rata melebihi batas ambang normal. “Contohnya, jika suhu di suatu kawasan stabil sekitar 27-28 derajat Celcius selama lebih dari 30 tahun, kemudian mendadak naik menjadi 33-34 derajat Celcius dan bertahan selama empat hingga lima hari, maka kondisi tersebut dapat disebut sebagai gelombang panas,” ujar Eddy dalam keterangan tertulis dikutip, Selasa (14/5/2024).
Eddy menekankan bahwa masyarakat harus memperhatikan durasi amplitudo suhu tinggi. Gelombang panas tidak ditentukan hanya oleh lonjakan suhu sesaat, tetapi oleh deviasi suhu yang signifikan dan bertahan selama beberapa hari.
Menurut Eddy, wilayah yang tidak tertutupi awan lebih berpotensi mengalami gelombang panas. Kawasan yang sering terpapar gelombang panas umumnya adalah daratan seperti India, Thailand, Brazil, dan negara-negara di Afrika. “Indonesia beruntung karena langitnya berawan hampir setiap hari,” tambah Eddy. Indonesia, dengan dua per tiga wilayahnya berupa laut dan ribuan pulau, menghasilkan konveksi lokal dan regional yang membentuk awan, sehingga relatif aman dari gelombang panas.
Meskipun demikian, Eddy belum dapat memperkirakan akhir periode suhu panas di Indonesia. Berdasarkan analisis Indian Ocean Dipole (IOD), kawasan barat Indonesia, terutama Pantai Utara Pulau Jawa, mulai mengalami suhu panas sejak April 2024 dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada Juli nanti.
Fenomena suhu panas ini diperparah oleh angin timuran yang membawa udara panas dari gurun di bagian utara Australia. “Ada indikasi kuat bahwa kondisi panas ini akan terus berlanjut,” kata Eddy. Angin timuran ini telah memasuki kawasan Indonesia, dengan daerah pertama yang terpapar adalah Nusa Tenggara Timur, diikuti oleh Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, dan seterusnya.
Kendati siang hari sangat terik, Eddy menyebut masih ada kemungkinan hujan pada malam dan dinihari. “Ini adalah indikasi yang biasa terjadi pada akhir musim transisi pertama (MAM),” tuturnya.
Eddy juga menyarankan masyarakat untuk mencukupi asupan air dan menghindari minum air dingin karena perubahan suhu yang drastis dapat mengganggu kesehatan. Debit air di sentra pangan mungkin akan berkurang, tetapi dipastikan tidak akan permanen. Dia mengingatkan masyarakat untuk tidak menatap matahari secara langsung di siang hari karena paparan sinar UV yang kuat. “Tidak perlu panik, tetap lindungi diri dari cahaya matahari yang menyengat,” tutup Eddy.