Ketua DPD RI LaNyalla Minta Pemerintah Fokus Tanggapi Keluhan Apindo

Abadikini.com, JAKARTA – Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti, mendesak pemerintah untuk segera menanggapi keluhan yang disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terkait tingginya biaya berbisnis di Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN. LaNyalla menekankan perlunya penelusuran setiap pos biaya untuk menemukan solusi yang tepat.

LaNyalla menjelaskan bahwa keluhan dari para pengusaha ini tidak hanya berdampak domino, tetapi juga dapat merugikan daerah. Banyak perusahaan berinvestasi dan beroperasi di daerah, dan jika kondisi ini tidak segera diatasi, perusahaan-perusahaan tersebut dapat memilih untuk relokasi atau membatalkan investasi yang direncanakan.

“Jika relokasi perusahaan atau pembatalan investasi terjadi, daerah akan sangat terpukul. Keberadaan perusahaan, terutama industri manufaktur padat karya, sangat membantu perekonomian daerah, terutama dalam penyerapan tenaga kerja,” kata LaNyalla di Jakarta, Senin (1/7/2024).

Mantan Ketua KADIN Jatim itu meminta kementerian terkait untuk menyisir semua pos biaya yang disampaikan Apindo. Untuk pos biaya yang sulit diturunkan, seperti ongkos tenaga kerja, harus dikompensasi dari pos lainnya sehingga total biaya doing of business di Indonesia menjadi kompetitif.

“Upah buruh di Indonesia sudah menggunakan minimum living cost. Sehingga living cost-nya yang harus dipastikan tidak terus naik atau bahkan turun. Kawasan industri di Singapura dan China sudah membangun rusun untuk buruh dan menyediakan shuttle bus gratis, sehingga living cost buruh bisa rendah. Itu salah satu contoh saja,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, menyatakan bahwa perusahaan dan investor menghadapi biaya tertinggi saat berbisnis di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN-5 lainnya, yang mencakup Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.

Menurut Apindo, tingginya cost of doing business di Indonesia membuat negara ini kurang kompetitif di kawasan ASEAN-5. “Indonesia memiliki biaya tertinggi untuk logistik, energi, tenaga kerja, dan pinjaman di antara negara-negara ASEAN-5,” kata Shinta.

Shinta menjelaskan bahwa upah minimum di Indonesia mencapai US$329 per bulan, di atas rata-rata ASEAN-5 sebesar US$302. Malaysia dan Filipina memiliki upah minimum yang sama, yaitu US$329, sementara Thailand mencapai US$313. Vietnam memiliki upah minimum terendah sebesar US$209.

Selain itu, tingkat suku bunga pinjaman di Indonesia berkisar antara 8-14%, lebih tinggi dari rata-rata ASEAN-5 yang 4-6%.

Biaya logistik perdagangan Indonesia juga mencapai 23,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 13% dan Singapura 8%.

“Meskipun Bappenas mengklaim bahwa biaya logistik Indonesia telah turun menjadi 14% dari PDB, LPI (logistics performance index) 2023 mengatakan sebaliknya,” kata Shinta.

Pada 2023, LPI Indonesia menempati peringkat 61 dari 139 negara dengan skor keseluruhan 3. Malaysia mendapatkan skor 3,6, sedangkan Thailand mendapatkan 3,5. Vietnam dan Filipina masing-masing mendapatkan skor 3,3.

Dari segi biaya, Indonesia menjadi yang paling kompetitif dalam hal ekspor dengan biaya ekspor barang sebesar US$211. Namun, waktu yang dibutuhkan untuk mengekspor mencapai 56 jam, lebih lama dibandingkan rata-rata 45 jam di ASEAN-5.

Waktu impor di Indonesia sekitar 106 jam, hampir dua kali lipat dari waktu rata-rata di ASEAN-5 (58 jam). Biaya impor Indonesia juga merupakan yang termahal di ASEAN-5, mencapai US$164 dibandingkan dengan rata-rata US$104.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker