Titi Anggraini Ungkap Perbedaan Calon Tunggal di Pilkada 2024 Dibandingkan Periode Sebelumnya

Abadikini.com, JAKARTA – Pengamat hukum pemilu sekaligus pengajar di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengungkapkan adanya perbedaan signifikan terkait fenomena calon tunggal pada Pilkada 2024 dibandingkan periode sebelumnya, yakni pada 2015 hingga 2020.

“Jika pada 2015 calon tunggal dimaksudkan untuk memberikan akses pencalonan kepada partai politik, pasca-2015 terjadi perubahan. Pada Pilkada 2024, calon tunggal justru digunakan untuk membatasi akses pencalonan dengan memborong semua tiket dari lebih dari 10 partai, sehingga partai-partai tersisa tidak dapat mengusung calon. Jadi, ada perbedaan yang cukup mencolok,” kata Titi dalam sebuah webinar yang diikuti Antara dari Jakarta, Minggu (8/9/2024).

Titi menambahkan, fenomena calon tunggal pada 2024 memiliki ciri khas tersendiri, meskipun awalnya calon tunggal diperbolehkan akibat keputusan Mahkamah Konstitusi yang bertujuan untuk menyelamatkan hak pilih. Namun, pada 2024, terjadi praktik monopoli tiket partai politik.

“Pada 2024, kita melihat karakter yang lebih khas dibandingkan dengan periode 2015 hingga 2020, yaitu adanya sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat partai politik melalui rekomendasi dari DPP yang menjadi wajib. Ini menimbulkan ketidakpuasan di sejumlah daerah karena aspirasi lokal tidak tersalurkan,” jelasnya.

Salah satu contoh ketidakpuasan tersebut terlihat dalam Pilkada Jakarta 2024, di mana tokoh populer seperti Anies Baswedan dan Ahok tidak diusung sebagai calon.

“Di Jakarta, ada nama besar seperti Anies Baswedan dan Ahok. Namun, yang dicalonkan justru figur dari provinsi lain. Ini menjadi masalah besar terkait keterputusan aspirasi,” ujar Titi.

Ketidakpuasan tersebut, menurut Titi, telah menimbulkan ekspresi ketidakpuasan di masyarakat, yang diwujudkan melalui gerakan memilih kotak kosong setelah calon tunggal terdaftar.

“Beberapa daerah seperti Pangkalpinang, Asahan, dan Gresik, mengalami fenomena serupa, di mana masyarakat mulai mendorong gerakan kotak kosong sebagai respons terhadap pencalonan tunggal,” jelasnya.

Selain itu, Titi menyebut bahwa wacana terkait suara kosong atau gerakan tidak memilih calon tunggal semakin berkembang di ruang publik, mencerminkan ekspresi politik alternatif yang tidak diakomodasi oleh pasangan calon yang ada di kotak suara.

“Pembahasan mengenai suara kosong atau ‘none of the above’ menjadi penting karena ini adalah bentuk formal dari ekspresi politik yang berbeda. Tidak semua pilihan politik dapat diwadahi oleh calon yang ada,” pungkasnya.

Berdasarkan data terbaru dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 4 September 2024 pukul 23.59 WIB, tercatat ada 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon dalam Pilkada 2024, terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker
planet128 cahaya128 planet128 turbo128 planet128 rawit128 cahaya128 rawit128 planet128 rawit128 planet128 planet128 rawit128 turbo128 rawit128 planet128 rawit128 turbo128 planet128 rawit128 planet128 planet128 planet128 planet128 turbo128 rawit128 planet128 planet128 planet128 rawit128 turbo128 turbo128 planet128 rawit128 rawit128 planet128 turbo128 Slot acgwin kacang99 mega888