Pemikiran Yusril Dinilai Sebagai Jalan Tengah dalam Dinamika Hukum Pengelolaan Negara
Abadikini.com, JAKARTA – Revisi Undang-Undang Kementerian Negara No.39 Tahun 2008 yang dipublikasikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB) pada 9 September 2024, telah menghasilkan kesepakatan penting antara DPR RI dan Pemerintah RI. Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah dihapuskannya batas jumlah kementerian, yang kini dapat disesuaikan dengan kebutuhan Presiden.
Pengamat politik dan aktivis Muhammadiyah Sulawesi Utara, M. Julianto, menilai bahwa di tengah kondisi geopolitik global yang semakin kompleks, Indonesia memerlukan kebijakan yang lebih responsif, cepat, dan merata dalam melayani kebutuhan masyarakat. Menurutnya, Presiden sebagai pemegang kendali pemerintahan memerlukan sinergi yang kuat antar lembaga dan badan pembantu untuk menjalankan tugas negara baik di dalam maupun luar negeri.
“Memberikan fleksibilitas kepada presiden dalam membentuk instrumen pembantu di pemerintahan adalah langkah bijak untuk menghadapi tantangan global dan domestik. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk lebih dinamis dalam memenuhi kebutuhan bangsa,” kata M. Julianto dalam pernyataannya, Selasa (1/10/2024).
Salah satu posisi strategis yang dianggap penting dalam menghadapi dinamika bernegara, menurut Julianto, adalah Menteri Koordinator atau pejabat tinggi di bidang hukum. Ia menilai bahwa tokoh dengan pengalaman mendalam dan pemahaman kuat tentang sejarah dan hukum negara, seperti Prof. Yusril Ihza Mahendra, adalah sosok yang tepat.
“Prof. Yusril Ihza Mahendra, dengan rekam jejaknya sebagai mantan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Sekretaris Negara di era Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, sangat memahami dinamika hukum dan tata kelola pemerintahan,” jelasnya.
Yusril, dengan latar belakangnya yang luas dalam pemerintahan dan hukum tata negara, dinilai mampu memberikan pandangan yang seimbang antara kebutuhan hukum dan tata kelola pemerintahan yang efektif.