SKCK dan “Sertifikat Haram”
Oleh: Leo Fernando, S.E., Ak., S.H. (HIPMI Bangka Belitung)
Abadikini.com, JAKARTA – Belakangan ini, muncul polemik di masyarakat terkait rencana pemberlakuan Sertifikat Halal untuk semua jenis produk di Indonesia. Wacana ini menuai kritik dari berbagai tokoh, seperti Mahfud MD dan Emha Ainun Najib.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki banyak pelaku usaha makanan non-kemasan yang diproduksi langsung oleh masyarakat. Apakah jenis produk seperti ini juga harus memiliki sertifikat halal? Cak Nun bahkan berpendapat bahwa yang lebih dibutuhkan Indonesia adalah “Sertifikat Haram,” bukan “Sertifikat Halal.” Ia mencurigai adanya kepentingan bisnis besar di balik pemberlakuan sertifikat ini.
Mari kita tengok kembali ke masa sebelum Era Reformasi, saat pemerintah mewajibkan Surat Berkelakuan Baik bagi warga negara. Langkah ini mendapat kritik dari para pakar hukum. “Seharusnya setiap orang dianggap berkelakuan baik hingga terbukti sebaliknya dan ditindak oleh polisi,” ujar Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro, merespons dengan mengubah nama dokumen tersebut menjadi SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), yang berlaku hingga saat ini.
Belajar dari perubahan pada SKCK tersebut, mungkin Pemerintah atau instansi terkait bisa mempertimbangkan untuk meninjau kembali penerapan Sertifikat Halal ini. Apakah justru “Sertifikat Haram” lebih relevan daripada “Sertifikat Halal”?
Kita juga bisa mengambil referensi dari Iran, yang menerapkan aturan larangan bisnis makanan bagi pengusaha non-Muslim. Mereka mendukung pengusaha non-Muslim di bidang lainnya, sementara bisnis makanan non-Muslim hanya diperbolehkan dalam komunitasnya sendiri.
Demikian pandangan yang saya sampaikan untuk menjadi bahan perenungan bersama.