Yusril Angkat Bicara Soal Putusan MK Presidential Threshold di Pemilu 2029
Abadikini.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra angkat bicara mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Menurut dia, pemerintah akan melakukan pembahasan internal terkait implikasi keputusan ini terhadap pemilu 2029.
“Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka Pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” ujar Yusril, mengutip keterangan resminya, Jumat (3/1/2025).
“Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat Pemilu dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu nantinya,” tambahnya.
MK membatalkan ketentuan Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Bedanya dari aturan sebelumnya, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan pasangan capres dan cawapres harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20% kursi parpol atau gabungan parpol di DPR RI, atau minimal 25% suara sah nasional parpol atau gabungan parpol berdasarkan hasil Pemilu lima tahun sebelumnya.
Dengan pembatalan itu, maka setiap parpol peserta Pemilu mendatang, berhak mencalonkan pasangan capres dan cawapres tanpa ambang batas lagi.
Mantan Ketum PBB itu menegaskan, semua pihak, termasuk pemerintah terikat dengan Putusan MK tersebut tanpa dapat melakukan upaya hukum apapun.
“Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” kata Yusril.
Pemerintah menyadari bahwa permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir ini dikabulkan.
Lebih jauh, Yusril menyebut, pemerintah melihat ada perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu itu dibanding putusan-putusan sebelumnya. Meski pemerintah menghormati hasil putusan ini.
“Namun apapun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis. MK berwenang menguji norma undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” pungkasnya.