Universitas Gadjah Mada Pecat Guru Besar Fakultas Farmasi Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual

Abadikini.com, YOGYAKARTA – Sesuaikan dengan tanggal hari ini] – Pimpinan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengambil tindakan tegas dengan menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap seorang guru besar berinisial EM dari Fakultas Farmasi. Keputusan ini diambil setelah EM terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa.
Sekretaris Universitas Gadjah Mada (UGM), Andi Sandi, menjelaskan bahwa sanksi berat berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen tersebut didasarkan pada hasil pemeriksaan menyeluruh oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM. Satgas PPKS UGM menyatakan EM bersalah karena melanggar Peraturan Rektor UGM dan kode etik dosen.
“Pimpinan UGM telah menjatuhkan sanksi kepada pelaku berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen. Penjatuhan sanksi ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku,” ujar Andi dalam keterangannya yang dikutip pada Senin (7/4/2025).
Pemecatan EM secara resmi ditetapkan melalui Keputusan Rektor UGM Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tertanggal 20 Januari 2025.
Dugaan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh EM terjadi dalam rentang waktu tahun 2023 hingga 2024. Kasus ini terungkap setelah adanya laporan yang diterima oleh Fakultas Farmasi pada bulan Juli 2024.
Menindaklanjuti laporan tersebut, Satgas PPKS UGM segera memberikan pendampingan kepada para korban dan membentuk Komite Pemeriksa melalui Keputusan Rektor Nomor 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024. Proses pemeriksaan dilakukan secara intensif sejak tanggal 1 Agustus hingga 31 Oktober 2024.
Saat dikonfirmasi, Andi mengungkapkan bahwa modus operandi kekerasan seksual yang dilakukan EM adalah melalui pendekatan akademik, seperti bimbingan dan diskusi yang sebagian besar terjadi di luar lingkungan kampus.
“Ada diskusi, ada bimbingan, ada juga pertemuan di luar untuk membahas kegiatan-kegiatan ataupun lomba yang sedang diikuti,” jelasnya.
Komite Pemeriksa bekerja secara cermat dengan memeriksa keterangan para korban secara terpisah, mendengarkan penjelasan dari terlapor dan para saksi, serta menelaah seluruh bukti-bukti pendukung sebelum akhirnya memberikan rekomendasi kepada pimpinan universitas.
Lebih lanjut, Andi menyampaikan bahwa total sebanyak 13 orang saksi dan korban telah diperiksa dalam proses investigasi ini.
“Saksi dan korban ada sekitar 13 orang yang diperiksa. Tetapi kalau ditanya apakah ini seluruhnya mahasiswa ataupun ada juga tendik (tenaga kependidikan) dosen, kami tidak melihat detail itu,” ungkap Andi.
Berdasarkan bukti-bukti yang kuat, EM dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf l dan m Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus, serta melanggar kode etik dosen.
Sebagai langkah awal dan komitmen UGM dalam menciptakan lingkungan yang aman, EM telah dibebastugaskan dari seluruh aktivitas tri dharma perguruan tinggi dan dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi sejak tanggal 12 Juli 2024.
Keputusan tersebut diambil sebelum proses pemeriksaan selesai guna menjaga ruang aman bagi para korban dan seluruh civitas akademika UGM.
“UGM melalui Satgas PPKS UGM terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan pada korban sesuai dengan kebutuhan para korban,” tegas Andi.
Meskipun telah diberhentikan secara tetap dari jabatan sebagai dosen UGM, Andi menjelaskan bahwa status guru besar EM masih berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi.
Andi menerangkan bahwa pengangkatan guru besar merupakan keputusan menteri, sehingga pencabutannya juga harus dilakukan melalui keputusan dari kementerian terkait.
“Status guru besar itu diajukan kepada pemerintah, khususnya kementerian. SK-nya dikeluarkan oleh Kementerian. Jadi, kalau kemudian guru besarnya ingin dicabut, keputusannya juga harus dikeluarkan oleh kementerian,” ucapnya.
Ia menambahkan bahwa jabatan akademik seperti lektor kepala dan guru besar merupakan kewenangan pusat, berbeda dengan jabatan lektor atau asisten ahli yang dapat ditetapkan oleh pihak perguruan tinggi.
“Kami di UGM diminta untuk memeriksa, hasil laporan akan kami sampaikan kepada kementerian,” imbuh Andi.
UGM menegaskan komitmennya untuk terus menciptakan ruang kampus yang bebas dari kekerasan seksual melalui berbagai langkah sistemik. Salah satunya adalah pembentukan Satgas PPKS sejak September 2022 serta integrasi kebijakan internal dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021.
“Berbagai kebijakan yang disusun, diterapkan, dan dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip bahwa kampus idealnya adalah ruang yang kondusif dan aman dari berbagai praktik kekerasan,” pungkas Andi Sandi.