Pejabat Samsat Jangan Jadi Penghambat
Oleh : Samuel Mink (Budayawan Tinggal di Tangerang)

Abadikini.com, JAKARTA – Wahai para pejabat Samsat, kalau tak mau dibilang jadi penghambat, bekerjalah dengan penuh martabat. Kalau tidak mau dibilang penjahat, bekerjalah dengan hati, penuh semangat demi kemaslahatan rakyat. Kalau tidak mau dibilang pemalak, cobalah bercermin untuk tujuan apa Anda bekerja dan darimana Anda digaji? Bukannya dari pajak rakyat?
Uneg-uneg ini mungkin mewakili sebagian besar rakyat Indonesia, terutama seperti saya salah satu warga Banten yang baru-baru ini dikejutkan oleh kejadian viral dimana seorang wajib pajak yang hendak mengurus pajak kendaraan di kantor Samsat Balaraja Kabupaten Tangerang–hanya karena membawa fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk merubah nama kepemilikan dan bayar pajak–ia malah dimintai uang sebesar 300 ribu rupiah oleh oknum pegawai Samsat Balaraja, dengan dalih tak membawa KTP asli pemilik kendaraan roda 2 sebelumnya.
Dan gimana baiknya rakyat, sudah dipalak 300 ribu, masih nawar 50 ribu, tapi tak digubris. Kalau kata anak Gen Z, alamak kok gak tahu malu cuy!
Di kantor Samsat lainnya, Wakil Gubernur Banten Dimyati Natakesuma malah harus turun tangan membantu seorang kakek yang juga tengah mengurus pajak kendaraan tuanya yang lama tak hidup pajaknya. Tapi si kakek harus bolak balik cabut berkas. Padahal perkara cabut berkas sejatinya bisa dibantu atau dilayani petugas pajak kendaraan.
Apalagi katanya zaman sudah canggih, berkas semua sudah tersimpan secara online, antara instansi ke instansi lain juga jelas bisa saling komunikasi. Sulitnya dimana sih, ribet amat?
Tentu ada banyak peristiwa lainnya, dimana rakyat yang mulai berduyun-duyung ingin bayar pajak kendaraan berkat kebijakan Gubernur Banten Andra Soni yang memberlakukan penghapusan pajak kendaraan berikut dendanya.
Padahal menggugah wajib pajak untuk membayar pajak dari kendaraannya yang menunggak, baik dari yang mulai setahun telat, 3 hingga 10 tahun lebih jelas tidak mudah.
Antusiasme warga Banten untuk menghidupkan kendaraan pajaknya yang sudah mati sejatinya disambut dengan suka cita oleh pejabat pajak kendaraan dengan pelayanan yang baik dan mempermudah, bukan sebaliknya mempersulit.
Toh, ada banyak alasan mereka untuk tidak bayar pajak, mulai dari kendala ekonomi, malas bayar pajak karena sudah menunggak menahun, hingga mereka merasa tak perlu bayar pajak, apalagi untuk kendaraan roda 2 yang hanya digunakan wara wiri di desa.
Tentu ada banyak alasan lainnya yang mestinya diselami dan dipahami petugas pajak. Terlebih dari pajak masyarakat itu mereka bisa hidup, bekerja dan digaji menafkahi keluarga. Kalau logikanya jalan dan tidak serakah, mestinya merekalah pejabat Samsat yang lebih antusias dari rakyat.
Tapi dasar otak udang dan watak culas penuh siasat, sebagian mereka ‘oknum’ pegawai Samsat malah memanfaatkan antusiasme warga Banten untuk keuntungan pribadinya dengan melakukan tarikan lain alias pungli dalam proses pengurusan pajak kendaraan.
Padahal hanya dalam kurun 2 hari sejak diberlakukan kebijakan pemutihan pajak dan denda kendaraan oleh Gubernur Banten, tercatat sudah 10 miliar lebih uang yang masuk. Bisa dibayangkan jika hingga batas waktu akhir nanti yakni 30 Juni 2025, berapa uang yang masuk untuk negara?
Daripada menunggu mereka yang menunggak membayar secara normal, kebijakan ini jelas lebih realistis. Tapi sayang, lagi-lagi bukan rakyat yang jadi penghambat pemasukan pajak negara, tapi mereka sendiri pejabat nakal yang masih saja mengail keuntungan dari antusiasme wajib pajak.
Watak culas ini saya duga bukan sebagian kecil oknum, tapi sudah lumrah terjadi jika pegawai pemerintahan terutama di bidang pengurusan pajak yang katanya kebanyakan dari lulusan sekolah khusus pegawai ini, banyak melakukan pungli. Apalagi ada adagium terkenal jika mereka punya prinsip kerja yang minor; ‘jika bisa dibikin sulit, mengapa dibikin mudah!’
Ya, prinsip kerja dibikin sulit inilah yang menjadi keran pungli bagi mereka umumnya yang menjadi pegawai di pemerintahan. Meski tak semuanya, tapi rata-rata mental itu kadung melekat dalam ingatan rakyat.
Maklum, sepertinya mereka belajar di sekolah atau di tempat pelatihan khusus, umumnya juga hanya latihan baris berbaris, kental didikan berdasarkan senior dan junior, bukan mengasah pikiran dan empati dalam pelayanan.
Tapi itu mungkin sebagian mereka ya? Tidak semua, tapi umumnya sudah begitu di mata rakyat. Tapi kalau belajar baris berbaris, hansip di kampung malah lebih rajin jaga hajatan rakyat? Hmmm…
Saya dan mungkin sebagian besar rakyat Banten sendiri mengapresiasi kebijakan Gubernur Banten, apalagi dalam sebuah rilis pemberitaan Anda Soni meminta oknum pejabat Samsat itu segera ditindak secara hukum hingga ancaman pemecatan.
Sekali lagi, saya sendiri mendukung langkah itu. Sebab kalau pegawai sudah bebal, tak tahu diri dan tidak tahu malu lebih baik dihukum dan dipecat. Kita malu pada dunia luar, terutama prinsip pejabat di negeri tetangga se-Asia kita seperti Jepang atau China, yang pejabatnya punya mental malu dan harga diri. Mau sampai kapan kalau mental ini terus dipelihara turun temurun. Tidak bangkrut aja negara ini sudah syukur!
Pada akhirnya sebagai rakyat kecil, wajib pajak yang sesekali suka nunggak pajak kami berharap tak ada lagi pejabat yang memanfaatkan situasi, mengeruk keuntungan di tengah antusiasme rakyat dengan melakukan pungutan liar. Program pemutihan pajak dan denda kendaraan ini sejatinya menjadi momentum pelayanan pegawai pajak. Apalagi ini untuk pemasukan negara di tengah badai krisis ekonomi yang tengah melanda.
Semoga saja para pejabat Banten berubah, lebih punya empati, rasa malu dan punya harga diri. Tabik Tuan Gubernur Banten.