Pakar Hukum Sebut Presidential Threshold tidak Sejalan dengan Spirit Konstitusi
Abadikini.com, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid menilai ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold untuk calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024 dan seterusnya idealnya ditiadakan.
Menurut Fahri Bachmid, ambang batas pencalonan presiden 20 persen tidak sejalan dengan spirit konstitusi dan tidak konstitusional,Menurut Fahri, MK juga tak boleh membiarkan adanya pelanggaran konstitusi yang dilakukan penyelenggara negara, terkait UU Pemilu ini.
“Kami berharap kedepan jika norma serta pranata “presidential threshold” masih tetap dipertahankan dalam rumusan RUU Pemilu yang akan datang, dan pada saat yang sama ada warga negara yang berkehendak men” challenge” ke pengadilan, maka kami berharap MK sebagai penjaga konstitusi dapat merubah pendiriannya untuk tidak lagi mentolerir adanya pelanggaran konstitusi oleh penyelengara negara, termasuk DPR dan pemerintah yang sedang mengodok RUU Pemilu ini,” ujar Fahri Bachmid.
Menurut Fahri, Rakyat telah rindu dengan suguhan menu calon-calon Presiden yang berkualitas serta negarawan. Untuk itu, katanya, sistem yang dibangun hendaknya lebih akomodatif serta memastikan untuk munculnnya calon-calon presiden alternatif agar rakyat mempunyai banyak preferensi politik atas kandidat presiden yang dimunculkan partai politik, sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi
“Saatnya kita tinggalkan paradigma monopolistik partai dalam pengajuan capres dan cawapres. Biarlah rakyat memilih dengan banyak kandidat capres-cawapres serta hentikan praktik politik yang bercorak oligarkis agar demokrasi yang terbangun adalah benar-benar demokrasi yang substantif,” pungkas Fahri Bachmid.
Hal tersebut disampaikan Fahri Bachmid saat menjadi pembicara/narasumber dalam kegiatan Webinar yang diselengarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar,yang bertajuk “RUU Pemilu Dan Presidential Threshold Dilihat Dari Aspek Konstitusi, Senin (29/6/2020).
Fahri menjelaskan, menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden penting dilakukan dalam rangka dan sebagai sebuah upaya “ikhtiar” yang sunguh-sungguh untuk menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis dan penegakan supremasi konstitusi serta paham konstitusionalisme yang dianut saat ini.
Sebab terang Fahri, berdasarkan desain konstitusional terkait Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam ketentuan norma pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan “ Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan ketentuan pasal 22E ayat (2) dan (3).
“Ketentuan Ayat (2) mengatur tentang Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian ketentuan ayat (3), mengatur tentang Peserta Pemilihan umum untuk memilih anggota DPR RI, dan anggota DPRD adalah partai politik,” jelasnya.
Dengan demikian, Fahri menegaskan bahwa berdasarkan bangunan sistem Pemilu presiden yang demikian itu, secara konstitusional tidak dapat ditafsirkan sebaliknya dengan pranata “presidential threshold” sebagaimana diatur dalam norma pasal 222 UU RI No. 7 Tahun 2017 yang mengatur pasangan Capres yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperolah 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
“Ini merupakan pranata serta norma yang sangat “oligarkis”dan tidak sejalan dengan spirit konstitusi,” tegasnya,
Disebutkan Fahri, mestinya MK sebagai “The Guardian of The Constitution” tidak boleh mentolerir pelanggaran konstitusi yang sedemikian rupa itu, Dan jika ada kelompok warga negara yang hendak melakukan “judicial review” ke MK atas hal yang sama dalam rangka menegakan konstitusi.
Fahri berharap MK sebagai “The Sole Interpreter of Constitution” dapat membangun tafsir yang sejalan dengan rumusan “original intent” sebagaimana makna hakiki dari rumusan dalam ketentuan pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945, bahwa pada esensinya syarat pengajuan pasangan Capres dan Cawapres adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu.
Menurutnya, hal itu tidak perlu ditafsirkan lain yang sifatnya distorsif dari makna serta teks konstitusi yang sangat terang dan jelas seperti itu, jika Pemerintah dan DPR tetap mempertahankan rezim presidential threshold (PT) dalam RUU Pemilu ini tentunya sangat destruktif dan merusak tatanan demokrasi kita,Presidential Threshold adalah barang haram yang wajib ditiadakan.
Sebab, Fahri menambahkan bahwa ketentuan pasal 6A ayat (2) yang mengatur tentang Capres-Cawapres yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum Pemilu dilaksanakan, merupakan rumusan yang telah sangat definitif, jelas, terang serta tidak multi interpratsi, sehingga jangan lagi membangun politik hukum seolah-olah ada ruang pengaturan lebih lanjut serta derivatif untuk membuka peluang bagi DPR menggunakan kewenangan legislasinya dalam format “open legal policy” untuk merumuskan norma pembatasan “retriksi” yaitu dengan memunculkan ketentuan pasal 222 sebagaimana terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu mewajibkan syarat 20% kursi di DPR dan 25% suara sah nasional maupun dalam RUU Pemilu kedepan.
“Ini yang jelas-jelas tidak dikehendaki oleh UUD NRI Tahun 1945, walaupun berkali-kali MK telah menolak permohonan pemohon sepanjang menyangkut dengan uji materil “judicial review” atas norma pasal itu. Intinya “Presidential Threshold” harus dihapus, agar sejalan dengan spirit konstitusi, dan prinsip negara hukum yang demokratis,dalam rangka menegakan supremasi konstitusi, bukan merupakan hal yang mustahil jika kedepan MK dapat merubah pendirian konstitusionalnya,dan berpendapat bahwa ambang batas “presidential threshold” merupakan pengaturan yang bertentangan dengan konstitusi,dan itu merupakan sebuah keniscayaan,Mahkamah dalam beberapa putusan juga telah melakukan itu,dan telah ada preseden yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi untuk merubah pendirian dan pandangannya terkait sesuatu hal yang yang telah diputus sebelumnya, kemudian diperbaharui dalam putusan MK berikutnya, dan bukan merupakan hal yang mustahil jika nantinya MK akan merubah pendiriannya terkait dengan ambang batas “presidential threshold”ini dalam sebuah putusan yang futuristik tentunya, tukas Fahri.
Diketahui, dalam Webinar yang diinisiasi FH UMI Makassar ini, juga menghadirkan beberapa Pakar Hukum Tata Negara dan Intelektual Indonesia, yaitu Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc sebagai Keynote Speaker dalam Webinar tersebut, kemudian Pakar Hukum Tata Negara, Dr.Refly Harun,S.H.,M.H.,LL.M, Dekan Fakultas Hukum UMI Makassar Prof.Dr.H.Said Sampara,S.H.,M.H. dan Guru Besar Fakultas Hukum UMI Makassar Prof.Dr.H.La Ode Husen,S.H.,M.H. serta yang bertindak sebagai Moderator adalah Wakil Dekan III FH UMI Makassar Dr.Muh.Rinaldy Bima,S.H.,M.H.